Momentum Normandia atau Solusi Timor untuk Ukraina
Sejak mengusir pasukan Rusia dari Kharkiv pada September 2022, Ukraina terus mempersiapkan serangan balik. Kini, serangan balik Ukraina diduga mulai berlangsung di palagan selatan.
Sejak September 2022, belum ada lagi serangan balik Ukraina dengan dampak signifikan pada Rusia. Meski pertempuran terus terjadi di garis depan sepanjang 1.100 kilometer, tidak ada perkembangan berarti di sisi Rusia dan Ukraina.
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mencatat, Rusia menghabiskan 3 persen produk domestik bruto (PDB) 2022 untuk membiayai perang di Ukraina. Adapun bagi Ukraina, biaya perang setara 34 persen PDB 2022.
Biaya itu belum termasuk bantuan dari berbagai negara kepada Ukraina. Amerika Serikat mengucurkan 5,3 persen anggaran pertahanan 2022 untuk membantu Ukraina. Nilai bantuan AS dan sejumlah negara untuk Ukraina masih terus bertambah. Dalam lawatan ke Kyiv, Sabtu (10/6/2023), Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengumumkan tambahan bantuan untuk Ukraina. Dengan pengumuman itu, Ottawa mengucurkan setidaknya 8,5 miliar dollar Kanada untuk Kyiv sejak Februari 2023.
AS dan sekutunya tidak hanya mengirimkan persenjataan ke Ukraina. Washington dan sekutunya juga melatih tentara Ukraina di dalam dan luar Ukraina. Di dalam Ukraina, seperti dilaporkan Kyiv Independent, pelatih kiriman Barat berstatus pensiunan tentara.
Baca juga: Ukraina Lancarkan Serangan Balik
Salah satunya adalah pensiunan letnan dari Angkatan Darat Swedia. Pria bernama Magnus itu tiba di Kyiv pada Juli 2022. Tugasnya melatih pasukan Ukraina dari bertahan menjadi menyerang. ”Hal yang sama sekali berbeda. Mereka harus mempertahankan garis depan yang direbut sambil terus menambah posisi yang harus dikuasai lagi,” ujarnya.
Dampak serangan
Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley menyebut, Ukraina telah dipersiapkan dengan baik untuk melancarkan serangan balik kali ini. Walakin, ia tidak bisa mengomentari hasilnya. ”Terlalu dini untuk menduga hasilnya dan pertempuran bisa jadi lebih menguntungkan pihak yang bertahan,” katanya, seperti dikutip CNN.
Pakar pertahanan pada University of Bath di Inggris, Patrick Bury, berpendapat senada. Menurut Bury, akan butuh waktu lama untuk melihat hasil serangan balik. Serangan pembuka bisa jadi yang paling mematikan bagi Ukraina. ”Sulit memastikan akan ada terobosan besar pada tahap awal serangan balik, seperti yang terjadi September lalu di Kharkiv,” ujarnya.
Sejak perang meletus, Ukraina melancarkan serangan balik pada April dan September 2022. Serangan April memaksa Rusia mundur dari Kyiv sampai Kharkiv di timur dan Zaporizhzhia di selatan. Serangan September memaksa Rusia mundur dari sebagian besar wilayah Kharkiv.
Dalam dua serangan itu, Rusia tidak siap. Dimulai dengan serangan jarak jauh ke posisi pasukan dan persenjataan Rusia, Ukraina melancarkan serangan besar-besaran lalu bisa memukul Rusia dari sebagian besar Kharkiv. ”Dengan citra satelit dari sekutunya, Ukraina bisa mengidentifikasi secara pasti posisi persenjataan dan pasukan Rusia. Sekarang, situasinya tidak seperti itu,” kata Bury kepada Al Jazeera.
Kekalahan di Kharkiv membuat Rusia menghabiskan Oktober 2022-Mei 2023 untuk membangun parit dan menyebar ladang ranjau di berbagai garis depan. Moskwa juga menggelar perangkat pengacak sinyal dan aneka perangkat perang elektronik lain. Perangkat itu menyulitkan rudal dan bom berpemandu mencapai sasaran yang benar-benar diinginkan. Sebab, pemandu pada bom dan rudal itu tidak berfungsi karena pengacak sinyal.
”Lebih mudah bertahan dibandingkan menyerang karena pihak yang bertahan lebih menguasai medan. Ukraina sudah membuktikan itu di luar palagan timur dan selatan,” ujar Bury.
Dugaan itu, antara lain, diindikasikan klaim Rusia pada Sabtu (10/6/2023). Moskwa mengklaim, setidaknya 1,5 batalion infanteri dan beberapa kompi tank serta panser Kyiv gagal melancarkan serangan di Zaporizhzhia dan Kherson.
Baca juga: Gedung Putih: Rusia Terima Rudal Iran untuk Serang Ukraina
Analis pada Center for Naval Analyses, Michael Kofman, menyebut ada dugaan serangan balik Ukraina di sekitar Zaporizhzhia. Lokasi serangan terutama di sekitar sungai yang menyusut selepas Bendungan Karkhova meledak dan jebol, beberapa hari lalu.
