Jepang dan NATO berkeras ini tidak berarti pembukaan cabang di Indo-Pasifik. Beijing menilai langkah itu dimaksudkan untuk mengisolasi China.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
TOKYO, SELASA — Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO mengumumkan telah menetapkan hendak membuka kantor penghubung di Tokyo, Jepang, pada 2024. Kantor ini, meskipun tidak langsung menjadikan Jepang sebagai anggota NATO, akan mengatur kerja sama NATO dengan negara-negara mitra di Indo-Pasifik.
Pengumuman ini disampaikan media Jepang, Nikkei, pada Selasa (13/6/2023). Wacana mengenai pembukaan kantor penghubung ini sejatinya telah diungkapkan oleh NATO sejak Mei 2023. Ketika itu, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengemukakan keberatan. Alasannya, Perancis menolak NATO melakukan hal-hal yang berisiko memancing kemarahan China.
Kantor ini bukan berarti Jepang bergabung dengan NATO, melainkan untuk mempermudah komunikasi antara NATO dan mitranya di Indo-Pasifik yang terdiri dari Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Surat kabar nasional China, Global Times, pada Mei lalu memuji keberatan dan penolakan yang diucapkan Macron.
”NATO sengaja melakukan tindakan untuk mengisolasi dan memusuhi China. Mereka bahkan tidak mendengar masukan dari salah satu anggota tertua dan terpenting,” sebut tajuk rencana Global Times. Surat kabar ini juga menyuarakan kekhawatiran soal Jepang melakukan pengumpulan kekuatan militer. Alasannya, Jepang memiliki sejarah invasif selama Perang Dunia II.
Menanggapi protes itu, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida memberi penjelasan yang menekankan bahwa Jepang tidak berminat untuk bergabung sebagai anggota NATO. ”Bahkan, menjadi anggota tidak tetap pun tidak. Ini untuk kerja sama pada bidang teknologi, terutama keamanan siber,” ujarnya.
Pengumuman pembukaan kantor itu juga bertepatan dengan latihan pertahanan udara besar-besaran yang diadakan oleh NATO di Eropa. Latihan ini dipimpin oleh Angkatan Udara Jerman. Menurut laman resmi AU Jerman, ini adalah latihan udara terbesar dalam sejarah NATO dan dinamakan ”Air Defender 23”. Latihan ini dimulai sejak 12 Juni dan berlangsung hingga 23 Juni.
”Latihan ini melibatkan 10.000 personel militer dari 25 negara anggota NATO dan beberapa negara mitra, antara lain Jerman dan Swedia,” demikian kutipan keterangan pers itu.
Keterlibatan Swedia di dalam latihan udara ini menuai pertanyaan sejumlah pihak. Sebab, Turki masih keberatan memberikan persetujuan bagi Swedia sebagai calon anggota NATO. Stockholm menolak mengekstradisi orang-orang Kurdi yang oleh Ankara dicap pemberontak. Meskipun begitu, Mahkamah Agung Swedia pekan ini setuju untuk mengekstradisi seorang laki-laki beretnis Kurdi ke Turki. Orang bernama Mehmet Kokulu itu selama beberapa tahun terakhir menetap di Swedia secara sah.
Ankara mengatakan, Kokulu bersalah karena pernah menjual narkoba di Turki. Adapun Kokulu mengatakan, ekstradisi ini murni politik karena dia mendukung partai politik PKK yang terafiliasi pemberontak Kurdi. Ekstradisi ini dianggap sebagai pelicin Swedia mendapat restu Turki bergabung dengan NATO.
Kementerian Luar Negeri Swedia menyatakan, para pejabat dari kedua negara dijadwalkan bertemu pada Rabu ini untuk mendiskusikan lamaran Swedia sebagai anggota NATO.
Sementara itu, Letnan Jenderal Ingo Gerhartz dari AU Jerman ketika memberi keterangan pers kepada media Jerman menekankan, latihan ini bukan untuk perlombaan senjata. ”Ini murni untuk memberi efek gentar (deterrence). Menunjukkan kepada pihak-pihak lain bahwa NATO memiliki kemampuan membela diri sehingga mengurungkan niat mereka untuk menyulut konflik,” katanya.
NATO hendak menggelar konferensi tingkat tinggi di Lituania pada 11 Juli. Ini merupakan KTT terakhir yang akan dihadiri Jen Stoltenberg sebagai sekretaris jenderal NATO karena masa jabatannya segera tuntas. Seorang pejabat NATO yang disembunyikan identitasnya mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa KTT itu akan membahas sejumlah dokumen rahasia.
Intinya, NATO ingin meninjau kembali persebaran pasukan, persenjataan, dan logistik mereka di Eropa. Melihat perang yang berkecamuk di Eropa Timur, NATO ingin membahas apabila perlu ada peningkatan pasukan dan senjata pada titik-titik yang mereka anggap berpotensi memanas.
NATO tetap bersikeras tidak ingin memancing konflik dengan Rusia. Hingga kini, pertempuran antara Rusia dan Ukraina kerap dianggap masyarakat global sebagai perang antara Rusia dan NATO yang menggunakan Ukraina sebagai perpanjangan tangan.
Terkait pernyataan itu, mantan Wakil Komandan Aliansi Tertinggi Eropa 2011-2014, Jenderal Sir Richard Shireff, menjelaskan kepada majalah Newsweek bahwa NATO sudah ketinggalan kereta. Menurut Shireff, pakta pertahanan ini tidak akan siap jika harus bertempur langsung dengan Rusia.
Ia menyitir fakta bahwa sejak tahun 2022 NATO mengatakan hendak menambah personel militer menjadi 300.000 orang. Akan tetapi, sudah berjalan satu tahun tidak ada tanda-tanda penambahan pasukan. Demikian pula dengan pengucuran anggaran pertahanan. Selain Polandia, anggota-anggota lain tidak meningkatkan iuran mereka.
Secara umum, dana yang dikucurkan oleh NATO menurun. Investasi untuk peremajaan dan peningkatan kapasitas tempur darat dan udara stagnan. ”NATO melewatkan kesempatan untuk meningkatkan jumlah pasukan serta kapasitas tempurnya pada 2014 ketika Rusia mencaplok Semenanjung Crimea dari Ukraina,” ujar Shireff. (Reuters)