Dapat Lampu Hijau IAEA, Jepang Segera Buang Limbah Nuklir ke Samudra Pasifik
Nelayan Fukushima dan sekitarnya menghabiskan bertahun-tahun untuk meyakinkan pasar bahwa tangkapan mereka aman dari radioaktif. Kini, upaya itu dikhawatirkan berantakan. Jepang akan membuang air limbah PLTN.
TOKYO, RABU – Badan Energi Atom Internasional (IAEA), lembaga otonom Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengizinkan Jepang membuang air tercemar radioaktif ke Samudra Pasifik. Amerika Serikat juga mendukung keputusan itu. Sementara bangsa-bangsa Pasifik serta tetangga Jepang bereaksi keras atas keputusan tersebut.
Media Jepang, Nikkei, melaporkan, Pemerintah Jepang tengah menjajaki untuk mulai membuang limbah nuklir itu paling cepat bulan Agustus mendatang. Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Mariano Grossi mengumumkan persetujuan IAEA terkait pembuangan limbah nuklir itu, Selasa (4/7/2023), di Tokyo, Jepang.
”Berdasarkan telaah komprehensif, IAEA menyimpulkan bahwa pendekatan dan kegiatan untuk melepaskan air yang telah diolah dengan APLS oleh Jepang selaras dengan standar keamanan internasional,” katanya.
Grossi mengacu pada sistem pengolahan air tercemar limbah. Tokyo Electric Power Company (Tepco) menggunakan APLS untuk mengurangi konsentrasi radioaktif dalam 1,3 ton air tercemar radioaktif. Sejak 2011, air itu digunakan untuk mendinginkan reaktor Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima yang bocor pada Maret 2011.
Air limbah itu kini mengandung karbon-14, iodin-131, sesium-137, strontium-90, kobalt-90, dan tritium. Sebagian senyawa ini butuh lebih dari 1.000 tahun untuk luruh sepenuhnya. Bukan hanya lama hilang, senyawa tersebut juga berbahaya bagi makhluk hidup.
Baca juga : Pasifik Bukan Tempat Sampah Nuklir
Menurut penjelasan Jepang dan Tepco, air limbah yang telah disimpan dua tahun sejak diolah dengan APLS sudah aman. Kandungan tritium tersisa 1.500 becquerel per liter. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan, ambang tertinggi tritium sebanyak 60.000 becquerel per liter. Untuk air minum, ambang tertinggi tritium adalah 10.000 becquerel per liter.
Media Jepang, Nikkei Asia, melaporkan bahwa Tepco mengakui kandungan karbon-14 masih di atas ambang batas. Tepco akan terus mengencerkan air limbah Fukushima untuk mengurangi kandungan radioaktifnya.
Untuk memantau proses pengolahan dan pembuangan air limbah itu, IAEA akan berkantor di Fukushima mulai Rabu (5/7/2023). Grossi juga bertemu dan berdialog dengan para nelayan di sekitar Fukushima. Selain itu, Grossi akan berkeliling ke sejumlah negara di Pasifik untuk menjelaskan keputusan IAEA soal pembuangan limbah tersebut. Meski demikian, ia menekankan bahwa IAEA tidak akan berusaha mengubah sikap.
Departemen Luar Negeri AS mendukung pembuangan itu. ”Jepang telah terbuka dan transparan dalam pengelolaan dampak kecelakaan PLTN Fukushima 2011. Seiring pertimbangan Jepang melepaskan sebagian air yang sudah diolah dari tempat penyimpanan ke Samudra Pasifik, ilmu pengetahuan harus menjadi panduan pelepasan,” demikian pernyataan resmi Deplu AS.
Bukti ilmiah dipertanyakan
Sikap Deplu AS berbeda dengan Asosiasi Nasional Laboratorium Maritim AS. Asosiasi menyebut, belum ada bukti ilmiah kuat dan akurat yang mendukung klaim Jepang soal keamanan limbah itu.
Nelayan Jepang pun ikut menolak pembuangan itu. ”Saya sangat khawatir karena tidak paham dampak pelepasan air limbah itu pada kehidupan dan pekerjaan saya,” kata Eitatsu Kikuchi (30), nelayan Fukushima, sebagaimana dikutip Kyodonews.
Nelayan Fukushima dan sekitarnya menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meyakinkan pasar bahwa tangkapan mereka aman dari radioaktif. Kini, upaya itu dikhawatirkan berantakan. ”Kami tidak bisa mencegah citra Fukushima hancur,” ujar Kikuchi.
Koperasi nelayan di Fukushima dan provinsi sekitarnya berencana mengirimkan petisi ke Tepco dan pemerintah pusat pada pekan ini. Sejauh ini, paling tidak 30.000 orang mendukung petisi untuk menolak pembuangan air limbah PLTN Fukushima.
Di Korea Selatan, unjuk rasa di sejumlah kota merebak untuk menolak rencana pembuangan limbah itu. Ketua Fraksi Partai Kekuatan Rakyat (PPP) di parlemen Korsel, Yun Jae-ok, menegaskan, Korsel akan terus melarang impor produk kelautan dari sekitar Fukushima.
