Penindasan Tiada Ujung terhadap Rakyat Palestina
Kekerasan demi kekerasan terus dialami rakyat Palestina di wilayah yang diduduki Israel, terlebih setelah pemerintahan Israel berada di bawah kontrol politisi garis keras sayap kanan.

Warga Palestina membawa jenazah Abdullah Sami Qalalweh untuk dimakamkan di desanya, al-Judaydeh, selatan Jenin, wilayah pendudukan Tepi Barat, Sabtu (4/2/2023). Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan, Qalalweh (26) ditembak mati oleh tentara Israel, sehari sebelumnya. Versi Israel menyebutkan, insiden penembakan terjadi saat Qalalweh yang kala itu tak bersenjata diduga menyerang pos militer dekat markas militer di area Huwara.
Mohammed Hamoodi, biasa dipanggil Mo, merasa tidak nyaman ketika pemilik toko tempat dia bekerja di Houston, Texas, Amerika Serikat, mengajaknya berbicara dalam bahasa Arab. Meski fasih berbahasa Arab, bahasa ibu karena dia memiliki darah Palestina, Mo memilih berbahasa Inggris atau bahasa Meksiko saat berbicara dengan teman-temannya atau dengan pelanggan.
Maka, ketika pemilik toko mengajaknya berbahasa Arab, Mo mencium gelagat tak beres. Benar saja, dia dipecat karena sang pemilik toko takut petugas imigrasi akan menggerebek tokonya karena mempekerjakan imigran ilegal.
Itu cuplikan adegan miniseri Mo, yang diperankan Mohammed Amer, komedian asal Houston berdarah Palestina, yang tayang di Netflix. Meski bukan film dokumenter, adegan tadi adalah refleksi kehidupan nyata warga imigran Palestina yang tidak memiliki status kewarganegaraan dan membuat mereka tidak bisa bekerja secara legal. Hal itu dialami banyak imigran lainnya di AS.
Bagaimana dengan kondisi riil di lapangan di tanah Palestina sendiri? Diana Buttu, pengacara dan mantan penasihat tim juru runding Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dalam tulisannya di New York Times, 13 Desember 2022, menyebutkan kekhawatiran dan ketakutan warga Palestina semakin besar saat ini ketika Pemerintah Israel dikuasai politisi garis keras sayap kanan.
”Setiap hari sejak pemilu, warga Palestina bangun dengan pertanyaan, ’Sekarang apa?’ dan, lebih sering daripada tidak, ada berita lain yang menambah kecemasan kita,” tulis Buttu.
Baca juga: Serangan Israel Paling Mematikan di Kamp Jenin, 9 Warga Palestina Tewas
Dia mengatakan, rasisme begitu nyata dan akut di setiap sudut wilayah pendudukan. Bahkan, dirinya memilih diam, tak mengeluarkan sepatah kata pun atau tidak berani membaca tulisan Arab dengan lantang di angkutan umum. Ia menyebut hak-hak Palestina telah didorong ke tepi jurang atau bahkan ke atas kompor.
Analis keamanan dan mantan penasihat hukum Pemimpin PLO Mahmoud Abbas itu mengutip hasil survei lembaga riset Pew Research Center tahun 2016. Survei itu memperlihatkan 48 persen warga Yahudi Israel mendukung pengusiran atau penggusuran warga Arab dari wilayah yang diklaim sebagai tanah leluhur mereka. Warga Palestina, termasuk Buttu, seperti hanya tinggal menunggu waktu dipaksa meninggalkan rumah kediaman mereka.
”Kami dibuat merasa bahwa kami adalah penyelundup yang keberadaannya hanya sementara dan ditoleransi sampai tiba waktu bagi mereka untuk menyingkirkan kami, warga Palestina,” kata Buttu, lulusan Fakultas Hukum Universitas Stanford, AS.
