Pengamat Singapura: Sengketa Laut China Selatan Bukan Perhatian Utama ASEAN
Negara-negara ASEAN lebih sibuk dengan keamanan domestik dan pembangunan ekonomi. Isu keamanan maritim kawasan kerap dipandang bukan masalah domestik. Padahal, isu keamanan maritim akan kian membesar beberapa tahun lagi.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bangsa-bangsa Asia Tenggara tidak menjadikan sengketa perairan di Laut China Selatan sebagai isu utama keamanan maritim. Ketidaksamaan pandangan ini menjadi salah satu tantangan kerja sama menjaga keamanan perairan kawasan.
Peneliti Rajaratnam School of International Studies, Singapura, Collin Koh, mengatakan bahwa sembilan dari 10 negara anggota ASEAN punya perhatian pada masalah keamanan laut. Pencurian ikan dan perdagangan orang paling banyak menjadi perhatian mereka.
”Sengketa di Laut China Selatan bukan perhatian utama,” ujar Koh dalam Seminar Pembangunan Keamanan Laut untuk Mendukung Pencapaian Target RPJPN 2025-2045, Rabu (5/7/2023), di Jakarta.
Diselenggarakan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), seminar itu juga dihadiri sejumlah pembicara dan penanggap dari sejumlah lembaga di Indonesia. ”Asia Tenggara tidak punya kesamaan pandangan tentang apa isu keamanan laut bersama,” kata Koh.
Penanganan keamanan maritim di kawasan juga menghadapi tantangan lain. Sumber daya ASEAN untuk mengurus keamanan maritim masih terbatas. Begitu pula dengan kemampuan fiskal negara-negara ASEAN untuk mendanai operasi pengamanan laut.
Kondisi itu masih ditambah dengan tumpang tindih kewenangan penanganan keamanan laut di antara lembaga-lembaga pada sejumlah negara. Tumpang tindih itu membuat anggaran tidak efisien. Sebab, anggaran harus dibagi ke beberapa lembaga walau hal yang mereka tangani sama.
ASEAN, menurut Koh, perlu melihat pada Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLAN) China serta pasukan penjaga laut dan pantai China. Perlahan-lahan, PLAN dan pasukan penjaga laut-pantai China mengurangi jumlah kapal. Walakin, kapasitasnya ditingkatkan. Dengan demikian, kualitas kekuatannya meningkat walau ada penurunan jumlah kapal.
Koh juga mengingatkan fakta, ASEAN tidak terlalu tertarik mengurus masalah-masalah mancanegara. ASEAN lebih sibuk pada keamanan domestik dan pembangunan ekonomi. Isu keamanan maritim kawasan masih kerap dipandang bukan masalah domestik.
Padahal, menurut dia, isu keamanan maritim akan semakin membesar dalam beberapa tahun mendatang. Akan tiba masanya ASEAN tidak bisa lagi menghindari fakta bahwa organisasi kawasan itu berada di antara dua kekuatan yang berhadapan. ”Pilihannya berpihak atau tetap menyatakan netral,” kata Koh.
Masalah maritim itu pada akhirnya akan berdampak pada kondisi dalam negeri di setiap anggota ASEAN. Konflik di Taiwan, misalnya, akan berdampak pada Indonesia, Filipina, dan Thailand yang mengirimkan banyak warganya ke Taiwan dan sekitarnya.
Manuver China
Ketua Bersama Kaukus Kelautan DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, Indonesia bukan tidak memberi perhatian pada isu sengketa Laut China Selatan. DPR terus mengingatkan pemerintah pada manuver China di perairan itu.
Beberapa tahun terakhir, DPR menilai Beijing menerapkan strategi zona abu-abu di Laut China Selatan. Strategi itu diwujudkan dengan penggunaan lembaga sipil dan perangkat sipil yang punya kemampuan militer. Walau kapalnya bisa dipersenjatai, pasukan penjaga pantai dan laut China merupakan lembaga sipil.
Lembaga sipil itu digunakan China untuk memaksakan klaimnya di Laut China Selatan. Kapal-kapalnya berukuran lebih besar daripada sebagian kapal perang dan kapal patroli sejumlah anggota ASEAN. ”Bagaimana menyikapi ini? Tidak bisa lagi hanya dengan diplomasi atau perangkat hukum internasional lainnya. Indonesia perlu otot di laut,” ujar Bobby.
Agar tidak dituding melanggar hukum internasional, Indonesia perlu memperkuat lembaga sipil untuk keamanan maritim. Indonesia perlu memiliki pasukan penjaga pantai dan laut yang diakui komunitas internasional. ”Bukan penjaga pantai versi Indonesia. Harus lembaga yang diakui Organisasi Maritim Internasional (IMO) sebagai lembaga yang berwenang di laut,” kata Bobby.
Sampai sekarang, Indonesia tidak kunjung punya pasukan penjaga laut dan pantai yang diakui IMO. Bukan hanya belum diakui secara resmi sesuai hukum internasional, Badan Keamanan Laut (Bakamla) masih terus berebut kewenangan pengamanan laut dengan sejumlah lembaga lain.
Tumpang tindih kewenangan itu menjadi salah satu penyebab sumber daya pengamanan laut tidak optimal dimanfaatkan. Sebab, ada banyak lembaga mengajukan anggaran pengamanan laut. Hasilnya, setiap lembaga hanya mendapat anggaran amat terbatas untuk beroperasi.
Kini, lebih banyak kapal Bakamla dan sejumlah lembaga terkait pengamanan laut yang berada di pelabuhan. Penyebabnya adalah tidak ada cukup anggaran untuk membeli bahan bakar kapal-kapal itu.
Sementara itu, pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani mengatakan, sebagian masalah keamanan laut yang dialami Indonesia dipicu oleh negara lain. Pencemaran di Kepulauan Riau hampir selalu disebabkan pembuangan limbah kapal-kapal yang menanti atau selesai berlabuh di Singapura.
Indonesia juga direpotkan dengan lalu lintas kapal dan pesawat militer Amerika Serikat yang berpangkalan di Singapura. Kehadiran perangkat perang itu menyulitkan Indonesia menerapkan politik bebas aktif dan menjaga netralitas ASEAN.