Mendorong Perbaikan Misi Perdamaian Dunia
Indonesia dapat menjadi contoh baik bagaimana negara berkembang mampu mendorong revitalisasi Misi Perdamaian PBB, tidak hanya melalui pengiriman pasukan semata, tetapi dengan strategi yang terarah.

Supriyanto
Salah satu bentuk nyata pelaksanaan amanat konsitusi dalam menciptakan ketertiban dunia dilakukan Indonesia melalui pengiriman pasukan ke Misi Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia memiliki capaian signifikan dalam misi perdamaian sebagai negara kontributor terbesar di Asia Tenggara dan ke delapan di dunia.
Hal tersebut dimampukan oleh kebijakan Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi melalui Peta Jalan Visi 4.000. Kebijakan ini menempatkan Indonesia ke dalam daftar 10 besar negara kontributor personel perdamaian sejak 2017 dengan menyumbang hampir 3.000 pasukan secara konsisten.
Namun dalam implementasinya, Misi Perdamaian PBB tidaklah sempurna. Misi Perdamaian PBB membutuhkan revitalisasi karena dianggap berjalan berkepanjangan, tidak efektif, tidak inklusif, memiliki dampak sampingan bagi wilayah tuan rumah, dan membutuhkan alokasi finansial yang tinggi tetapi tidak mencapai target perdamaian yang diharapkan karena belum mampu menghasilkan perdamaian yang berkelanjutan.
Baca juga: Indonesia untuk Perdamaian Dunia
Salah satu operasi dengan anggaran terbesar yang mencapai 1,1 miliar dollar AS (Rp 158 triliun) untuk periode 2021/2022 adalah Misi Stabilisasi di Republik Demokratik Kongo (MONUSCO). Misi ini dianggap tidak memiliki pencapaian signifikan setelah berjalan lebih dari dua dekade.
Misi Perdamaian PBB yang juga telah hadir lama adalah Pengawas Gencatan Senjata di Timur Tengah (UNTSO-sejak 1948), Misi Pengamatan Militer di perbatasan India dan Pakistan (UNMOGIP-sejak 1949), Penjaga Perdamaian di Siprus (UNFICYP-sejak 1964), Misi Interim di Lebanon (UNIFIL-sejak 1978), Misi Pengamatan Peleraian antara Israel dan Suriah (UNDOF-sejak 1974), dan Misi untuk Referendum di Sahara Barat (MINURSO-sejak 1991). Beberapa masalah yang menjadi tantangan misi-misi PBB tersebut adalah struktur birokrasi yang menghambat, tidak stabilnya pendanaan, kurangnya komunikasi strategis antara pemangku kepentingan, dan minimnya solusi politik. Kondisi ini menyebabkan perdamaian dan stabilitas berkelanjutan sulit terwujud.