Dukungan kekerasan
Sejak Benjamin Netanyahu dipastikan memenangi pemilu Israel, kekhawatiran bakal meningkatnya kekerasan terhadap warga Palestina di wilayah pendudukan makin besar. Hampir setiap hari, media sosial, media-media Palestina, dan kantor berita Barat memberitakan perusakan, pengusiran, serta pendudukan atas permukiman warga Palestina.
Caranya beragam. Dengan dikawal aparat keamanan bersenjata, warga Yahudi Israel mendatangi dan mengusir warga Palestina dari rumah mereka, serta merusak ladang dan kebunnya; meratakan rumah-rumah warga Palestina dengan tanah dengan alat berat atau bahkan mengambil alih rumah-rumah itu saat keluarga Palestina tengah berziarah, mengunjungi rumah atau kerabat mereka yang tengah berduka. Para pemukim Yahudi memasukkan barang-barang baru ke rumah-rumah warga Palestina dan membuang perabotan lama sebelum akhirnya mengklaim bahwa rumah atau gedung itu adalah properti warga Yahudi.

Buldoser-buldoser Israel merobohkan dan meratakan dengan tanah sebuah rumah milik warga Palestina, yangmenurut Israeldibangun tanpa izin dari otoritas Israel di area C yang mereka kontrol di Desa Duma, wilayah pendudukan Tepi Barat, Kamis (2/2/2023).
Tak hanya itu, pada Januari 2023, sebelum serangan bersenjata ke kamp pengungsi di Jenin, hampir setiap hari serangan mematikan dan tindakan kekerasan menimpa rakyat Palestina. Berbagai media lokal Palestina dan kantor berita asing mengabarkan kematian warga Palestina di tangan militer Israel. Korbannya tak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak.
Situasinya semakin memburuk. Rencana baru Pemerintah Israel untuk mempersenjatai warga sipilnya dikhawatirkan membuat situasi semakin tak terkendali. Seruan dunia internasional agar Israel menahan diri tak membuat militer negara itu menghentikan tekanan terhadap warga Palestina.
Baca juga: Israel Akan Persenjatai Warga Sipil
Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) Volker Turk, Jumat (3/2/2023), menyerukan diakhirinya eskalasi kekerasan dan penghilangan nyawa warga di Palestina dan Israel. Total hingga awal Februari, menurut catatan OHCHR, kekerasan bersenjata yang dilakukan oleh tentara Israel menewaskan 32 warga Palestina. Di pihak Israel, 7 warga tewas tahun ini.
”Daripada menggandakan pendekatan kekerasan dan pemaksaan yang gagal, saya mendesak semua orang yang terlibat untuk keluar dari eskalasi tidak masuk akal yang hanya berakhir dengan mayat, nyawa yang hilang, dan keputusasaan total,” kata Turk dalam sebuah pernyataan.
Dia menambahkan, keputusan Pemerintah Israel untuk mempersenjatai warga sipilnya hanya akan memicu kematian, pelanggaran hak asasi manusia, dan penyalahgunaan hukum. ”Kami tahu dari pengalaman penggunaan senjata api akan meningkatkan risiko pembunuhan dan cedera baik warga Israel maupun Palestina,” ujar Turk.

Peserta latihan membidikkan pistol ke arah target di sebuah area tertutup untuk latihan menembak dalam seleksi kursus di permukiman Yahudi, Katzrin, di wilayah pendudukan Dataran Tinggi Golan, 31 Januari 2023. Pemerintah Israel berencana mempersenjatai warga sipilnya di tengah kekerasan bersenjata antara Palestina dan Israel.
Turk juga mendesak seluruh pihak, terutama para pejabat publik Israel, untuk berhenti menggunakan bahasa yang menghasut kebencian terhadap orang lain.
Meningkatnya kekerasan itu tidak terlepas dari peran para politisi garis kanan dalam pemerintahan Netanyahu. Itamar Ben-Gvir dan Ben Smotrich adalah dua politisi sayap kanan Israel yang mendorong sikap keras Pemerintah Israel terhadap warga Palestina.
