Diplomasi RI dan Peran Perempuan dalam Misi Perdamaian
Satu torehan baru diplomasi Indonesia telah dilakukan. Resolusi 2538 (2020) akan memberikan penyangga tambahan bagi terciptanya perdamaian dunia.
Diplomasi Indonesia mencetak catatan penting di 28 Agustus 2020. Untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, draf resolusi Indonesia mengenai peran perempuan dalam misi perdamaian PBB berhasil didukung dan bahkan di-co-sponsor-i semua anggota DK PBB dan 82 negara di luar DK PBB. DK PBB telah mengadopsi Resolusi 2538 (2020) mengenai Perempuan dalam Misi Perdamaian PBB.
Peristiwa ini perlu dimaknai secara khusus karena beberapa hal. Pertama, Indonesia berhasil menyatukan seluruh anggota DK PBB untuk mendukung sebuah draf resolusi. Resolusi ini pun disebut presidential text karena di-co-sponsor-i oleh seluruh anggota DK PBB. Mempersatukan posisi 15 anggota DK PBB bukanlah hal mudah, terutama di masa pandemi ini.
DK PBB telah mengadopsi Resolusi 2538 (2020) mengenai Perempuan dalam Misi Perdamaian PBB.
Kita melihat pembelahan posisi anggota DK PBB terjadi di hampir semua isu. Sebagai contoh, untuk sebuah resolusi penting terkait Covid-19, yang mulai dibahas 30 Maret 2020, baru dapat diadopsi 1 Juli 2020 sebagai Resolusi 2532. Ini berarti perlu lebih dari tiga bulan bagi DK PBB untuk mengadopsi sebuah resolusi terkait Covid-19.
Resolusi 2532 ini merupakan tindak lanjut dari seruan Sekretaris PBB 23 Maret 2020 mengenai pentingnya gencatan senjata selama masa pandemi.
Baca juga : DK PBB Adopsi Resolusi Usulan Indonesia tentang Perempuan Penjaga Perdamaian
Diadopsinya Resolusi 2538 (2020) semakin menebalkan peran Indonesia sebagai jembatan (bridge builder) dan pendorong konsensus (consensus maker) di tengah semakin meruncingnya rivalitas di antara kekuatan-kekuatan besar.
Kedua, Indonesia berhasil mengingatkan mengenai pentingnya menjaga perdamaian di tengah semua energi dan perhatian tertuju pada upaya untuk mengatasi pandemi dan dampak sosial ekonominya. Perdamaian tak datang dengan sendirinya. Perdamaian harus diupayakan dan dipelihara.
Pandemi Covid-19 dirasakan berat oleh semua negara dan dirasakan sangat berat oleh negara-negara yang dilanda konflik. Pandemi ini dikhawatirkan dapat membawa negara-negara yang baru beranjak dari situasi konflik, terseret kembali ke jurang krisis dan negara yang masih dalam situasi konflik akan lebih terpuruk lagi.
Jika hal ini terjadi, dapat merusak hasil upaya pemeliharaan perdamaian yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun. Kita tak ingin kerja keras untuk membangun dan memelihara perdamaian, harus mengalami kemunduran karena pandemi ini.
Baca juga : Indonesia Tingkatkan Peran Perempuan dalam Misi Perdamaian
Dalam kaitan ini pulalah, pada 12 Agustus 2020, sebagai Presiden DK PBB, Indonesia telah memimpin debat terbuka yang membahas mengenai ”Pandemi dan Tantangan terhadap Upaya Bina Damai”. Dalam pertemuan itu, Indonesia antara lain menyampaikan bahwa upaya mempertahankan perdamaian harus menjadi bagian dari respons komprehensif dalam penanganan pandemi.
Menjadi sangat penting artinya bagi kita semua untuk mendukung negara-negara dalam situasi konflik, untuk mengambil pendekatan holistik dan inklusif, dalam menangani keterkaitan antara krisis kesehatan dan dampak sosial ekonominya, dengan perdamaian dan keamanan.
Perhatian juga harus diberikan agar negara-negara konflik dapat memperoleh akses yang sama terhadap kebutuhan alat kesehatan dan treatment Covid-19. Kompetisi dalam memperoleh vaksin (pada saat sudah ada) akan lebih memperburuk situasi mereka.
Kompetisi dalam memperoleh vaksin (pada saat sudah ada) akan lebih memperburuk situasi mereka.
Isu perempuan
Ketiga, Indonesia berhasil mendapatkan dukungan internasional terhadap isu perempuan, perdamaian dan keamanan (women, peace, and security), khususnya pemberdayaan perempuan dalam misi perdamaian PBB. Isu pemberdayaan perempuan merupakan salah satu isu penting yang selalu diusung politik luar negeri Indonesia.
Indonesia telah menginisiasi upaya pembentukan wadah (pool) bagi para mediator perempuan di Asia Tenggara. Indonesia meyakini, jika perempuan diberi kesempatan untuk terlibat dalam proses/negosiasi perdamaian, hasilnya akan lebih berkelanjutan.
