Polandia Ingin Perkecil Defisit Neraca Perdagangan
Polandia memiliki sejarah sebagai negara miskin yang berhasil bangkit membangun perekonomiannya. Mereka siap berbagi pengalaman dan membuka pasar teknologi hijau dengan Indonesia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Wakil Menteri Luar Negeri Polandia Wojciech Gerlew ketika ditemui di Kedutaan Besar Polandia di Jakarta, Selasa (23/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Polandia merupakan negara anggota Uni Eropa yang memiliki pengalaman perkembangan ekonomi serupa dengan Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia-Polandia relatif tinggi, tetapi besar di defisit Polandia. Oleh sebab itu, Warsawa menawarkan kerja sama ekonomi yang lebih berbobot dan berlandaskan teknologi demi mengurangi kesenjangan ekspor tersebut.
Demikian dikemukakan oleh Wakil Menteri Luar Negeri Polandia Wojciech Gerwel ketika ditemui di Kedutaan Besar Polandia di Jakarta, Selasa (23/5/2023). Selama dua hari terakhir, Gerwel berkunjung ke berbagai tempat, antara lain Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, Sekretariat Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), dan DPR RI. Misi kunjungannya ialah memperkuat kerja sama ekonomi Indonesia dan ASEAN dengan Polandia.
Polandia merdeka kembali setelah melepaskan diri dari Uni Soviet pada 1989. ”Sebagai bekas negara komunis, kami miskin, kotor, dan penuh pencemaran. Akan tetapi, kami berhasil membangun perekonomian, bahkan Polandia memiliki pertumbuhan ekonomi paling pesat di Eropa,” kata Gerwel.
Dari pengalaman tersebut, lanjut Gerwel, Polandia mengerti situasi perkembangan ekonomi di Indonesia. Polandia memiliki banyak cerita mengenai kesuksesan ataupun kesalahan dalam pembangunan dan mereka siap berbagi dengan Indonesia.
Salah satu yang disinggung oleh Gerwel ialah mengenai kerja sama di pengembangan ekonomi hijau dan biru. Polandia secara tradisional bergantung pada batubara sebagai sumber energi. Perang Rusia-Ukraina sejak Februari 2022 menghambat proses peralihan ke energi terbarukan.
”Kami memahami susahnya lepas dari batubara, tetapi kami terus berupaya menurunkannya dengan menambah semakin banyak energi terbarukan, seperti tenaga angin dan matahari. Kami juga mengembangkan listrik tenaga nuklir,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pemerintah tengah menggodok insentif yang memungkinkan warga memasang panel surya di kediaman masing-masing sehingga listrik rumah tangga juga bersumber dari energi terbarukan. Ini salah satu ekspor yang ditawarkan Polandia kepada Indonesia.
Kami ingin mengurangi defisit ini dengan menawarkan ekspor teknologi hijau, produk olahan hasil pertanian, dan teknologi informasi kepada Indonesia.
Salah satu perusahaan Polandia, Rafako, bekerja sama untuk meremajakan pembangkit listrik tenaga uap di Indonesia. Ini adalah sistem yang diterapkan di Polandia. Sembari membangun lebih banyak pembangkit listrik yang ramah lingkungan, PLTU yang menggunakan batubara terus diremajakan dan diturunkan kuota produksinya.
Neraca perdagangan Indonesia-Polandia pada 2022 sebesar 2 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Jumlah itu naik dua kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 2019. Akan tetapi, ada defisit bagi Polandia sebesar 1,8 miliar dollar AS. ”Kami ingin mengurangi defisit ini dengan menawarkan ekspor teknologi hijau, produk olahan hasil pertanian, dan teknologi informasi kepada Indonesia,” tutur Gerwel.
Dari sektor energi terbarukan, Polandia menawarkan program GreenEvo, yaitu komunitas berbagai perusahaan yang difasilitasi negara untuk berinvestasi di sektor energi ataupun industri ramah lingkungan. Menurut dia, pendekatan yang ditawarkan Polandia lebih memahami persoalan nyata negara berkembang karena Polandia mengalaminya sendiri tiga dekade lalu. ”Kami menjaga agar perkembangan ekonomi Polandia tidak murni berdasar industrialisasi. Harus ada keragaman di sektor layanan, teknologi, dan lain-lain,” ujar Gerwel.
Pembangkit listrik tenaga lignit (batubara coklat) di Belchatow, Polandia, pada 28 November 2018. Polandia secara bertahap mengurangi energi dari batubara dan memperbanyak sumber-sumber energi terbarukan.
Dari sektor industri pun dilakukan transisi, yaitu dengan meremajakan pabrik-pabrik peninggalan Uni Soviet agar pengolahan limbah, sumber energi, dan pola produksinya ramah lingkungan. Ini lebih masuk akal bagi negara-negara berkembang.
Teknologi ini turut diterapkan di dalam pembangunan kota-kota cerdas. Gerwel mengatakan, sektor ini menarik minat Polandia dalam konteks berinvestasi di Ibu Kota Nusantara. Demikian pula di dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik. ”Kami memiliki teknologi baterai dan fitur canggih yang turut dipakai di mobil-mobil buatan Korea Selatan,” ujarnya.
Mengenai aturan terbaru Uni Eropa yang menolak mengimpor produk hasil hutan Indonesia jika tidak ada sertifikat lestari, Gerwel mengatakan hal itu bukan untuk menyulitkan Indonesia atau komoditas tertentu. Ini adalah bagian untuk memastikan seluruh rantai produksi global beralih ke sistem yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Ucapannya senada dengan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket ketika diwawancarai awal Mei lalu. ”Standar Uni Eropa memang tinggi sekali. Namun, jika Indonesia bisa memenuhinya, Indonesia bisa menembus pasar global mana pun. Ini pengaruhnya akan positif kepada industri di Indonesia itu sendiri karena sistemnya menjadi berkelanjutan,” ujarnya.