Baca juga: Kemenangan Koalisi Netanyahu Kobarkan Kebangkitan Ekstrem Kanan di Israel
Smotrich adalah pemimpin Partai Religius Zionisme, yang mengadopsi ideologi gerakan radikal Yahudi, Kach. Mereka pengusung utama kebijakan mengusir seluruh warga Arab dari wilayah pendudukan Jerusalem Timur dan Tepi Barat serta Jalur Gaza.
Smotrich dikenal sangat mengagumi pemimpin gerakan radikal Kach, Meir Kahane, rabi Yahudi ekstremis. Kahane tewas di New York, AS. pada tahun 1990. Setelah membawa Netanyahu kembali ke kursi kekuasaan sebagai perdana menteri, Smotrich meminta jatah sebagai ”penguasa wilayah Tepi Barat” di Kementerian Pertahanan Israel. Sebagai penguasa Tepi Barat, dia memiliki kewenangan meneruskan pembangunan permukiman Yahudi serta menghancurkan rumah dan kebun warga Palestina.
Dia menyebutkan bahwa David Ben-Gurion, Perdana Menteri pertama Israel, tidak ”menyelesaikan tugas” mengusir orang Palestina pada tahun 1948. Kini, kekuatan itu ada di tangannya dan pemerintahan Netanyahu.
Smotrich menyebutkan bahwa David Ben-Gurion, Perdana Menteri pertama Israel, tidak ’menyelesaikan tugas’ mengusir orang Palestina pada tahun 1948. Kini, kekuatan itu ada di tangannya dan pemerintahan Netanyahu.
Ben-Gvir, yang kini menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional, terus mendorong militer Israel untuk bersikap keras terhadap warga Palestina. Dia juga mendorong aparat keamanan untuk tidak segan-segan menodongkan senjata api ke warga Palestina. Bahkan, dia juga memberi penghargaan terhadap polisi atau tentara Israel yang dinilainya ”berhasil” menghilangkan nyawa warga Palestina.
”Tindakan yang tepat, Anda benar-benar memenuhi kehormatan semua orang dan melakukan apa yang ditugaskan kepadamu,” kata Ben-Gvir, dalam video yang beredar di Israel. Sikap itu membuat kepala polisi Israel menyalahkan Ben-Gvir karena membantu memicu lonjakan kekerasan pada Mei 2021.

Seorang warga Palestina bersitegang dengan anggota parlemen Israel (Knesset) dan Ketua partai Kekuasaan Yahudi (Otzma Yehudit), Itamar Ben-Gvir, di permukiman Sheikh Jarrah, wilayah pendudukan Jerusalem Timur, 10 Mei 2021.
Tindakan keras Israel terhadap rakyat Palestina membuat gerah Presiden AS Joe Biden. Meski tidak setuju dengan keberadaan banyak politisi sayap kanan dan politisi garis keras Israel di kabinet Netanyahu, AS tetap memberikan dukungan terhadap sikap Israel yang keras terhadap warga Palestina.
Apartheid gaya baru
Kekerasan bersenjata yang terus berulang dan menyebabkan puluhan nyawa melayang semakin menghilangkan harapan bahwa Palestina dan Israel bisa duduk satu meja. Lebih jauh dari itu, solusi dua negara, jalan tengah untuk menembus kebuntuan konflik Palestina dan Israel, hanyalah angan semata.
Abraham Accord yang ditandatangani Israel dan empat negara Arab, yaitu Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko, dengan perantara AS yang saat itu dipimpin Donald Trump, memberikan angin segar akan kemungkinan terhentinya siklus kekerasan di Palestina dan Israel. Namun, jika menyimak isi perjanjian itu, solusi dua negara yang telah disepakati dan didukung oleh dunia internasional nyaris tak berbekas.
