Pemerintah Israel memberikan lampu hijau kehadiran pemukim Yahudi di Homesh, wilayah utara Tepi Barat yang didudukinya. Langkah ini membuka peluang perluasan permukiman Yahudi di tanah Palestina.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
WASHINGTON, SENIN — Pemerintah Amerika Serikat menegur Israel karena Israel memberikan lampu hijau bagi para pemukim Yahudi untuk membangun permukiman permanen di Homesh, pos terdepan wilayah pendudukan di Tepi Barat. Tindakan ini dikhawatirkan akan memberikan peluang bagi pembangunan kembali permukiman warga Yahudi di setidaknya tiga pos lain, yang pernah disepakati untuk tidak dibangun.
Israel tidak mendengarkan desakan AS yang berulang kali bisa meningkatkan ketegangan hubungan dengan Palestina serta negara-negara di Timur Tengah. ”Kami sangat terganggu oleh perintah Pemerintah Israel yang memungkinkan warganya membangun kehadiran permanen di pos terdepan Homesh di Tepi Barat utara, yang menurut hukum Israel dibangun secara ilegal di tanah pribadi Palestina,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller dalam pernyataan, Minggu (21/5/2023). Dia menambahkan, izin itu tidak konsisten dengan komitmen Pemerintah Israel yang dibuat pada 2004 dan janji mereka pada Presiden AS Joe Biden baru-baru ini.
Teguran ini disampaikan Miller setelah Panglima Komando Pusat Militer Mayor Jenderal Yehuda Fox mengeluarkan surat perintah berisi izin bagi para pemukim untuk memasuki Homesh. Media Israel, Times of Israel, melaporkan, surat itu ditandatangani pada Kamis (18/5/2023), tetapi baru diumumkan kepada publik pada Sabtu (20/5/2023) malam. Surat perintah itu menyebut bahwa wilayah Homesh bagian dari Dewan Regional Samaria.
Pengumuman isi perintah itu disampaikan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang juga menteri yunior di Kementerian Pertahanan. Smotrich telah meminta kewenangan yang lebih besar, khususnya atas masalah sipil di wilayah pendudukan Tepi Barat. Saat proses pembentukan kabinet Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, ia menyusul aliansi mereka di pemilu,
”Kami berjanji untuk mengesahkan studi Torah lanjutan di yeshiva di Homesh, dan kami memenuhi itu,” kata Smotrich. Torah adalah kompilasi dari lima kitab kaum Yahudi. Sementara yeshiva adalah lembaga pendidikan tradisional kaum Yahudi yang fokus utamanya adalah pendalaman teks-teks tradisional, termasuk di dalamnya Taurat dan Talmud.
Keputusan untuk memberikan izin tak terlepas dari persetujuan pencabutan pasal dalam undang-undang yang disusun tahun 2005. Isinya perintah bagi Pemerintah Israel meninggalkan empat permukiman warga Yahudi di Tepi Barat utara bersamaan dengan penarikan pasukannya dari Jalur Gaza. Pasal yang dicabut atau dibatalkan berisi larangan bagi warga Israel untuk tinggal dan mendirikan permukiman di Homesh, Ganim, Kadim, dan Sa Nur, yang sebelumnya pernah ada.
Aktivis pendukung Israel berulang kali mencoba membangun kembali permukiman dan yeshiva di Homesh sejak UU itu disahkan parlemen. Akan tetapi, pihak berwenang Israel kembali menghancurkan bangunan-bangunan yang berdiri di atasnya. Putusan pengadilan tinggi Israel juga menyebut bahwa Homesh berdiri di atas tanah milik negara dan warga Palestina.
Komunitas internasional selama ini menganggap semua permukiman warga Yahudi yang dibangun di atas wilayah pendudukan Tepi Barat merupakan permukiman ilegal. Sementara Pemerintah Israel yang membagi antara permukiman yang telah memiliki izin dari kemenhan dan pos-pos terdepan tanpa izin dan sering kali dibangun di atas tanah milik warga Palestina.
Kelompok hak asasi manusia Israel, Yesh Din, mengecam surat perintah itu. Dalam pandangan mereka, surat perintah itu akan menjadi landasan pengusiran kembali warga Palestina yang telah menghuni lahan itu sejak beberapa generasi. ”Masuknya warga Israel ke daerah itu akan menjadi alat untuk mengusir warga Palestina dari tanah-tanah mereka. Proses pengesahan surat perintah ini adalah hadiah, insentif bagi para penjahat dan tindakan ini adalah pelanggaran hukum internasional,” kata Yesh Din dalam pernyataannya.
Surat perintah itu dinilai melanggar komitmen utama Israel pada pemerintahan mantan Presiden AS George W Bush. Saat itu Bush ingin memastikan negara Palestina memiliki cukup lahan untuk masa depan mereka yang lebih baik.
Dimintai komentar tentang langkah terbaru Israel, Kedutaan Besar AS di Israel mengatakan kepada The Times of Israel bahwa itu ”sangat bermasalah”. ”AS sangat mendesak Israel menahan diri untuk mengizinkan kembalinya pemukim Israel ke daerah yang dicakup oleh undang-undang yang disahkan pada Maret, konsisten dengan komitmen mantan PM Ariel Sharon dan komitmen Pemerintah Israel saat ini ke Amerika Serikat,” kata seorang juru bicara.
Juru bicara Kedutaan AS juga menyebut rencana itu menjadi langkah mundur bagi upaya perdamaian dan solusi dua negara. ”Kami telah menjelaskan bahwa memajukan permukiman (semakin berdekatan dengan wilayah Palestina) merupakan hambatan bagi perdamaian dan pencapaian solusi dua negara. Ini tentu termasuk membuat permukiman baru, membangun atau melegalkan pos terdepan, atau mengizinkan pembangunan apa pun di tanah pribadi Palestina,” tambah juru bicara tersebut.
Provokasi Ben Gvir
Selain berbicara soal Homesh, Miller juga mengeluarkan pernyataan soal tindakan Menteri Keamanan Israel Itamar Ben-Gvir yang kembali berkunjung ke kompleks Masjid Al Aqsa. Miller menyebut Washington prihatin terhadap kunjungan Ben-Gvir yang dinilai provokatif dan disertai retorika yang menghasut.
”Tempat suci itu tidak boleh digunakan untuk tujuan politik, dan kami meminta semua pihak untuk menghormati kesuciannya,” katanya. Miller menegaskan kembali posisi AS soal status quo harus dipertahankan di tempat-tempat suci Jerusalem.
Dalam kunjungan keduanya kali ini, Ben Gvir dengan tegas menyebut kunjungannya dimaksudkan untuk mengirimkan pesan politik bahwa Al Aqsa berada dalam wilayah kekuasaan Israel. ”Kami yang bertanggung jawab di sini,” kata Ben Gvir. (Reuters)