Trauma pernah menjadi korban serangan nuklir menjadi salah satu alasan latihan diikuti dengan serius oleh jutaan anak-anak Jepang. Mereka tidak pernah tahu kapan akan harus menggunakan hasil latihan itu.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
KOMPAS/M ZAID WAHYUDI
Rumah-rumah dibiarkan terbengkalai dan ditumbuhi ilalang yang terletak di radius kurang dari 5 kilometer dari PLTN Fukushima Daiichi, Jepang, Selasa (27/11/2018). Pemerintah masih melarang rumah-rumah di kawasan itu dihuni karena masih tingginya paparan radiasi di kawasan tersebut akibat ledakan pada beberapa reaktor PLTN akibat tsunami 11 Maret 2011.
Fukushima menunjukkan dua sisi nuklir. Di satu bilah, nuklir terbukti sebagai sumber energi yang bisa menghasilkan banyak kebaikan. Di sisi lain, nuklir juga membawa bencana bagi umat manusia dan ancamannya bisa bertahan ribuan tahun.
Dalam pernyataan pada Kamis (30/3/2023), Kantor Kepresidenan Korea Selatan memastikan akan tetap melarang impor boga bahari atau seafood dari sekitar Fukushima. Kebocoran reaktor PLTN Fukushima pada Maret 2011 akibat gempa jadi alasan pelarangan itu. ”Keselamatan dan keamanan warga adalah prioritas utama,” demikian pernyataan Istana Biru.
Bukan kali ini saja Korsel bersikap keras soal makanan yang diproduksi dari sekitar Fukushima. Kala mengikuti Olimpiade Tokyo 2021, kontingen Korsel membawa alat pendeteksi radioaktif untuk memeriksa paket makanan di wisma atlet. Sebagian makanan malah dibawa dari Korsel untuk memastikan bebas dari bahan pangan yang mengandung radioaktif.
Korsel berusaha keras mencegah dampak buruk nuklir bagi warganya. Sampai sekarang, Seoul mengaku belum ada bukti ilmiah lingkungan sekitar PLTN Fukushima sudah aman dari radioaktif.
Gempa Maret 2011 membuat air mengandung radioaktif yang mencemari sebagian daratan dan perairan Fukushima. Sebagian air itu ditampung di sekitar PLTN Fukushima. Dilaporkan Kyodo News pada September 2022, Tokyo Electric Power Company (TEPCO) yang bertanggung jawab mengolah limbah nuklir itu menyatakan hal berbeda. Perusahaan itu menemukan level bahan radioaktif dalam limbah mencapai tiga kali lipat dari standar nasional Jepang. Padahal, air limbah telah diolah dengan teknologi terbaru.
Bahan itu adalah Strontium 90 yang digolongkan limbah tingkat tinggi. Butuh ratusan tahun untuk menguraikan isotop itu. Cemaran Strontium 90 bisa mengakibatkan kanker darah dan kanker tulang. Bahkan, pada 2018, Tepco mengaku baru mengolah 20 persen dari keseluruhan air limbah tersebut. Tidak diketahui berapa banyak lagi yang diolah pada 2018-2021.
Peneliti pada Woods Hole Oceanographic Institution, Ken Buesseler, mengatakan, ia dan rekannya belum menemukan bukti ilmiah air limbah PLTN Fukushima sudah aman. Jika tetap dibuang, limbah radioaktif itu akan menyebar ke seluruh Pasifik mengikuti arus air. ”Akan mencemari ikan dan biota lain,” ujarnya.
REUTERS/TOMOHIRO OHSUMI/POOL
Foto yang diambil pada 23 Februari 2017 menunjukkan seorang karyawan Tokyo Electric Power Co.'s (TEPCO) sedang berjalan melewati tangki penyimpanan air yang terkontaminasi di kompleks pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi di Okuma, Fukushima, Jepang.
Sejak 2021, Jepang coba membuang air limbah itu ke laut. Berbagai negara meminta Jepang tidak melakukannya. Sebab, pembuangan itu akan membuat laut tercemar radioaktif dalam jumlah besar.
Latihan
Bersebelahan dengan Korea Utara, Korsel salah satu bangsa yang sadar bahaya nuklir. Sepanjang Maret 2023, Korut sudah tujuh kali menembakkan rudal. Uji coba itu disikapi serius karena Korut punya sejumlah hulu ledak nuklir yang bisa dipasangkan ke rudal-rudal yang terus ditembakkannya.
