Potensi Perang Terbuka di Laut China Selatan
Perseteruan AS dan China di LCS yang tidak kondusif telah memunculkan kekhawatiran terjadinya konflik terbuka. Kedigdayaan China memunculkan ketidakpastian atas kondisi keamanan di kawasan Indo Pasifik.
Perairan Laut China Selatan selalu menjadi ”duri dalam daging” bagi stabilitas keamanan di Asia Tenggara.
China secara sepihak tahun 1947 menyatakan perairan itu sebagai wilayah mereka dan menandainya dengan sembilan garis putus-putus (the nine-dash line). Tindakan itu memicu protes dari Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam, yang juga mengklaim sebagian dari LCS sebagai wilayah mereka.
Perairan seluas 3,685 juta kilometer persegi yang memanjang dari arah barat daya ke timur laut, berbatasan dengan China, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Vietnam tersebut memang sangat strategis.
Ia menjadi jalur pelayaran paling singkat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia, yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika, sehingga menjadi jalur favorit baik bagi armada niaga maupun armada militer dalam pelayarannya.
Selain itu, LCS menyimpan potensi sumber daya alam bernilai ekonomi tinggi sehingga China secara agresif membangun pulau-pulau buatan dan menempatkan peralatan perangnya di sana. China juga mengirimkan kapal-kapal ikan sebagai milisi laut ke perairan yang diklaim Vietnam, Filipina, hingga ke Laut Natuna Utara di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia untuk menegaskan klaimnya di LCS.
Baca juga : Meredam Bara di Laut China Selatan
Klaim sembilan garis putus-putus China hanya didasarkan pada traditional fishing ground yang tidak sesuai norma hukum internasional (UNCLOS 1982).
Klaim itu ditentang Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Taiwan, tetapi China tidak menanggapinya. Tidak itu saja, China juga mengabaikan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016 yang menyatakan China tidak mempunyai dasar hukum mengklaim perairan LCS.
Manuver Amerika
Situasi di LCS semakin rumit karena Amerika Serikat (AS) yang bukan negara klaiman berupaya membendung dominasi China dengan menghadirkan kapal perang dengan dalih kebebasan bernavigasi (freedom of navigation operation/FONOPs). China dan AS sejak berakhirnya Perang Dingin memulai sebuah babak baru persaingan dengan memunculkan perang dingin gaya baru.
-
Perseteruan AS dan China di LCS yang tidak kondusif telah memunculkan kekhawatiran terjadinya konflik terbuka di sana. Situasi itu bisa dilihat dengan munculnya pembangunan pangkalan angkatan laut (naval base) di LCS ataupun di tempat-tempat lain di Asia Tenggara. Naval base sebagai infrastruktur perang sangat penting dalam mendukung operasi militer. Naval base berfungsi sebagai markas komando pengendalian dan pengawasan (command, control, and communication).
China melakukannya di LCS dengan mereklamasi gugusan atol di terumbu Subi, Fierry Cross, Mischief Reef, dan Pulau Woody di gugusan Kepulauan Spratly. Pulau-pulau itu kini menjadi pangkalan militer yang kokoh.
Di Kepulauan Paracel, China bahkan membangun kota seluas 800.000 mil persegi, diberi nama Shansa, yang dilengkapi fasilitas layaknya kota besar. Di Kamboja, menurut laporan media, China juga membangun naval base di Provinsi Sihanokville di Teluk Thailand. Capaian China itu lebih diperluas dengan membangun pangkalan militer di Argentina, Myanmar, Tajikistan, dan Djibouti.
Kedigdayaan China memunculkan ketidakpastian atas kondisi keamanan di kawasan Indo Pasifik.
Dengan dukungan ekonomi yang kuat, dan proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) di lebih dari 125 negara, China secara militer dan ekonomi telah jadi negara adidaya (superpower). Kedigdayaan China memunculkan ketidakpastian atas kondisi keamanan di kawasan Indo Pasifik.
Setiap saat China mampu memaksakan keinginannya, bahkan bisa melakukan invasi ke Taiwan. Angkatan Bersenjata China (People Liberation Army/PLA) dalam dua tahun belakangan ini secara sungguh-sungguh melakukan latihan perang baik di LCS maupun di Selat Taiwan. China memblokade Taiwan, sebuah negara yang dianggap China sebagai provinsinya, pada latihan perang yang dilakukan China sebagai bentuk kemarahan atas sikap AS yang selalu membela Taiwan.
