Milenial Jepang Hidup Pasrah
”Pemerintah mendorong kami agar memiliki anak dengan bermohon. Akan tetapi, kebanyakan kami tidak memiliki cukup uang untuk membesarkan anak,” tutur Suganuma Natsuki, warga Tokyo, Jepang.
Carilah informasi ekonomi Jepang di Google News, di dalamnya akan turut muncul kisah pasrah para milenial di negara itu. Mereka memandang hidup yang kontras dengan pengalaman kakek nenek mereka. Jika generasi kakek nenek berbelanja bebas, mereka terjebak kebuntuan tentang pekerjaan dan masa depan.
Generasi milenial di Jepang sekarang hanya bisa mengenang booming ekonomi sejak Perang Dunia II. Mereka kini hanya mengenang generasi kakek nenek plesiran ke seluruh dunia. Hingga hotel termewah di dunia sekalipun pada zaman 1980-an menyediakan nasi, lauk ikan, atau setidaknya khas makanan Asia. Ini karena Jepang sangat mendunia, termasuk lewat plesiran. Hingga di Bali saja beberapa warga setempat sampai paham bahasa Jepang.
Kini kisah korporasi hebat Jepang yang mendunia pun hanya tinggal sejarah bagi mereka. Otomotif, sektor yang lama dikuasai Jepang hingga negara itu menjadi eksportir otomotif nomor satu dunia, kini mulai melemah. China telah menyalip Jepang dan menjadi eksportir otomotif terbesar dunia dalam tiga bulan pertama 2023 (BBC, 19 Mei 2023).
Administrasi Bea Cukai China menyebutkan, ekspor mobil China mencapai 1,07 juta unit pada kuartal I-2023. Ini naik 58 persen dibandingkan dengan kuartal I-2022. Saat bersamaan ekspor mobil Jepang sebanyak 954.185 unit, hanya naik 6 persen.
Tahun lalu China telah menyalip Jerman sebagai eksportir mobil nomor dua dunia dan kini telah melewati Jepang. Ekspor China melejit karena kendaraan listrik yang disertai penjualan yang meroket ke Rusia.
Baca juga : Mobil Listrik, Kuda Troya China di Era Multipolar
Jepang, yang dulu dikenal merajai pasaran dunia, kini melesu. Jepang pernah disebut sebagai pemimpin angsa liar terbang di Asia dalam investasi di kawasan. Negara itu kini telah disalip China. Efeknya adalah para generasi muda Jepang tidak lagi mengenal istilah karoshi, julukan bagi pekerja yang meninggal karena kerja berlebihan.
Milenial Jepang, kata Seijiro Takeshita, Dekan Sekolah Manajamen, Informatika, dan Inovasi di University of Shizuoka, ”tidak lagi seperti generasi sebelumnya yang suka pergi dan bekerja keras terus hingga meninggal. Kini generasi mereka mengidap sentimen negatif, menyaksikan peristiwa negatif internasional, krisis, dan berbagai bencana alam” (The South China Morning Post, 20 Juni 2023).
Menyaksikan derita
Hanya 20 persen warga Jepang masuk kalangan milenial. The Pew Research Centre mendefinisikan kaum ini adalah mereka yang lahir periode 1981 hingga 1996. Jumlah milenial Jepang sekitar 22 juta jiwa, lebih rendah dari AS sebanyak 72 juta dan jauh lebih rendah dari milenial China sebanyak 400 juta jiwa.
Mereka menjalani hidup dalam kesuraman ekonomi dan sudah bahagia bisa cukup bertahan. Mereka sadar situasi itu, sekaligus tidak banyak dari mereka yang ingin punya anak. Hanya saja milenial yang melek digital ini melihat dunia dari perspektif lain, berbeda dengan generasi sebelumnya. Kepemilikan materi bukan impian besar mereka. Bisa hidup dan bahagia adalah pegangan mereka.
Makoto Isechi (36) dan istrinya membuka restoran Italia setelah toko musik tempatnya bekerja di Osaka tutup. Pasangan yang tinggal di apartemen sewaan ini tidak bermimpi punya anak, memiliki rumah, atau menjadi kaya. Isechi menyaksikan di usianya lebih muda, orangtua berutang dan tidak bisa membayar.
Baca juga : Hanya Tambah 2 Yen, Kenaikan Harga Jajanan Ini Mengguncang Warga Jepang
”Perekonomian Jepang mandek dalam tiga dekade terakhir, jadi generasi milenial tidak mengalami situasi ekonomi baik,” kata Takahide Kiuchi, ekonom dari Nomura Research Institute.
Milenial Jepang tetap merupakan pekerja keras. Akan tetapi, kerja keras tidak akan menghasilkan upah atau keberuntungan yang tinggi. Upah riil tidak pernah naik sejak 2008. Meski perusahaan menaikkan upah, hal itu terkikis karena inflasi.
Baca juga : Pulihkan Ekonomi Jepang, PM Kishida Janjikan Kenaikan Gaji Pegawai
Rasa tidak aman secara ekonomi menyergap milenial. Kesuraman ekonomi Jepang, antara lain, disebabkan penduduk yang menurun dari level tertinggi 128,1 juta jiwa pada 2008 menjadi 125,7 juta jiwa pada 2021. Kelesuan ekonomi ini sudah berlangsung tiga dekade atau sejak 1991.