”Bisa 10 tahun, bisa juga sampai 100 tahun. Sampai warga yakin sudah aman, impor boga bahari dari Fukushima akan dilarang,” kata Yun, politisi partai pengusung Presiden Korsel Yoon Suk Yeol, sebagaimana dikutip kantor berita Yonhap.
Baca juga : Jepang Bisa Picu Bencana Baru jika Buang Limbah Radioaktif ke Laut
Politisi oposisi Korsel bersikap lebih keras lagi. ”Pemerintah Jepang belum menjelaskan dampak air limbah itu pada makhluk laut, khususnya pada kandungan radioaktif yang bisa masuk di makanan kita. Negara kita adalah salah satu konsumen besar boga bahari. Jadi, ini soal keamanan dan kesehatan,” kata Kim Ji-moon, pejabat Partai Keadilan Korsel, kepada Nikkei Asia.
Unjuk rasa merebak di sejumlah kota di Korea Selatan untuk menolak rencana Jepang membuang limbah nuklir PLTN Fukushima.
Partai oposisi utama Korsel, Partai Demokrat, menuding IAEA tidak menilai dengan benar. IAEA berasumsi Tepco akan benar-benar menjalankan rencana yang dipaparkan. ”IAEA mengabaikan kewajiban untuk memverifikasi keamanan limbah PLTN Fukushima,” demikian pernyataan partai itu, seperti dikutip Yonhap.
Ketua Fraksi Partai Demokrat di parlemen Korsel, Lee Jae-myung, menegaskan penolakan klaim keamanan air limbah itu. ”Jepang mengeklaim airnya sudah diolah, aman diminum. Kalau memang aman, mereka sudah lama menjadikannya sumber air minum,” ujarnya.
Sementara Sekretaris Jenderal Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Forum/PIF) Henry Puna mengatakan, PIF tetap pada posisi tidak menerima rencana itu. Bangsa-bangsa kepulauan Pasifik masih terus menanggung dampak uji coba nuklir AS dan sejumlah bangsa Eropa. Kini, mereka terancam oleh rencana Jepang. ”Jangan buang limpah sampai semua pihak sepakat soal keamanannya,” katanya.
Pendapat ahli
PIF telah menggandeng panel ahli untuk menilai potensi dampak pembuangan itu. Anggota panel itu, antara lain, adalah Robert Richmond, peneliti biologi kelautan dari University of Hawaii at Manoa.
”Apakah orang-orang yang mendorong ini, pengolahan dengan APLS, lalu membuangnya ke laut, telah membuktikan kepada kami soal keamanan biota laut dan manusia. Jawabannya jelas tidak,” kata Richmond, sebagaimana dikutip laman kajian ilmiah Nature.
Bersama empat peneliti lain, ia menelaah data dari Pemerintah Jepang dan Tepco soal pengolahan air limbah Fukushima. Dari telaah itu, mereka belum menemukan jawaban soal tritium dan karbon-14. ”Jika Anda mengonsumsi sesuatu yang tercemar dengan senyawa itu, sel tubuh Anda akan terpapar,” kata Richmond.
Ia menyoroti sistem mata rantai makanan laut. Tumpukan senyawa radiokatif itu akan semakin meningkat karena biota terkecil dimakan hewan lebih besar. Residu dari biota kecil lalu menumpuk di pemangsanya. ”Konsep pengenceran sebagai solusi masalah ini jelas palsu. Konsep itu dibantah oleh mekanisme hayati laut,” ujarnya.
Baca juga : Berlindung dari Bencana Terburuk Buatan Manusia
Pakar kimia kelautan di University of Tokyo, Shigeyoshi Otosaka, mengatakan, akumulasi senyawa sudah ditemukan di sejumlah hewan lain. ”Penting untuk mengevaluasi dampak radioaktif ini pada lingkungan dalam jangka panjang,” ujarnya.
Ia membenarkan pernyataan Pemerintah Jepang dan Tepco bahwa air pendingin dari sejumlah PLTN sudah lama dibuang ke laut. ”Pembuangan air dengan kandungan tritium bisa dikendalikan,” kata Otosaka.
Adapun Duta Besar China untuk Jepang Wu Jianghao mengatakan, air limbah hasil bencana nuklir belum pernah dibuang ke laut. ”Jepang menyebut di seluruh dunia ada pembuangan air pendingin reaktor PLTN. Masalahnya, air itu tidak terpapar langsung dengan inti reaktor yang meleleh,” katanya.
Karena itu, air limbah PLTN Fukushima tidak dapat dibandingkan dengan air pendingin PLTN lain. Wu juga menyebut, IAEA bukan lembaga paling tepat untuk menilai dampak lingkungan dari pembuangan limbah. Sebab, fungsi utama IAEA adalah mendorong penggunaan nuklir untuk kepentingan damai. (AFP/REUTERS)