Pada Agustus 2022, PLA memblokade Taiwan di enam titik dalam latihan perang setelah Ketua DPR AS Nancy Pelosi berkunjung ke Taiwan bertemu dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-weng. Awal April 2023, giliran Presiden Ing-weng berkunjung ke AS, menemui Ketua DPR AS pengganti Pelosi, Kevin McCarthy. Kunjungan itu kembali membuat murka China, yang melampiaskan kemarahannya dengan ”mengunci” Taiwan pada latihan perang yang lebih besar dari tahun sebelumnya.
Pada latihan perang 2023 itu, PLA mengerahkan kapal induk bersama kapal perang berbagai jenis lainnya. China melakukan serangan simulasi, seolah menyerbu Taiwan. Pengebom China meluncurkan peluru kendali ke target sasaran. China menguji kemampuan tempur PLA dalam melaksanakan operasi militer terintegrasi: darat, laut, dan udara secara besar-besaran.
Keseriusan latihan perang tecermin dari pernyataan Presiden China Xi Jinping saat menginspeksi PLA. Presiden Jinping meminta PLA bersiap untuk perang yang sesungguhnya dengan ”memperkuat pelatihan militer yang berorientasi pada pertempuran yang sebenarnya”. Pernyataan itu mengindikasikan kesiapan militer China melaksanakan operasi tempur ke daerah operasi di LCS, termasuk apabila harus menyeberangi Selat Taiwan.
Pangkalan militer AS
Pada sisi lain, AS juga kerap melaksanakan latihan perang di LCS, seperti dilakukan negeri itu bersama Filipina dan Australia sehari setelah berakhirnya latihan perang China di Selat Taiwan. AS juga memperkuat kehadiran militernya di Filipina dengan membangun empat pangkalan militer, salah satunya terletak tidak jauh dari Taiwan.
Langkah ini merupakan kebijakan baru AS setelah tahun 1992 menutup naval base AS di Teluk Subic, air base di Clark, juga naval base di Teluk Cam Ranh, Vietnam, tahun 1972. Sejauh ini, AS memiliki naval base di Jepang dan Korea, pangkalan logistik di Singapura, dan stasiun marinir di Darwin, Australia.
Baca juga : Indonesia Tekankan Kode Panduan Laut China Selatan
Dengan demikian, LCS sesungguhnya merupakan trouble spot berpotensi konflik perang terbuka, yang setiap saat bisa berubah jadi arena perang, melibatkan AS-China dan negara-negara Asia Tenggara. Apalagi, ”gesekan” antara kapal perang atau pesawat tempur AS dan China sering terjadi di sana. Kapal perusak AS, misalnya, pernah diusir keluar dari Kepulauan Paracel dan kapal induk AS yang berlayar di LCS dibayang-bayangi kapal induk China dari dekat.
Pada sisi lain, China mengoperasikan kapal selam nuklir dengan rudal balistik berhulu ledak nuklir yang mampu menjangkau 10.000 km berpatroli di LCS.
Kapal selam nuklir AS diyakini juga ”berkeliaran” di sana baik secara mandiri maupun dalam gugus tugas pengawalan kapal induk AS yang berlayar dari dan menuju pangkalan Yokosuka, Jepang. Lebih dari itu, AS bersama Inggris membentuk pakta pertahanan AUKUS (Australia, Inggris, dan AS) serta memberi akses kepada Australia untuk memproduksi kapal selam nuklir yang diperlukan guna menahan pengaruh China yang terus melebar hingga ke Pasifik Selatan.
”Code of conduct” di LCS
Kondisi di LCS dan Selat Taiwan yang dikhawatirkan memicu terjadinya perang memerlukan upaya pencegahan. Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada 2023 diharapkan terus berupaya mendorong ASEAN dan China menyelesaikan code of conduct (CoC) LCS yang sudah dibahas sejak 2002. Kerangka CoC sebenarnya sudah disepakati pada 2017 sehingga kini lanjut ke tahap berikutnya, yakni merundingkan substansi teknis CoC.
ASEAN sebagai organisasi perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara memang tidak bisa menangani sengketa yang terjadi sebab sengketa di LCS merupakan urusan masing-masing negara klaiman. Meskipun ASEAN tidak berwenang memutuskan sengketa kepemilikan perairan LCS, dengan adanya CoC, diharapkan kode perilaku itu dapat menjadi pedoman bagi negara-negara klaiman dalam berperilaku di LCS.
Dengan begitu, terjadinya konflik bersenjata di LCS dapat diminimalkan, sementara di Selat Taiwan diharapkan China dan AS menahan diri agar tidak tergelincir ke jalan yang merugikan perdamaian dunia.
Marsetio Guru Besar Universitas Pertahanan; Kepala Staf TNI Angkatan Laut 2012-2015