Tekanan AS
Kelesuan itu tidak lepas dari efek hukuman ekonomi oleh AS pada dekade 1980-an. Jepang terbiasa diredam AS dalam perekonomian. Lewat Plaza Accord pada 1985, AS meminta Jepang menaikkan kurs yen dan menyebabkan yendaka, yakni kenaikan kurs yen dalam kurun waktu lama. Hal ini serta-merta memerosotkan ekspor Jepang dan membangkrutkan korporasi Jepang yang pada dekade 1990-an merajai pasar AS.
Baca juga : Mantan PM Hatoyama: Jepang Terlalu Ikuti AS, Mestinya Banyak Dialog dengan China
AS pada dekade 1980-an terbiasa meredam ekspor Jepang. Ketika negara ini memasuki industri cip dan mulai mendunia, termasuk di AS, tekanan terus dilakukan AS. Tujuannya adalah agar perusahaan pesaing di AS tidak tersaingi sangat keras oleh ekspor Jepang.
AS pada dekade 1980-an terbiasa meredam ekspor Jepang. Tujuannya adalah agar perusahaan pesaing di AS tidak tersaingi sangat keras oleh ekspor Jepang.
Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda (2007-2008) mendalami perekonomian Jepang dan sebab musabab kejatuhannya. Tekanan AS ia sebutkan sebagai salah satu penyebabnya. Dalam satu kesempatan, Fukuda menyatakan pada China agar belajar dari kasus perekonomian Jepang. Tekanan-tekanan AS pada China dalam perekonomian, menurut Fukuda, agar jangan membuat China lupa menemukan cara untuk melanjutkan pertumbuhan (The South China Morning Post, 9 Juli 2019).
Meski demikian, penduduk menua turut menambah kelesuan perekonomian Jepang. Stimulus ekonomi Jepang yang gencar dilakukan tidak pernah berhasil menggerakkan perekonomian dan hanya bersifat sementara. Penduduk menua dan jumlah menurun, tidak cukup kuat menaikkan konsumsi.
Merangsang pernikahan
Maka, tahun demi tahun Pemerintah Jepang mendorong tingkat kelahiran, yang malah terus menurun. Tingkat kelahiran bayi di Jepang pada 2023 adalah 1,2565. Ini lebih rendah lagi dari tingkat kelahiran pada 2005 yang mencapai 1,2601. Dibutuhkan tingkat kelahiran 2,07 untuk menjaga jumlah penduduk agar tidak merosot (Al Jazeera, 2 Juni 2023).
Perdana Menteri Fumio Kishida melanjutkan para PM sebelumnya, terus mencoba mendorong tingkat kelahiran. Rangsangan pernikahan lewat pertemuan para warga lawan jenis juga dicoba dilakukan (The Japan Times, 12 Juni 2023). ”Pemerintah mendorong kami agar memiliki anak dengan bermohon. Akan tetapi, kebanyakan kami tidak memiliki cukup uang untuk membesarkan anak. Terlalu menakutkan memiliki anak,” kata Suganuma Natsuki, warga Tokyo, kepada South China Morning Post.
Baca juga : Populasi Menua, Jepang Utamakan Anak dan Pengasuhan Anak
Situasi ekonomi membuat warga lebih berhati-hati dengan pengeluaran. Warga Jepang sekarang terus menjaga gaya hidup konservatif. Akan tetapi, Pemerintah Jepang tetap mencoba menggairahkan perekonomian lewat pertambahan penduduk.
Jasa pariwisata
Kini Jepang tidak lagi mengandalkan semata-mata pertambahan penduduk secara domestik. Japang sedang memikirkan reformasi keimigrasian dan agar siap menerima kenyataan di masa depan bahwa akan ada 10 persen warga asing yang tinggal di Jepang. ”Di masa depan sekitar 40-50 persen penduduk di sejumlah kota kemungkinan adalah warga asing,” kata Hiroya Masuda, Presiden Japan Post Holdings dan mantan Menteri Dalam Negeri dan Komunikasi (Nikkei Asia, 21 Juni 2023).
Program ini akan membutuhkan waktu. Jepang butuh segera penduduk lokal atau warga asing untuk mendorong perekonomian. Maka dari itu, Jepang gencar merangsang warga asing datang ke Jepang sebagai turis. Juga dirangsang dan dipermudah prosedur kedatangan warga asing dengan jet pribadi. Kaum jetset ini dilayani dengan mudah untuk bermain golf di Jepang.
Hal serupa juga dilakukan pada warga asing tipe diskon. Biro-biro wisata Jepang melakukan pameran di banyak negara, termasuk di China dan Indonesia. Hasilnya mengejutkan. Pada kuartal I-2023 ini perekonomian Jepang bertumbuh 0,7 persen, lebih tinggi dari 0,4 persen dalam perkiraan sebelumnya.
Saisuke Sakai, ekonom dari Mizuho Research & Technologies, mengatakan, permintaan domestik, khususnya didorong turis asing, telah mendorong pertumbuhan. Ke depan, kata Sakai, hal ini masih berlanjut. (AFP/REUTERS)