Takhta Krisan, Simbol Harapan Negeri Sakura
Takhta Krisan, institusi monarki Jepang, telah berlangsung selama 2.600 tahun. Perannya dalam sejarah Jepang terus berevolusi. Agar tetap relevan di zaman modern, tantangan semakin besar.
Kaisar Jepang Naruhito bersama Permaisuri Masako memulai lawatan ke Indonesia. Bahkan, Indonesia merupakan tempat kunjungan resmi pertama mereka ke luar negeri sejak Naruhito naik takhta pada 2019. Ini tidak termasuk kepergiannya ke Inggris guna menghadiri pemakaman Ratu Elizabeth II pada 2022. Kunjungan ini sarat dengan diplomasi lunak dari kepala negara ”negeri sakura” atau ”negeri matahari terbit” itu.
Kekaisaran Jepang merupakan kekaisaran tertua dan berkesinambungan di dunia. Umurnya sudah 2.600 tahun dan secara turun-temurun dikuasai Wangsa Yamato. Ini berbeda dari Kerajaan Inggris yang berumur 1.000 tahun. Meski jauh lebih muda, Kerajaan Inggris telah beberapa kali berganti wangsa penguasa.
Jika dibandingkan dengan monarki Inggris, pemberitaan mengenai monarki Jepang cenderung kalem. Tak ada kehebohan tabloid mengenai busana, tata rambut, ataupun kehidupan pribadi para anggota keluarga Kerajaan Jepang. Di media-media lokal pun, pemberitaan mengenai kaisar, permaisuri, pangeran, dan putri, lebih kepada kegiatan mereka menghadiri acara amal ataupun peresmian.
Baca juga: Kekaisaran Jepang, Monarki Tertua, 2.600 Tahun Tanpa Pernah Putus
Berita paling heboh mengenai keluarga Kerajaan Jepang adalah ketika keponakan Kaisar Naruhito, Putri Mako, melepas gelar keningratannya pada 2021. Ia menikahi Kei Komuro, seorang rakyat jelata. Kini, mantan putri itu dikenal dengan nama Nyonya Mako Komuro dan tinggal bersama suaminya di New York, Amerika Serikat (AS).
”Budaya Jepang berbeda dengan budaya Barat. Demikian juga dengan persnya. Keluarga kerajaan tetap menjadi sorotan, tetapi dengan penekanan kepada kewajiban mereka untuk tampil ideal dan menunaikan tugas kerajaan,” kata Jeffrey Kingston, Guru Besar Kajian Jepang dan Asia Kontemporer di Universitas Temple, Jepang. Ia dihubungi dari Jakarta, Selasa (13/6/2023).
Salah satu contohnya ialah tekanan publik terhadap Permaisuri Masako, ketika itu masih sebagai Putri Masako, untuk melahirkan bayi laki-laki yang akan menjadi ahli waris takhta. Tekanan ini tidak berupa cercaan, tapi berbagai pemberitaan yang mengagungkan pentingnya seorang putra mahkota.
Menurut Kingston, tekanan ini lebih pelan, tetapi terus-menerus. Akibatnya, Masako pernah mengalami tekanan kejiwaan. Di sini, Putra Mahkota Naruhito turun tangan dan meminta agar publik memberikan ruang kepada istrinya.
Ia dipuji sebagai suami yang peduli kepada istri. Apalagi, beberapa tahun kemudian, adik Naruhito, Pangeran Akishino, memiliki anak laki-laki yang bernama Pangeran Hisahito. Mereka berdua adalah penerus takhta.
Baca juga: Kaisar Naruhito dan Permaisuri Masako Memulai Lawatan di Indonesia
Jika bisa merangkum keluarga Kerajaan Jepang dalam satu kata, Kingston mengatakan, itu adalah ”harapan”. Harapan ini mencakup agar Jepang memiliki banyak sahabat dan berkiprah di kancah global secara positif, terlepas dosa masa lalu. Juga harapan bagi masyarakat Jepang untuk berani menghadapi masa depan.
Posisi kaisar memang dirombak pada 1947 setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Kaisar menjadi kepala dan simbol negara, tetapi tanpa kekuatan politik. Jepang yang trauma akibat hancurnya Hiroshima dan Nagasaki oleh bom atom AS ingin menghindari perang di masa depan, apa pun caranya.
Baca juga: Indonesia Menyambut Putra Matahari
Perubahan undang-undang dasar menempatkan Kaisar Hirohito sebagai tokoh pendukung pemerintahan yang bekerja di bawah Jepang yang demokratis. Pada saat yang sama, skema ini menghindarkan Hirohito dari persekusi kejahatan perang yang didakwakan atas banyak sekali pejabat negara ketika itu.
”Hirohito melihat babak baru kekaisaran ini sebagai harapan. Ia berkomitmen untuk memperbaiki citra Jepang di mata dunia serta membangun kembali hubungan Jepang dengan negara-negara lain, terutama yang menderita akibat pendudukan Jepang semasa Perang Dunia II,” tutur Kingston.
