Mantan PM Hatoyama: Jepang Terlalu Ikuti AS, Mestinya Banyak Dialog dengan China
Hubungan China dengan Jepang selalu rumit. Namun, bukan berarti Jepang harus bersikap antagonis.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
KOMPAS/ANRTONY LEE
Mantan Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden Mongolia Orchirbat Punsalmaagiin, Chair of the Executive Committee for DMZ International Forum on the Peace Economy Seong Kyoung Ryung, dan mantan Kanselir Jerman Gerhard Schroder (dari kiri ke kanan).
BEIJING, SELASA — Mantan Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama mengkritisi kebijakan Pemerintah Jepang saat ini yang cenderung memusuhi China. Semestinya, sebagai tetangga sekaligus kekuatan ekonomi besar di Asia, Jepang dan China bisa duduk bersama untuk membicarakan berbagai permasalahan yang mereka hadapi serta mencari jalan keluar yang diplomatis.
Hal tersebut diutarakan Hatoyama ketika berpidato di Forum Perdamaian Global di Universitas Tsinghua, Beijing, China, Senin (4/7/2022). Hatoyama menjabat sebagai PM Jepang pada 2009-2010. Dia merupakan politikus dari Partai Demokratik Liberal, sama dengan perdana menteri saat ini, Fumio Kishida.
”Jepang sekarang terlalu mengikuti langkah Amerika Serikat yang begitu cepat mengambil langkah antipati terhadap pihak yang bertentangan dengan pandangan mereka,” tutur Hatoyama, yang dikutip oleh surat kabar South China Morning Post.
Jepang antara lain membuat Pakta Pertahanan Quadrilateral dengan AS, India, dan Australia. Mereka juga menandatangani Kerangka Ekonomi Pasifik besutan Presiden AS Joe Biden. Pekan lalu, pada 29-30 Juni, PM Kishida menghadiri rapat Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Madrid, Spanyol.
Ia merupakan kepala pemerintahan pertama Jepang yang mengikuti kegiatan tersebut. Setelah selesai rapat NATO, Kishida, Biden, dan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengumumkan pernyataan bersama untuk melakukan latihan militer tiga negara guna menghadang perkembangan senjata nuklir di Korea Utara.
”Boleh-boleh saja Jepang menandatangani berbagai pakta keamanan. Namun, utamakan jalur diplomasi yang dialogis. Semestinya, berada di pakta-pakta ini membuat Jepang semakin bersemangat membujuk AS untuk duduk bersama China,” ujar Hatoyama.
Ia mengingatkan, tahun 2022 adalah peringatan 50 tahun normalisasi hubungan Tokyo-Beijing setelah Perang Dunia II. Jepang seharusnya semakin dewasa dalam menjalankan politik luar negeri mereka. Mengisolasi dan memperlakukan negara lain sebagai musuh tidak akan memberi hasil positif. Apalagi, Jepang mengakui kesepakatan Satu China sehingga sudah memiliki landasan politik ketika berhubungan dengan Beijing.
Fumio Kishida, yang dilantik menjadi PM Jepang pada Oktober 2021, sebelumnya mengatakan bahwa menjaga dialog dengan China sangat penting. Namun, sikapnya berubah serupa dengan pendahulunya, Shinzo Abe. Baik Kishida maupun Abe mengecam perbuatan China terhadap Taiwan.
AP PHOTO/KYODO NEWS
Dalam foto bertanggal 2 September 2012 ini tampak kapal pemantau Jepang, Koyo Maru, berlayar di antara pulau MInamikojima, Kitakojima, dan Uotsuri. Pulau-pulau ini disebut Kepulauan Senkaku oleh Jepang. Namun, oleh China, kepulauan yang berada di Laut China Timur ini diklaim sebagai milik mereka dengan nama Kepulauan Diaoyu.
Pada Juni lalu dalam acara Dialog Shangri-La di Singapura, Kishida mengutarakan pernyataan kontroversial. Menurut dia, invasi Rusia ke Ukraina adalah cerminan yang akan terjadi di Asia, yaitu ketika China menginvasi Taiwan. Hal ini memancing kemarahan Beijing yang mengatakan tidak layak membandingkan situasi Rusia-Ukraina dengan China-Taiwan.
Beijing melalui Menteri Pertahanan Wei Fenghe menekankan bahwa konflik di Eropa ialah Rusia menginvasi Ukraina yang merupakan negara berdaulat. Sebaliknya, Taiwan merupakan bagian dari China sesuai dengan prinsip Satu China yang diakui dan dijalankan oleh hampir semua negara di dunia.
Pernyataan Wei kemudian dibalas oleh Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin yang mengatakan bahwa AS tidak ingin membuat Perang Dingin baru dengan China. Washington juga tidak berminat membuat semacam NATO di Asia. ”Kami tidak mencari-cari konfrontasi. Kami menginginkan berbagai intrusi ke Taiwan dihentikan,” ujarnya.
Hubungan Tokyo-Beijing juga semakin pelik dengan sengketa tiada akhir di Laut China Timur, terutama di Pulau Senkaku yang oleh China disebut sebagai Pulau Diaoyu. Jepang bersikeras bahwa berdasarkan hukum kelautan internasional, pulau itu milik mereka. China menggunakan alasan historis untuk mengklaim wilayah tersebut.
Pekan ini, Jepang mengusir kapal militer Rusia dan China yang melintasi perairan Senkaku. Fregat milik Rusia itu melintas tanpa izin di perairan yang bukan bagian dari zona ekonomi eksklusif Jepang. Setelah itu, turut berlayar melewati jalur tersebut kapal militer milik Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA). (AP)