Dengan partisipasi perempuan, potensi sebuah perjanjian damai berlangsung 15 tahun dapat meningkat 35 persen. Banyak perjanjian damai yang hanya bertahan dalam jangka pendek dan para pihak kemudian terlibat konflik kembali.
Baca juga : Indonesia Angkat Isu Pemberdayaan Perempuan dalam Sidang HAM PBB
Sayangnya, peran perempuan dalam perundingan perdamaian masih sangat minim. Sebuah data UN Women menyatakan, antara 1992-2018 perempuan hanya memiliki peran 13 persen sebagai negosiator, 3 persen sebagai mediator, dan 4 persen dari penandatangan perdamaian. Kesenjangan inilah yang berusaha ditutup oleh Indonesia dengan menginisiasi pembentukan Jejaring Perempuan Mediator dan Negosiator Asia Tenggara (Southeast Asian Network of Women Peace Negotiators and Mediators).
Indonesia juga telah membentuk Indonesia-Afghanistan Women Network pada 1 Februari 2020 dan mengisinya dengan berbagai macam kegiatan dengan satu tujuan, yaitu agar perempuan dapat memainkan peran penting bagi masa depan Afghanistan. Afghanistan berada pada titik sangat menentukan. Sebentar lagi negosiasi antara bangsa Afghanistan (Intra-Afghan Negotiation) diharapkan segera berlangsung.
Indonesia tak ingin melihat peran perempuan Afghanistan mengalami kemunduran dalam masa depan Afghanistan.
Sayangnya peran perempuan dalam perundingan perdamaian masih sangat minim.
Indonesia juga memberikan pelatihan khusus bagi para pengungsi perempuan Palestina mengenai pemberdayaan ekonomi, dengan tujuan agar kehidupan ekonomi kaum pengungsi menjadi lebih baik.
Isu Palestina selalu berada di jantung politik luar negeri Indonesia. Selain dukungan politik, Indonesia juga terus memberikan dukungan lain, termasuk dalam pemberdayaan perempuannya. Dalam percakapan per telepon antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Abbas pada 28 Juli 2020, Indonesia menekankan kembali komitmen bantuannya, baik untuk otoritas Palestina maupun untuk pengungsi melalui UNRWA (UN Relief and Works Agency for Palestine Refugees) maupun Palang Merah Internasional.
Keberpihakan Indonesia mengenai pentingnya meningkatkan kapasitas para penjaga perdamaian perempuan dalam misi PBB juga bukan hal baru. Pada saat Indonesia memegang presidensi DK PBB Mei 2019, isu ini sudah mulai diangkat Indonesia. Dalam pertemuan DK PBB 7 Mei 2020, Indonesia antara lain menyampaikan pentingnya menciptakan kondisi kondusif bagi personel perempuan dalam misi PBB.
Indonesia dicatat dunia sebagai salah satu kontributor terbesar pasukan perdamaian PBB. Saat ini, terdapat 2.840 personel pasukan Indonesia, 158 orang di antaranya perempuan, ditugaskan di delapan misi PBB: UNIFIL (Lebanon), MONUSCO (Republik Demokratik Kongo), MINUSCA (Republik Afrika Tengah), UNMISS (Sudan Selatan), UNAMID (Darfur), MINUSMA (Mali), MINURSO (Sahara Barat), dan UNISFA (Abyei).
Secara keseluruhan, jumlah personel misi perdamaian PBB 82.245 orang, 5.327 di antaranya adalah personel perempuan atau 6,4 perempuan.
Dari kunjungan saya di beberapa misi perdamaian di mana personel Indonesia bertugas, saya melihat sendiri adanya kebutuhan lapangan akan penjaga perdamaian perempuan. Para perempuan penjaga perdamaian telah bekerja dengan sangat baik dan mereka termasuk yang lebih mudah diterima oleh masyarakat untuk mengobati luka psikologis akibat konflik.
Perempuan adalah bagian dari solusi dunia. Investing in women is investing in peace.
Oleh karena itu, penting adanya sebuah keberpihakan untuk meningkatkan jumlah penjaga perdamaian perempuan PBB. Untuk inilah, Resolusi 2538 (2020 sangat penting artinya karena, antara lain, mengatur pentingnya penguatan jumlah personel perempuan dalam misi perdamaian PBB, kerja sama pelatihan dan pengembangan kapasitas, pembentukan jejaring dan database personel perempuan, peningkatan keselamatan dan keamanan, penyediaan sarana dan lingkungan kerja yang aman bagi perempuan serta kerja sama PBB dengan organisasi kawasan.
Satu torehan baru diplomasi Indonesia telah dilakukan. Resolusi 2538 (2020) akan memberikan penyangga tambahan bagi terciptanya perdamaian dunia. Dan perempuan adalah bagian penting dan tidak terpisahkan dari upaya tersebut. Perempuan adalah bagian dari solusi dunia. Investing in women is investing in peace.
Retno LP Marsudi, Menteri Luar Negeri RI