Putranya, Akihito, yang merupakan ayah dari Naruhito, dididik dengan pandangan serupa. Ketika Hirohito mangkat dan Akihito menjadi kaisar pada 1989, ia berjanji untuk menebus kesalahan Jepang di masa lampau. Kunjungan ke luar negeri pertamanya pada 1991 bersama Permaisuri Michiko adalah ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Tujuannya untuk menjalin hubungan persahabatan yang pernah rusak akibat perang. Ini juga peristiwa bersejarah karena sebelumnya tidak ada Kaisar Jepang bepergian ke luar negeri. Kunjungan Akihito adalah harapan bagi Jepang yang baru. Ia juga menjabat sebagai Kepala Misi Rekonsiliasi Jepang.
Di dalam negeri, Akihito juga dikenal sebagai kaisarnya rakyat. Keluarga kerajaan Jepang murni dibiayai oleh uang pajak negara yang disetujui melalui parlemen. Oleh sebab itu, tindak-tanduk mereka terus diawasi publik. Mereka tidak bisa bermewah-mewah. Bahkan, Akihito terkenal senang mengemudikan mobil Honda Integra 1991 di lingkungan istana. Mobil ini tidak diganti sampai sekarang.
Baca juga: Arsip Foto ”Kompas”: Diplomasi Ikan Mas Kaisar Akihito
"Akihito dan Michiko sangat membumi. Mereka cekatan sekali mendatangi wilayah yang terkena bencana, misalnya gempa di Kobe pada 1992 dan gempa di Fukushima pada 2011," papar Kingston.
Ia juga memanfaatkan berbagai media untuk menenangkan masyarakat. Kingston menjelaskan, walaupun pemerintah dan bernagai lembaga kemanusiaan yang bekerja di lapangan, Akihito mampu menjadikan keluarga kerajaan sebagai simbol harapan bagi masyarakat di masa kelam.
"Namun, ini memperoleh tantangan di dua dekade terakhir karena pemerintahan yang nasionalis kanan menguat. Bagi kalangan konservatif kanan, Akihito ini mengingatkan mereka akan dosa masa lalu, sementara kalangan ini menganggap di masa perang hal-hal yang mereka lakukan itu memang harus dilakukan," kata Kingston.
Sejumlah perilaku sayap kanan Pemerintah Jepang ialah ketika para pejabat, termasuk mendiang Perdana Menteri Shinzo Abe beriziarah dan beribadah di Kuil Yasukuni. Kuil ini memperingati 2,5 juta tentara Jepang yang tewas sejak abad ke-19 hingga Perang Dunia II. Terdapat 14 penjahat perang Kelas A pada masa Perang Dunia II yang nisannya disemayamkan di Kuil Yasukuni, termasuk Perdana Menteri Hideki Tojo.
Melihat arah pemerintahan yang ke kanan, Akihito bergeming. Ia konsisten dengan misi rekonsiliasi Jepang dengan negara-negara sahabat. Naruhito pun dididik mengemban misi ini. Ketika Akihito turun takhta pada 2019, Naruhito diharapkan bisa menjadi wajah bagi Jepang yang toleran dan cinta damai. Hanya, kiprahnya sempat terhalang pandemi Covid-19.
Baca juga: Pilihan Hidup Mako dan Masa Depan Kekaisaran Jepang
Meskipun begitu, di dalam negeri, Naruhito tetap menyuarakan semangat toleransi. Terutama ketika Jepang menghadapi isu diskriminasi ras, jender, dan orientasi seksual. Dia terus mengatakan melalui media massa agar masyarakat Jepang terus saling menghormati dan menghargai perbedaan.
"Naruhito membawa semangat harapan baru karena secara pribadi ia sangat antusias dengan isu krisis iklim dan pengelolaan air. Ia selalu mengatakan bahwa dua hal itu yang harus dijaga agar dunia tidak jatuh ke dalam krisis berlarut-larut," kata Kingston. Menurut dia, kunjungan kenegaraan pertama Naruhito ke Indonesia menampakkan harapan itu.
Baca juga: Kaisar Naruhito Berharap Jepang Terus Berkontribusi bagi Perdamaian Dunia
Di Jakarta, Minggu (18/6/2023), Sekretaris Pers untuk Kaisar Jepang Kojiro Shiojiri mengatakan bahwa Naruhito mengunjungi Depo Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus dan Stasiun Pompa Waduk Pluit. Keduanya adalah wujud nyata kerja sama Jepang dan Indonesia. Di Waduk Pluit, Naruhito mengajukan banyak pertanyaan teknis kepada pakar perairan.
"Kaisar sangat perhatian kepada penanganan banjir di kota sebesar dan sepadat Jakarta. Apalagi, pompa Waduk Pluit ini pernah rusak di tahun 2009 dan pada 2014 diperbaiki dengan kerja sama Jepang. Kaisar ingin memastikan manfaatnya dirasakan publik," tutur Shiojiri.