Sejak ratusan tahun lalu, perang telah menjadi ”bagian tak terpisahkan” dari Eropa. Sampai saat ini perang tak berhenti mendera benua tersebut.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Di tengah konflik bersenjata di Ukraina, 47 pemimpin negara Eropa berkumpul di Moldova, menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Ke-2 Komunitas Politik Eropa atau European Political Community (EPC). Meskipun salah satu topik pembahasannya adalah invasi Rusia di Ukraina, tak ada pemimpin Rusia dan Belarus, negara pendukung invasi, yang datang.
Tak bisa dihindari, isu keamanan militer menjadi perhatian forum yang digagas pada tahun lalu itu. Pertama kali menggelar pertemuan puncak pada Oktober 2022, EPC menghadirkan negara Uni Eropa (UE) dan non-UE yang dinilai juga mengusung ”nilai-nilai Eropa”.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy datang ke Moldova. Ia menyuarakan pentingnya jaminan keamanan bagi negara- negara Eropa yang berbatasan dengan Rusia. ”Semua negara yang berbatasan dengan Rusia hendaknya bergabung dengan Uni Eropa. Hanya dengan jaminan keamanan yang jelas, kita selamat dari ambisi Moskwa untuk menelan kita semua,” kata Zelenskyy (Kompas.id, 2 Juni 2023, ”Pemimpin Eropa Bersatu Hadapi Rusia”).
Dalam perspektif sejarah yang lebih jauh, perang di Ukraina hanya satu dari sekian banyak konflik bersenjata di Eropa. Beberapa di antaranya ialah perang 30 tahun dengan korban tewas jutaan orang dan diakhiri lewat Perjanjian Westphalia pada 1648. Ada pula perang besar abad ke-18 akibat persaingan Inggris-Perancis. Tak ketinggalan tentunya Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang merupakan wujud dari persaingan Jerman dengan negara-negara Eropa lainnya.
Pada saat yang sama, ada relasi tidak mulus selama berabad-abad antara Rusia dan negara-negara Eropa sehingga memengaruhi cara Moskwa melihat ke Barat. Sebaliknya, relasi ini turut mewarnai bagaimana Eropa memandang Rusia. Dalam konteks itulah, posisi Ukraina yang sejak berabad-abad silam merupakan titik hubung strategis antara Eropa Barat dan Rusia menyebabkan Ukraina krusial bagi Moskwa.
Riwayat konflik bersenjata dan kekejamannya ikut mendorong kelahiran UE. Negara-negara di benua itu berusaha memperdalam kerja sama satu sama lain untuk menghindari persaingan yang dapat berujung pada perang. Setelah Perang Dunia II, lahir Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang tak semata untuk membendung Uni Soviet. NATO yang dipimpin Amerika Serikat (AS) sesungguhnya juga dibentuk guna memastikan tak akan ada lagi rezim nasionalis, militeristis, dan rasis seperti NAZI di Eropa.
Isu ancaman keamanan militer tidak pernah hilang dari Eropa. Namun, kita patut selalu optimistis bahwa manusia senantiasa bisa mencari titik temu, membangun mekanisme untuk mencegah konflik bersenjata berlangsung berlarut-larut atau perang dunia terjadi. Maka, forum seperti EPC seharus- nya dijaga agar mampu menjadi sarana komunikasi terbuka dan tulus bagi kubu mana pun.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO