Di Forum Pemimpin G7, Jokowi Minta Monopoli dan Diskriminasi Dihentikan
Presiden Joko Widodo menyerukan penghentian model ”era kolonialisme” dalam hubungan perdagangan antara negara-negara maju dan berkembang. Indonesia menuntut ”kolaborasi global yang setara dan inklusif”.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
AP/SUSAN WALSH
Presiden Joko Widodo, disaksikan Presiden AS Joe Biden, berbicara pada ajang pertemuan infrastruktur dan investasi global dalam rangkaian KTT G7 di Hiroshima, Jepang, Sabtu (20/5/2023).
HIROSHIMA, MINGGU—Indonesia menekankan desakan pada forum pemimpin negara-negara industri maju atau G7 untuk menghentikan kebijakan monopoli dan diskriminasi terhadap komoditas negara-negara berkembang, termasuk yang mengatasnamakan lingkungan. Sembari menyitir keharusan diakhirinya model ”era kolonialisme”, Indonesia menuntut ”kolaborasi global yang setara dan inklusif” dan menolak sistem global yang hanya memungkinkan negara berkembang mengekspor bahan-bahan mentah.
Penegasan itu disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi G7 di Hiroshima, Jepang. ”Masalah kesetaraan ini menjadi penekanan Bapak Presiden,” kata Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi dari Hiroshima, Minggu (21/5/2023).
”Setiap negara memiliki hak pembangunan dan hak untuk mengolah sumber daya alam untuk menghasilkan nilai tambah juga harus dihormati,” tegas Presiden, seperti disampaikan Retno. ”Sudah bukan zamannya lagi negara berkembang hanya menjadi pengekspor bahan mentah seperti di era kolonialisme.”
Indonesia meminta, hak negara berkembang untuk meningkatkan nilai tambah pada sumber daya alamnya dihormati. Hak membangun, meningkatkan kesejahteraan, dan menaikkan nilai tambah sumber daya alam penting bagi negara-negara berkembang dan miskin.
Semua hak itu bermuara pada upaya menyejahterakan penduduk di negara berkembang dan miskin. Kesejahteraan penduduk di negara-negara itu penting jika mereka diharapkan berkontribusi pada kedamaian dan kestabilan kawasan dan global.
Pernyataan Presiden tersebut, menurut Retno, disampaikan secara ”langsung dan terang-terangan” pada sesi keenam KTT G7 Outreach. Forum ini, selain diikuti para pemimpin negara-negara anggota G7—Inggris, Perancis, Italia, Jerman, Amerika Serikat, Kanada, dan Jepang—ditambah Uni Eropa, juga dihadiri para pemimpin dari negara-negara berkembang yang kerap disebut ”Dunia Selatan (Global South)”, seperti Australia, Brasil, Indonesia, dan India, serta negara-negara lain yang lebih kecil, seperti Komoro dan Kepulauan Cook.
Pesan Presiden yang menggugat isu monopoli dan diskriminasi dalam hubungan antara negara maju dan berkembang itu disampaikan beberapa hari selepas Uni Eropa resmi memberlakukan Undang-Undang anti-penggundulan hutan (EU Deforestation Regulation/EUDR). UU itu secara spesifik menyasar sejumlah komoditas ekspor andalan Indonesia ke pasar UE. Aneka komoditas itu dilarang masuk UE jika gagal dibuktikan tidak diproduksi di kawasan hasil penggundulan hutan.
Selain EUDR, Senat Negara Bagian New York, Amerika Serikat, juga mengesahkan aturan sejenis. Brussels beralasan, EUDR untuk melindungi lingkungan. Dalam sesi ketujuh KTT G7 Outreach, Presiden menegaskan ”tidak boleh ada kebijakan diskriminatif yang mengatasnamakan lingkungan”.
Tolak utang
Dalam rangkaian KTT itu, Presiden juga menolak jika pembiayaan upaya transisi energi di negara berkembang dan miskin diberikan negara maju dalam bentuk utang. ”Pendanaan iklim harus konstruktif,” kata Retno.
Presiden juga menyinggung soal transisi energi bersih untuk mitigasi perubahan iklim. Indonesia telah menunjukkan komitmen nyata pada upaya mitigasi perubahan iklim. Indonesia, ujarar Presiden, antara lain merehabilitasi dan mereboisasi 3,6 juta hektar hutan bakau dan lahan kritis. Kebakaran hutan ditekan hingga 88 persen.
Dari segi industri, kata Presiden seperti yang disampaikan Retno, Indonesia mendorong pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik dan membuat total 30.000 hektar kawasan industri berorientasi energi bersih dan berkelanjutan.
