Pastikan Aturan Bebas Deforestasi Uni Eropa Tidak Mengucilkan Petani Kecil
Aturan tentang produk bebas deforestasi dan degradasi hutan dari Uni Eropa akan mulai berlaku untuk Indonesia pada Mei 2023. Aturan ini perlu dipastikan agar tidak mengucilkan petani kecil dan masyarakat lokal.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pekerja memanen kelapa sawit di areal perkebunan PT Sawit Sumbermas Saran Tbk di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Kamis (29/4/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Aturan tentang produk bebas deforestasi dan degradasi hutan dari Uni Eropa akan mulai berlaku untuk Indonesia pada Mei ini. Pemerintah perlu pro-aktif untuk menjalin komunikasi dengan UE agar implementasi aturan ini tidak mengucilkan petani kecil dan tidak menghambat program penurunan emisi dalam negeri.
Undang-Undang Produk Bebas Deforestasidan Degradasi Hutan (EUDDR) yang disahkan UE pada awal Desember 2022 secara tentatif akan mulai berlaku untuk Indonesia sejak Mei-Juni 2023.Aturan ini mewajibkan berbagai produk maupun komoditasyang masuk ke wilayah UE tidak berasal dari kegiatan deforestasi dan degradasi lahan.
Regulasi ini juga akan berdampak bagi Indonesia sebagai salah satu negara eksportir terbesar ke UE. Tercatat UE paling banyak mengimpor komoditas dari Indonesia, yaitu minyak kelapa sawit (83,3 persen), kayu (8,4 persen), karet (6,5 persen), kopi (1,3 persen), kakao (0,5 persen), serta kedelai dan daging sapi kurang dari 0,1 persen.
Integrasi kebijakan pengelolaan produk yang berkelanjutan di tingkat nasional dan internasional masih sulit terkait aspek prioritas.
Menanggapi implementasi EUDDR, Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo menyampaikan, aturan ini menjadi komitmen UE untuk mengurangi deforestasi dari produk yang mereka konsumsi. Namun, aturan ini tetap dapat menimbulkan permasalahan khususnya untuk petani kecil, komunitas lokal, hingga masyarakat adat.
”Kelompok ini seharusnya dipastikan tidak dieksklusi dalam kerangka kebijakan EUDDR. Kemungkinan besar akan ada beberapa kelompok yang dieksklusi bila implementasi EUDDR hanya memandang kepentingan Uni Eropa,” ujarnya ketika dihubungi, Senin (1/5/2023).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pekerja memindahkan sawit kiriman petani ke atas truk untuk dikirim ke pabrik di Desa Bukit Raya, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (27/7/2022).
Menurut Surambo, masyarakat lokal dan petani sawit skala kecil selama ini kurang mendapat pengakuan dan kerap tidak diakui hak-haknya. Sebaliknya, pemerintah lebih sering memfasilitasi perkebunan sawit skala besar meskipun sudah ada kebijakan moratorium.
Beberapa waktu terakhir, sejumlah organisasi non-pemerintah (NGO) di Indonesia menanggapi dengan kritis penerbitan aturan EUDDR ini. Tanggapan kritis tersebut telah dituangkan dalam dokumen terkait dengan Respon CSOs Indonesia terhadap Kesepakatan Final Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa yang ditandatangani 44 NGO.
Beberapa hal yang disoroti yakni tentanglemahnya definisi deforestasi dan degradasi hutan di dalam EUDR, persoalan batas waktu regulasi (cut-off date), dan absennya rujukan mengenai hak asasi manusia menurut standar internasional. Terdapat pula catatan mengenai ketidakjelasan mengenai mekanisme kerja sama dan insentif bagi petani kecil swadaya, masyarakat adat, dan komunitas lokal yang akan terdampak.
Selain itu, aturan ini seharusnya juga tidak menjadi kebijakan unilateral yang abai terhadap konsekuensinya terhadap para pemangku kepentingan di negara-negara produsen. Di sisi lain, tujuan UE untuk membersihkan rantai pasok konsumsinya seharusnya juga mendorong penguatan tata kelola produk kehutanan di negara produsen seperti Indonesia.
”Jika Uni Eropa benar-benar ingin membuat suatu komoditas yang bebas deforestasi tanpa meninggalkan kelompok rentan, petani swadaya juga perlu mendapat peningkatan kapasitas. Jangan sampai dengan aturan ini, Uni Eropa hanya fokus membersihkan rantai pasok komoditasnya saja,” ujar Surambo.
TANGKAPAN LAYAR/TRI AGUNG KRISTANTO
Prinsip usaha minyak sawit yang berkelanjutan.
Ketua Bidang Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Bandung Sahari mengatakan, Indonesia telah melakukan banyak evolusi terkait kebijakan yang mengedepankan aspek keberlanjutan sejak 2011. Bahkan, sejumlah perusahaan sawit di Indonesia juga telah membangun mekanisme ketelusuran secara mandiri.
Terkait dengan implementasi EUDDR, Bandung melihat bahwa aturan ini perlu mempertegas kembali mekanisme dan syarat dari produk bebas deforestasi yang dicanangkan tersebut. Di sisi lain, aturan ini juga harus memberikan dampak bagi semua pihak, termasuk petani kecil.
”Aturan baru ini perlu memahami kompleksitas di lapangan bahwa Indonesia bukan Eropa. Kemudian pastikan juga masalah terkait legalitas deforestasi dan kegiatan yang dilakukan perusahaan,” katanya dalam dialog kebijakan EUDDR di Jakarta pertengahan April lalu.
Menjalin komunikasi
Guna memastikan kebijakan ini tidak berdampak buruk terhadap masyarakat lokal, Surambo pun mendorong agar pemerintah Indonesia dan pihak UE dapat menjalin komunikasi dan kerja sama. Komunikasi dan kerja sama yang terjalin diyakini dapat semakin memperkuat upaya setiap negara dalam membangun produk dan komoditas yang berkelanjutan sekaligus mempercepat target penurunan emisi.
”Penurunan emisi adalah target dan kepentingan global dengan tugas serta tanggung jawab masing-masing. Jadi, faktor dialog yang konstruktif penting ditekankan agar kebijakan yang diambil tidak hanya mengikuti kemauan satu pihak,” ujarnya.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Kondisi Taman Nasional Tesso Nilo sekarang ini sudah semakin kritis. Diperkirakan 60.000 hektar kawasan hutan konservasi gajah sumatera itu kini telah dirusak untuk dijadikan kebun kelapa sawit.
Deputi II Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan mengatakan, pemerintah menempatkan proses perbaikan tata kelola sawit di Indonesia pada level kepresidenan yang diwujudkan melalui penerbitan keputusan dan instruksi presiden. Kebijakan tersebut kemudian diturunkan pada level peraturan menteri.
Meski demikian, Abetnego juga tidak menampik bahwa integrasi kebijakan pengelolaan produk yang berkelanjutan di tingkat nasional dan internasional masih sulit terkait aspek prioritas. Sebab, setiap negara memiliki prioritas dan sumber daya yang berbeda-beda.
”Kami yakin kita saling memiliki ketergantungan. Oleh sebab itu, dialog menjadi sangat penting untuk melihat bersama situasi dan prioritas yang ditangani di setiap negara,” ujarnya yang juga hadir dalam dialog kebijakan EUDDR.