Selama 75 tahun, pasukan penjaga perdamaian PBB membantu negara-negara berkonflik memulihkan keamanan. Tak semua operasi berhasil. Yugoslavia dan Rwanda menjadi salah satu contoh kegagalan pasukan perdamaian PBB.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
AFP/MAHMOUD ZAYYAT
Pasukan penjaga perdamaian sementara dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dii Lebanon (UNIFIL) sedang berpatroli di Khiam, Lebanon, yang berbatasan dengan kota Metula, Israel, pada 21 Mei 2023.
NEW YORK, KAMIS - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dalam pesannya, Rabu (24/5/2023), menyebut pasukan penjaga perdamaian sebagai ”jantung yang berdetak dari komitmen PBB untuk dunia yang lebih damai”. PBB akan merayakan 75 tahun misi perdamaian dan memperingati Hari Internasional Penjaga Perdamaian PBB, Kamis (25/5) waktu setempat atau Jumat WIB.
Akan ada upacara untuk menghormati sekitar 4.200 petugas penjaga perdamaian yang meninggal sejak 1948. Misi ini dimulai ketika keputusan bersejarah dibuat oleh Dewan Keamanan PBB untuk mengirimkan militer ke Timur Tengah guna mengawasi pelaksanaan perjanjian gencatan senjata Israel-Arab.
Selama 75 tahun terakhir, PBB sudah mengirimkan sedikitnya 2 juta personel penjaga perdamaian untuk membantu negara-negara yang berkonflik. Liberia dan Kamboja menjadi contoh keberhasilan, sementara Yugoslavia dan Rwanda menjadi contoh kegagalan.
Tantangan yang dihadapi pasukan penjaga perdamaian PBB juga semakin berat karena situasi di lokasi penugasan semakin rawan kekerasan. Belum lagi mereka harus menghadapi berita dan informasi palsu di mana-mana. Tugas memulihkan pemerintahan yang stabil menjadi semakin susah karena dunia pun kian terbelah.
AP/JORGE SAENZ
Arsip - Tentara berbaris di Pusat Pelatihan Operasi Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (CECOPAZ) sebelum kedatangan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-Moon di Asuncion, Paraguay, pada 26 Februari 2015. Organisasi ini memperingati 75 tahun PBB dalam memelihara perdamaian dan memperingati Hari Internasional Pasukan Penjaga Perdamaian PBB pada Kamis (25/5/2023).
Operasi pasukan penjaga perdamaian PBB tumbuh cepat dengan 11.000 personel pada akhir Perang Dingin di awal 1990-an. Pada 2014, jumlah personel menjadi 130.000 orang dalam 16 operasi penjaga perdamaian.
Saat ini, terdapat 87.000 personel yang bertugas di 12 wilayah konflik di Afrika, Asia, Eropa, dan Timur Tengah. Kepala Penjaga Perdamaian PBB Jean-Pierre Lacroix mengatakan, pihaknya berhasil memulihkan stabilitas keamanan ke tingkatan yang wajar di Liberia, Sierra Leone, Pantai Gading, Mozambik, Angola, dan Kamboja.
Bahkan, di Lebanon selatan dan Siprus, pasukan penjaga perdamaian tidak hanya memantau situasi keamanan. Akan tetapi, mereka juga menjaga agar gencatan senjata tetap bertahan.
Tidak semua operasi berhasil. Penjaga perdamaian PBB gagal mencegah genosida di Rwanda pada 1994 yang menewaskan sedikitnya 800.000 warga etnis Tutsi dan Hutu. Misi perdamaian juga gagal mencegah dan menghentikan pembantaian terhadap sedikitnya 8.000 warga Muslim di Srebrenica selama perang di Bosnia pada 1995.
Reputasi PBB juga ternoda oleh berbagai tuduhan bahwa penjaga perdamaian yang bertugas melindungi warga sipil justru melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak. Salah satu contoh kasusnya di Republik Afrika Tengah dan Kongo. Kesalahan besar lainnya adalah epidemi kolera di Haiti yang dimulai pada 2010. Ini terjadi setelah pasukan penjaga perdamaian PBB memasukkan bakteri ke sungai terbesar di Haiti melalui limpasan limbah dari pangkalan mereka.