Di hadapan ketidakberhasilan Misi Perdamaian PBB, dapatkah Indonesia bangga telah berkontribusi di dalamnya? Jawabnya ya, jika Indonesia sungguh-sungguh menjaga komitmennya untuk turut mewujudkan perdamaian dunia dengan mendorong perbaikan.
Pada awal 2018, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres merumuskan inisiatif Aksi untuk Pasukan Perdamaian (Action for Peacekeeping/A4P), dan Indonesia menjadi salah satu negara yang pertama mendukung. Komitmen Indonesia untuk merevitalisasi Misi Perdamaian ditunjukkan dengan perannya sebagai anggota tim inti yang mendorong bagaimana perbaikan dapat dilakukan di bidang pembangunan damai (peace building). Indonesia dapat berkontribusi secara signifikan di bidang ini karena reputasinya sebagai negara tetap stabil meski melalui proses Reformasi 1998, Deklarasi Malino atas konflik Poso 2001, dan Perjanjian Damai Aceh 2005.
Indonesia kembali menjadi salah satu negara pertama yang mendukung secara publik inisiatif A4P dan mendorong negara-negara lainnya untuk ikut terlibat.
Dengan mengikutsertakan masukan dari Indonesia, di akhir 2018 inisiatif A4P diluncurkan. Inisiatif ini memanggil seluruh negara anggota PBB untuk berkomitmen dalam mendorong misi yang terarah, aman, mampu memberi perlengkapan dan pelatihan yang cukup bagi personel yang ditugaskan, serta dapat memobilisasi solusi politik untuk mencapai perdamaian berkelanjutan. Indonesia kembali menjadi salah satu negara pertama yang mendukung secara publik inisiatif A4P dan mendorong negara-negara lainnya untuk ikut terlibat.
Modalitas tinggi
Secara strategis, Indonesia memiliki modalitas yang tinggi dalam memobilisasi dukungan dari negara-negara lain. Indonesia adalah penggerak organisasi negara-negara Asia Tenggara ASEAN, pelopor Gerakan Non-Blok, dan penggerak aktif koalisi negara berkembang di PBB G-77. Melihat Indonesia memberikan komitmennya, banyak negara lain akhirnya turut serta sehingga inisiatif A4P mendapat dukungan 154 dari 194 (80 persen) negara anggota PBB.
Baru-baru ini PBB melalukan evaluasi sejauh mana komitmen A4P dijalankan. Pelaporan menunjukkan bahwa Indonesia telah mendorong perbaikan di seluruh area prioritas yang diminta, yakni (1) mendorong adanya solusi politik untuk menyelesaikan konflik di mana Misi Perdamaian ditugaskan, (2) hadirnya lebih banyak perempuan di bidang keamanan dan perdamaian sehingga menjadi lebih inklusif, (3) pasukan perdamaian mampu memberi perlindungan yang lebih baik, (4) keamanan personel meningkat sehingga mereka tidak lagi menjadi korban, (5) adanya dukungan kinerja dan akuntabilitas efektif dari seluruh komponen misi, (6) menguatkan dampak misi bagi perdamaian yang berkelanjutan, (7) peningkatan kolaborasi dan perencanaan, dan (8) menguatkan laku baik operasi dan personil Misi Damai.
Baca juga: Merajut Perdamaian dan Keamanan Dunia
Melangkah ke depan, alangkah baiknya jika Indonesia dapat mempertahankan capaian ini. Namun jika diperlukan penajaman, Indonesia dapat memfokuskan sumber daya dan strategi ke tiga hal yang menjadi kekuatannya.
Pertama, Indonesia dapat mendorong solusi politik melalui kerja sama triangular, di mana negara-negara donor dan organisasi multilateral memfasilitasi inisiatif negara berkembang melalui penyediaan pendanaan, pelatihan, manajemen dan teknologi serta bentuk dukungan lainnya. Hal ini pernah dilakukan Indonesia, Australia, dan Etiopia saat memberikan pelatihan bagi misi engineering. Indonesia juga dapat mendorong kawasan ASEAN untuk berkontribusi dalam misi PBB secara bersama-sama.

Anggota kontingen TNI yang tergabung dalam Satgas Kizi TNI Konga XXXII-A Minustah (Mission des Nations Unies pour la Stabilisation en Haiti) bersorak saat upacara pemberangkatan kontingen tersebut ke Haiti di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (3/10/2011).
Kedua, meningkatkan kinerja dengan berperan sebagai kontingen panutan. Selama 65 tahun terlibat dalam Misi PBB, personel Indonesia tidak pernah sekalipun melakukan pelanggaran. Kontingen Indonesia dikenal aktif melakukan patroli dan hadir dengan berbagai inisiatif.
Pusat Misi Pasukan Perdamaian di Sentul, misalnya, telah membuat kurikulum pelatihan komprehensif yang melibatkan ahli, tidak hanya militer, tetapi juga dari media, masyarakat sipil, mediator dan badan-badan PBB. Selain itu, Indonesia juga meluncurkan tim pelatihan gesit yang dapat berpindah tempat (mobile training team), serta menambahkan komponen kemampuan digital dalam materi pelatihan.
Ketiga, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah contoh baik bagi integrasi Islam dan demokrasi yang mampu mendorong aktifnya perempuan di ruang publik. Dibandingkan dengan negara-negara mayoritas Muslim lainnya, perempuan Indonesia telah mampu memimpin, serta bekerja di bidang pertahanan dan keamanan.
Baca juga: Diplomasi RI dan Peran Perempuan dalam Misi Perdamaian
Dengan meningkatkan kontribusi perempuan sebagai agen perdamaian, baik sebagai personil misi, pengamat militer, maupun mediator, Indonesia dapat mendorong negara lain untuk melakukan hal yang sama. Untuk melakukan hal ini, Indonesia perlu melakukan tiga upaya, yakni menghilangkan hambatan struktural, mendorong peningkatan kapasitas, dan membentuk jaringan yang mendukung perempuan yang ingin masuk atau sudah berpartisipasi di bidang perdamaian.
Besar harapan bahwa Indonesia dapat menjadi contoh baik bagaimana negara berkembang mampu mendorong revitalisasi Misi Perdamaian PBB, tidak hanya melalui pengiriman pasukan semata. Dengan strategi yang terarah dan dukungan kerja sama global, kontribusi Indonesia dapat berdampak besar terhadap pencapaian perdamaian dunia.
Fitriani, Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Indonesia; Dosen di Departemen Hubungan Internasional UI; Pengkaji Utama Implementasi Nasional Aksi untuk Pasukan Perdamaian (A4P)