Amerika Serikat dan Iran dikabarkan tengah menegosiasikan sejumlah hal, termasuk program nuklir Iran di bawah mediasi Oman. Meski dibantah, sejumlah indikasi mengarah pada melonggarnya sikap AS terhadap Iran.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
WASHINGTON, KAMIS— Pemerintah Amerika Serikat dikabarkan tengah mencoba bernegosiasi, membuat kesepakatan informal dengan Iran di tengah perubahan geopolitik kawasan. Salah satu kesepakatan diincar Washington adalah memotong jalur logistik suplai material persenjataan bagi Rusia.
Dua media, yakni Middle East Eye yang berbasis di London dan media AS The New York Times mengeluarkan laporan itu. MEE mengeluarkan laporan itu pada 8 Juni 2023, sementara NY Times menerbitkan laporannya Rabu (14/6/2023). Pada saat yang bersamaan, Iran dan AS tengah melanjutkan negosiasi tidak langsung dengan perantaraan Pemerintah Oman.
MEE, dalam laporannya mengatakan, pemerintah AS mendelegasikan tugasnya pada Utusan Khusus AS untuk Iran Rob Malley. Sementara, Iran diwakili oleh Duta Besar Iran untuk PBB Amir Saeid Iravani. Media ini juga melaporkan bahwa Malley, mantan CEO International Crisis Group, dan Iravani telah bertemu setidaknya tiga kali dalam sepekan terakhir untuk membicarakan hal itu.
NY Times dalam laporannya menyebutkan, mengutip tiga pejabat dari tiga negara, yaitu Iran, Amerika Serikat dan Israel, bahwa secara diam-diam Washington telah melakukan negosiasi dengan Iran selama beberapa waktu terakhir untuk mendapatkan kesepakatan tidak formal dan tidak tertulis. Tujuannya, selain memotong jalur logistik suplai material persenjataan untuk Rusia, adalah mencegah eskalasi lebih jauh karena masih ada ketidaksepakatan dalam program nuklir Iran, serta mencegah eskalasi yang dipicu berbagai kebijakan Teheran yang dinilai tidak memberi ruang untuk kebebasan berbicara bagi warganya yang memiliki pandangan berbeda. Persoalan terakhir mengacu pada situasi pascakematian Mahsa Amini. Negosiasi juga diarahkan untuk untuk pembebasan beberapa warga AS yang masih ditahan oleh Teheran.
Pejabat pemerintah AS menyebut bahwa mereka tidak membahas upaya pembebasan itu secara rinci. Dia hanya menyebut bahwa hal itu sebagai prioritas mendesak Pemerintah AS.
Laporan itu juga menyebut bahwa pembicaraan informal telah berlangsung beberapa kali sepanjang musim semi di Oman. Sejauh ini, perundingan tidak langsung mengenai Kesepakatan Nuklir Iran atau JCPOA belum mencapai kata sepakat. Sebagai catatan, sebelumnya, ketidaksepakatan dalam JCPOA berbuah sanksi terus menerus dari Washington terhadap Teheran.
Narasumber anonim tersebut mengungkapkan bahwa Iran akan menyepakati untuk tidak memperkaya uranium di luar tingkat produksi saat ini, dengan kemurnian 60 persen. Angka itu mendekati 90 persen atau angka kemurnian yang dibutuhkan untuk membuat senjata nuklir. Seorang pejabat Iran mengatakan, pemerintahan Presiden Ebrahim Raisi disebut akan mengendalikan proksinya di kawasan untuk menghentikan serangan terhadap kontraktor AS di Suriah dan Irak, memperluas kerja sama dengan tim pengawas nuklir IAEA dan menahan diri untuk tidak menyuplai rudal balistik ke Rusia.
Sebagai imbalannya, Iran mengharapkan Amerika Serikat mencabut sejumlah sanksi yang telah mengakibatkan perekonomiannya runtuh dan menyengsarakan rakyat negara itu, tidak menyita kapal tanker asing yang membawa minyak Iran, tidak mengusulkan resolusi hukuman baru di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Badan Energi Atom Internasional (IAEA) atas aktivitas nuklirnya.
Kepada media, Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matt Millter, Rabu (14/6/2023), menyebut bahwa kabar adanya kesepakatan informal antara AS dan Iran di luar kerangka JCPOA (rencana aksi komprehensif bersama) 2015 adalah salah atau menyesatkan.