NHG
Pasukan penjaga perdamaian PBB dari China menyapu ranjau dalam latihan bersama pasukan penjaga perdamaian PBB "Shared Destiny" 2021 di Queshan, Provinsi Henan, China, Rabu (15/9/2021). China menjadi salah satu penyumbang pasukan penjaga perdamaian terbesar di antara negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB. AP PHOTO/NG HAN GUAN.
Meski banyak cacatnya, Direktur Kelompok Krisis Internasional untuk PBB Richard Gowan menilai pasukan penjaga perdamaian PBB tetap memiliki rekam jejak yang sangat baik. Sementara banyak orang fokus pada bencana Rwanda dan Srebrenica, PBB setidaknya sudah berhasil meredam krisis, melindungi warga sipil, dan membangun kembali negara-negara yang berantakan, mulai dari krisis Suez pada 1950-an sampai Liberia pada 2000-an.
Ke depan, Lacroix berpendapat, tantangan utama yang dihadapi pasukan penjaga perdamaian adalah komunitas internasional yang terpecah. Celakanya, Dewan Keamanan PBB yang menjadi pihak pemberi izin misi penjaga perdamaian justru juga terpecah. Perpecahan yang dimaksud merujuk pada pertarungan pengaruh antara sekutu pimpinan Amerika Serikat dan China-Rusia.
Kedua tantangan itu menyebabkan pasukan penjaga perdamaian lebih sulit mencapai tujuan akhir pemeliharaan perdamaian. Misi perdamaian juga akan lebih sulit untuk mendukung proses politik dan menarik diri ketika proses politik selesai.
”Kita tidak bisa melakukan itu karena proses perdamaian tidak berjalan. Pada akhirnya kita harus puas dengan melestarikan gencatan senjata saja, melindungi warga sipil, dan melakukan yang terbaik untuk mendukung upaya politik di mana pun dan semampu kita,” ujar Lacroix .
Ia juga menyebutkan tantangan lain yang dihadapi pasukan penjaga perdamaian, yakni lingkungan tempat mereka beroperasi. Situasinya lebih rawan kekerasan dan berbahaya. Serangannya juga lebih canggih. Berita palsu dan disinformasi juga menjadi ancaman besar bagi penduduk dan penjaga perdamaian.
ANTARA/AHMAD SUBAIDI
Seorang anggota Pasukan Garuda menggendong anaknya sebelum diberangkatkan di Bandara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Minggu (13/12). Ratusan anggota TNI tersebut akan diberangkatkan ke Libanon untuk misi pemeliharaan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Antara/Ahmad Subaidi 13-12-2015
Pemicu konflik lama dan baru juga memiliki pengaruh yang besar. Ini misalnya aktivitas kriminal transnasional, perdagangan manusia, narkoba, persenjataan, eksploitasi sumber daya alam secara ilegal, dan dampak perubahan iklim.
PBB dinilai perlu mengatasi semua tantangan dengan lebih baik. Lembaga multilateral itu perlu meningkatkan dampak pemeliharaan perdamaian serta menerapkan inisiatifnya pada kinerja, memerangi berita palsu, meningkatkan keselamatan dan keamanan, serta merekrut lebih banyak perempuan untuk menjadi penjaga perdamaian.
Gowan menilai PBB terjebak di beberapa negara, seperti Mali dan Kongo, yang tidak memiliki cukup pasukan penjaga perdamaian untuk menghentikan siklus kekerasan yang berulang. Akibat PBB tidak mampu, sejumlah pemerintahan di Afrika, termasuk Mali, memilih beralih ke pihak penyedia keamanan swasta, seperti Grup Wagner Rusia, untuk melawan kelompok pemberontak.
“Kita harus waspada pada penghentian operasi PBB secara langsung. Kita sudah belajar dari pengalaman pahit pada kasus seperti Afghanistan dimana pasukan Barat yang bersenjata lengkap tidak dapat memaksakan perdamaian. Rekam jejak PBB mungkin tidak sempurna, tetapi tidak ada yang jauh lebih baik dalam membangun stabilitas di negara-negara yang bergejolak selain pasukan perdamaian PBB,” ujarnya. (AP)