Sejak Kamis (8/6/2023), beredar video sejumlah tank Leopard 2A dan panser sumbangan AS dan sekutunya di palagan sekitar Zaporizhia. Video itu disebarkan Ukraina dan pendukungnya maupun oleh Rusia. Dalam video versi Rusia, dikesankan ada Leopard dan panser-panser yang rusak terkena rudal dan roket Rusia.
Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov dan wakilnya, Hanna Mailar, menolak berkomentar soal kapan dan di mana serangan balik dilancarkan. ”Kami akan mengumumkan jika pasukan (Ukraina) sudah menguasai lagi salah satu target,” kata Mailar.
Serangan udara
Dalam pengumuman, Minggu (11/6/2023), Angkatan Bersenjata Ukraina mengakui Rusia menyerang Pangkalan Udara Poltava. Moskwa menghantamkan enam rudal dan 20 pesawat nirawak berpeledak ke kompleks lanud itu. Kyiv dan Moskwa sama-sama tidak menyebutkan dampak serangan ini.
Serangan itu sekali lagi menunjukkan kerentanan Ukraina terhadap serangan jarak jauh Rusia. Kyiv kepayahan mempertahankan langitnya dari serangan Moskwa. Meski ketangguhannya terus meningkat, perisai udara Ukraina masih terus kebobolan oleh rudal dan pesawat nirawak Rusia.
Kendati termasuk yang terus ditambah, artileri pertahanan udara bukan hal utama dalam persiapan serangan balik Ukraina. Sejak mengusir pasukan Rusia dari Kharkiv pada September 2022, Ukraina terus mempersiapkan serangan balik. Dalam periode itu, Kyiv terus meminta pasokan persenjataan dan amunisi dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan sekutunya. Kini, Ukraina menjadi satu-satunya negara yang benar-benar memakai persenjataan standar NATO sekaligus Uni Soviet-Rusia.
Reznikov bolak-balik menyebut, negaranya butuh lebih dari 300 tank yang dijanjikan AS-sekutunya kepada Ukraina. Kyiv juga meminta puluhan jet tempur dan helikopter serbu, ribuan meriam dan peluncur roket, ribuan panser dan kendaraan angkut lapis baja untuk serangan balik. Kebutuhan itu didasarkan fakta garis depan pertempuran membentang lebih dari 1.100 kilometer dari Kharkiv hingga Kherson.
Sebagian besar permintaan Kyiv tidak dikabulkan Washington dan sekutunya sampai saat ini. Karena itu, Panglima Angkatan Bersenjata Ukraina Jenderal Valerii Fedorovych Zaluzhnyii menghadapi situasi yang dulu dialami Jenderal Dwight Eisenhower di Perang Dunia II.
Baca juga: Tank-tank Utama yang Ditunggu Ukraina
Sebagai panglima sekutu, Eisenhower harus memutuskan di mana harus memulai serangan balik terhadap Jerman yang menguasai hampir seluruh Eropa Barat. Karena keterbatasan pasukan dan persenjataan, ia tidak mungkin menyerbu Jerman di seluruh palagan. Lewat Operation Overlord, sekutu melancarkan serangan di Normandia, Perancis. Serangan Normandia jadi titik balik perang di Eropa. Tidak sampai setahun kemudian, Jerman menyerah.
Kini, Zaluzhnyii harus mencari titik yang benar-benar bisa menjadi titik balik perang. Serangan balik pada April dan September 2022 jelas tidak menghasilkan momentum Normandia untuk Kyiv. Sementara untuk rencana serangan pada musim panas ini, sama sekali tidak diketahui hasilnya.
Meski demikian, Rusia-Ukraina sama-sama meyakini hasil akhir perang akan ditentukan di medan laga. Rusia menolak menarik pasukan di wilayah Ukraina yang didudukinya. Ukraina menolak memulai perundingan sebelum Rusia menarik pasukan. Karena itu, mereka menolak modifikasi solusi Korea yang ditawarkan Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto.
Tawaran Prabowo mirip solusi yang diterapkan di Semenanjung Korea, sejumlah negara Afrika, bekas Yugoslavia, hingga Timor Leste. Dulu di Timor Leste, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan pasukan penjaga perdamaian dan menggelar referendum.
Purnawirawan TNI AD yang menghabiskan puluhan tahun bertugas di Timor itu juga mengusulkan pembuatan zona penyangga selebar 30 kilometer di antara pasukan Rusia-Ukraina. Lebar zona itu kurang lebih setara dengan jangkauan roket Kyiv-Moskwa. Pembuatan zona itu untuk meredam potensi baku tembak terus berlanjut. Saat baku tembak bisa diredam, perundingan bisa dilanjutkan.
Namun, seperti pernah dikemukakan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Ukraina-Rusia belum siap berunding. Karena itu, saat ini hampir mustahil mengusulkan mereka duduk dan mencari solusi di meja perundingan. (AFP/REUTERS)