“Kebijakan nomor 1 kami adalah memastikan bahwa Iran tidak pernah mendapatkan senjata nuklir. Jadi, tentu saja kami telah mengamati aktivitas pengayaan nuklir Iran,” kata Miller. “Kami percaya diplomasi adalah jalan terbaik untuk membantu mencapainya, tetapi kami sedang mempersiapkan semua kemungkinan opsi dan contingency.”
Dikutip dari kantor berita Tasnim, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani menyatakan hal yang sama bahwa tidak ada kesepakatan di luar kerangka JCPOA bila menyangkut program nuklir Iran.
“Kami menganggap hal-hal lain yang dikatakan media hanyalah spekulasi. Kami tidak akan mengonfirmasi apa pun bila dinyatakan sebagai sebuah negosiasi untuk apa yang disebut kesepakatan sementara,” katanya.
Meskipun demikian, Kanaani menyambut baik peran Pemerintah Oman yang mendorong perundingan penghapusan sanksi bagi Iran. Dia juga menyatakan Washington dan Teheran telah berkomunikasi melalui perantaraan Oman.
Kesepakatan Berpotensi Dicapai
Laporan mengenai kemungkinan adanya kesepakatan informal atau sementara antara Washington dan Iran, tak terlepas dari pernyataan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, akhir pekan lalu. Dia mengatakan bahwa kesepakatan dengan Barat, dalam hal ini AS dan sekutunya, mengenai program nuklir Iran, masih terbuka.
“Tidak ada yang salah dengan kesepakatan (dengan Barat), tapi infrastruktur industri nuklir kita tidak boleh disentuh," kata Khamenei, menurut media pemerintah.
Khamenei, pemilik otoritas tertinggi pengambil kebijakan Iran, mengatakan, badan nuklir Iran harus tetap menjaga hubungan dengan IAEA dan bekerja sama dengan mereka. Akan tetapi, dia juga meminta agar INRA (Otoritas Nuklir Iran) memiliki daya tawar dan tidak menyerah pada tuntutan yang berlebihan yang diminta IAEA maupun negara-negara Barat melalui lembaga itu.
Walau membantah adanya kesepakatan informal antara Teheran dan Washington, kantor Tasnim memberitakan bahwa dana milik Iran senilai 7 miliar dolar atau sekitar Rp 280 triliun yang ditahan beberapa bank Korea Selatan bisa dicairkan dalam beberapa pekan mendatang.
“Upaya gencar dari Kementerian Luar Negeri dan Bank Sentral Iran (CBI), kemajuan dan pencapaian yang baik telah dibuat. Hasilnya akan disaksikan dalam beberapa minggu mendatang,” kata Seyed Ehsan Khandouzi, Menteri Urusan Ekonomi dan Keuangan (MEAF) Iran.
Dikutip dari media Korea Selatan, Korean Economic Daily, pencairan dana itu dilakukan setelah sejumlah pejabat Korsel dan AS berkonsultasi untuk mencairkan dana tersebut. Dana itu selama ini disimpan di dua bank Korsel, yaitu Woori Bank dan Bank Industri Korea.
Tidak hanya mencairkan dana milik Iran yang ditahan di Korsel, akhir pekan lalu, AS juga memberi persetujuan pada Irak untuk membayar 2,5 miliar dolar AS atas pembelian minyak Iran. Sebanyak 1 miliar dana pembelian minyak itu sudah dikirimkan ke pemerintah Iran dan kini, pemerintah Irak tinggal membayar sisanya. Uang itu, menurut Departemen Luar Negeri AS, akan dibatasi untuk membeli makanan dan obat-obatan bagi rakyat Iran. Dana itu sendiri akan dikelola oleh pihak ketiga.
Dennis Ross, mantan Koordinator Khusus Timur Tengah pada masa Pemerintahan Bill Clinton, menilai, pemerintahan AS di bawah Biden tampaknya tidak memiliki keinginan untuk memicu krisis baru ketika sumber daya AS terserap ke dalam konflik Rusia-Ukraina. Gedung Putih, dalam penilaiannya ingin memfokuskan diri pada membantu Ukraina.
“Memiliki perang di Timur Tengah, di mana Anda tahu bagaimana itu dimulai tetapi Anda tidak tahu bagaimana akhirnya adalah hal terakhir yang mereka inginkan untuk saat ini,” kata Ross. (AFP/Reuters)