MINISTRY OF FOREIGN AFFAIRS OF JAPAN
Presiden Joko Widodo dan Presiden Perancis Emmanuel Macron dalam rangkaian KTT G7 di Hiroshima, Jepang, Sabtu (20/5/2023). Dalam rangkaian pertemuan itu, Indonesia menekankan pentingnya perlakuan setara dan menolak diskriminasi.
Di sisi lain, Indonesia dan banyak negara berkembang meragukan komitmen negara maju. Janji menyediakan 100 miliar dollar AS per tahun untuk membantu upaya mitigasi perubahan iklim dan transisi ke energi bersih tidak kunjung dipenuhi negara-negara maju.
Indonesia juga menolak pendekatan mengalihkan tanggung jawab. Indonesia mengusulkan pendekatan berbagi beban. ”Semua negara harus berkontribusi sesuai kapasitasnya,” ujar Retno.
Negara berkembang dan miskin memandang, konsep mitigasi perubahan iklim saat ini memakai paradigma pengalihan tanggung jawab. Sebab, negara berkembang dan miskin diminta bersama-sama negara maju untuk menanggung beban dalam upaya memitigasi perubahan iklim. Padahal, perubahan iklim dipacu oleh pembangunan di sejumlah negara maju selama beberapa abad sebelumnya. Pembangunan yang melepaskan karbon dalam jumlah besar dan memicu perubahan iklim menjadikan negara maju dalam kondisi sejahtera seperti sekarang.
Setelah mereka sejahtera, negara maju menuntut negara berkembang meredam pelepasan karbon. Negara berkembang diminta menggunakan teknologi penghasil energi bersih yang mahal demi mengurangi emisi karbon. Tuntutan ini dipandang oleh ratusan negara berkembang sebagai upaya menghambat pembangunan.
Karena itu, negara berkembang meminta kebijakan afirmasi. Mereka setuju menggunakan teknologi energi bersih jika negara maju mau membiayai transisinya.
Tanggapan G7
Dalam komunike pemimpin G7, sebagian kegelisahan Indonesia dan negara berkembang tidak ditanggapi. Dalam komunike itu disinggung soal bahan tambang penting untuk proses transisi energi. Tanpa menyebut negara tertentu, G7 menuding ada upaya monopoli pasokan bahan tambang itu ke pasar global. Anggota G7 dinyatakan akan membangun rantai pasok bahan tambang penting yang lebih inklusif.
Berbagai kajian menunjukkan, Indonesia memiliki cadangan sebagai bahan tambang itu. Selain nikel untuk baterai, Indonesia punya timah dan tembaga yang penting dalam industri elektronika. Indonesia juga punya potensi cadangan logam tanah jarang (rare earth mineral).
MINISTRY OF FOREIGN AFFAIRS OF JAPAN
Presiden Joko Widodo menghadiri rangkaian KTT G7 di Hiroshima, Jepang, Sabtu (20/5/2023).
G7 juga secara mencolok lebih fokus pada Afrika dibandingkan kawasan lain tempat negara berkembang dan miskin berada. Dalam komunike G7, Afrika—benua tempat pengaruh China berkembang luas dan cepat-—disebut 21 kali. Sementara Asia dan Amerika Latin hanya disebut total tiga kali.
Perhatian pada Afrika antara lain diberikan lewat isu utang. G7 menyebut, utang membuat banyak negara berpendapatan menengah dan rendah kesulitan memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Tumpukan utang juga membuat banyak negara berkembang dan miskin kesulitan melakukan transisi energi. APBN mereka tersedot untuk membayar utang, bukan membiayai pembangunan berkelanjutan.
Mengacu pada data Bank Dunia, sebesar 46 persen utang 91 negara miskin dan sangat miskin diberikan lembaga swasta Amerika Utara dan Eropa Barat. Sementara 30 persen lagi diberikan oleh lembaga pembiayaan multilateral. Adapun 12 persen diberikan pemerintah serta swasta China dan 12 persen oleh pemerintah sejumlah negara lain.
Bank Dunia mencatat, total utang luar negeri negara berpendapatan rendah dan menengah mencapai 9 triliun dollar AS. Sebagian negara menghabiskan hingga 30 persen APBN untuk membayar utang. Pada 2022-2024, sebesar 26 persen APBN Sri Lanka, Laos, Dominika, Pakistan, dan Zambia dipakai untuk membayar utang kepada Amerika Utara dan Eropa Barat. Sementara 4 persen lain untuk membayar utang ke China. (AFP/REUTERS)