Korut memang belum pernah lagi meledakkan salah satu nuklirnya sejak September 2017. Walakin, tidak ada yang tahu sampai kapan Pyongyang menahan diri tidak menggunakan senjata nuklirnya. Apalagi, seperti dilaporkan KCNA pada 27 Maret 2023, Pemimpin Korut Kim Jong Un meminta produksi bom nuklir dan bahan baku bom nuklir Korut ditingkatkan.
Karena itu, negara-negara di sekitar Korut memilih bersiap pada kemungkinan Pyongyang melepaskan arsenal nuklirnya. Bersama Amerika Serikat, Korsel semakin gencar berlatih dengan skenario ada serangan nuklir dari Korut. Skenario latihan tidak hanya dari sisi militer saja. Ada latihan pemadam kebakaran, tenaga medis, hingga anggota pertahanan sipil untuk meningkatkan kesiapan menghadapi bencana nuklir.
Para pelajar di berbagai sekolah Korsel rutin latihan evakuasi jika ada serangan nuklir. Fokus utama latihan adalah menggunakan pelindung dari radiasi dan menuju ruangan tahan radiasi nuklir. Warga Korsel senantiasa diingatkan untuk memiliki cadangan pangan. Cadangan itu disiapkan jika sewaktu ada bencana nuklir terjadi.
Jepang tentu saja punya latihan menghadapi bencana nuklir. Jepang satu-satunya bangsa yang pernah merasakan bom nuklir. Insiden Fukushima juga menunjukkan, Jepang salah satu bangsa yang merasakan dampak bencana nuklir.
Karena itu, anak-anak Jepang terbiasa mendadak harus menggunakan tudung pelindung radiasi. Pemakaian tudung itu bagian dari latihan rutin menghadapi bencana nuklir. Bagi Nishizaki Ryusuke (23), latihan itu terbukti berguna pada Maret 2011. Kala itu, ia masih pelajar kelas V di SD Futaba Minami. Sekolah itu berjarak 3 kilometer dari PLTN Fukushima.
Selama sekolah, ia beberapa kali berlatih evakuasi jika ada bencana nuklir. Dilaporkan NHK, ia dan teman-temannya tidak menduga harus benar-benar dievakuasi kala reaktor PLTN Fukushima bocor. Bukan hanya dari sekolah, ia harus meninggalkan rumah dan desa tempat tinggalnya kala itu. ”Dulu, saya yakin akan selamanya tinggal di sana. Gempa dan insiden PLTN mengubah semuanya,” kata mantan penduduk Futuba itu.
Kala ia dan sejumlah rekannya berkunjung untuk mengenang 10 tahun tragedi itu, kondisi sekolahnya nyaris masih sama persis seperti waktu ditinggalkan. Buku dan meja masih berserakan di dalam kelas-kelas.
Larangan masuk ke Futaba sudah dicabut sebagian pada Maret 2021. Walakin, tetap tidak ada yang mau kembali tinggal di daerah yang dulu dievakuasi. Karena itu, kecuali sudah banyak aneka tumbuhan dan lapisan tebal debu, kondisi berbagai hal di sana nyaris tidak berubah.
Ryusuke ingat meninggalkan Futaba hanya dengan seragam sekolah yang dipakai di hari gempa terjadi. Tidak ada lagi yang dibawa karena seluruh penduduk kota harus dievakuasi. Mereka dengan tertib mengikuti perintah harus secepatnya meninggalkan lokasi bencana.
Ketertiban itu salah satu hasil dari latihan rutin selama bertahun-tahun. Trauma pernah menjadi korban serangan nuklir menjadi salah satu alasan latihan diikuti dengan serius oleh jutaan anak-anak Jepang. Mereka tidak pernah tahu kapan akan harus menggunakan hasil latihan itu. Ryusuke dan ratusan pelajar, guru, serta pegawai SD Futaba Minami pernah terpaksa menerapkan latihan itu.
Secepatnya tanpa membawa apa pun kecuali baju yang melekat di badan, mereka meninggalkan daerah bencana. Tempat tinggal mereka sedang menjadi lokasi bencana terburuk yang mungkin dibuat manusia. Bencana nuklir. (AFP/REUTERS)