Gaung Abraham Accord lebih besar pada isu investasi atau ekonomi antara Israel dan negara-negara penandatangan perjanjian. Di tengah upaya menghilangkan ketergantungan ekonomi negara-negara Arab terhadap minyak, sektor pariwisata menjadi salah satu sektor yang diharapkan bisa mendatangkan cuan bagi negara-negara kaya minyak tersebut.
Baca juga: Dokumen Kesepakatan UEA-Bahrain dan Israel Tak Singgung Solusi Dua Negara
Arab Saudi, yang sebenarnya berada di belakang persetujuan Bahrain, Sudan, dan Maroko, sampai saat ini memilih tidak menormalisasi hubungan diplomatiknya dengan Israel. Riyadh mensyaratkan keberadaan negara Palestina merdeka dengan ibu kota di Jerusalem Timur sebagai harga yang tidak berubah, setidaknya hingga saat ini. Tekanan dan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dan tentara Israel dinilai tidak akan berbuah apa pun.
”Kami telah mengatakan secara konsisten bahwa kami percaya normalisasi dengan Israel adalah sesuatu yang sangat menarik bagi kawasan itu. Normalisasi dan stabilitas sejati hanya akan datang dengan memberikan harapan kepada warga Palestina, dengan memberikan martabat kepada warga Palestina,” kata Menlu Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan al Saud kepada Bloomberg TV dalam wawancara di sela-sela Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Kamis (26/1/2023).
Dia menambahkan, normalisasi hanya bisa dilakukan di atas kesepakatan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.

Foto dari udara, yang diambil pada 3 Februari 2023, ini memperlihatkan permukiman Israel, Givat Harel, di dekat permukiman Shilo, di wilayah pendudukan Tepi Barat, utara Ramallah.
Alih-alih berbicara mengenai negara Palestina merdeka, yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Seperti yang dituliskan Buttu dan dialami jutaan warga Palestina di wilayah pendudukan menyiratkan bahwa tidak ada keinginan Israel untuk itu. Kebijakan di lapangan memperlihatkan Israel berkeinginan untuk benar-benar memisahkan atau mengusir warga Palestina.
Marwan Bishara, analis politik Al Jazeera, mengatakan, yang dialami rakyat Palestina adalah kebijakan apartheid gaya baru, tidak jauh berbeda dengan kebijakan yang sama yang dirasakan rakyat Afrika Selatan beberapa dekade silam. Apartheid di Afsel, seperti yang terjadi di Palestina, adalah konflik secara terus-menerus, pembersihan etnis, perampasan, dan pengusiran jutaan warga dari tempat kelahirannya.
Baca juga: Givat Eitam, Pelanggaran Norma Internasional dan Apartheid Baru
Jacob Kornbluh, editor politik senior pada media alternatif Forward.com, menyebut, berbagai kebijakan Israel telah memacu kebijakan hegemoni demografis sejak tahun 1948. Ia menyebut, dalam mempertahankan hegemoninya, Pemerintah Israel memaksimalkan kendalinya terhadap lahan milik warga Palestina dengan cara mengusir dan menghancurkan properti di atasnya. Selain itu, Pemerintah Israel juga menghalangi upaya warga Palestina melawan perampasan hak, jika perlu dengan penghilangan nyawa warga Palestina.
Amnesty International (AI) sepakat dengan Bishara. Lembaga itu menyebut Israel telah menerapkan kebijakan apartheid terhadap warga Palestina di tanah kelahiran mereka sendiri. AI, dalam laporannya tahun 2022, menyatakan, berbagai kebijakan Israel di wilayah kendalinya bertujuan untuk melanggengkan keberadaan mayoritas (warga Yahudi) di sebanyak mungkin lokasi (atau tanah yang dimiliki warga Palestina) dan secara sistematis juga menyangkal hak dasar warga Palestina. Tindakan itu dinilai sebagai kebijakan yang diskriminatif dan penindasan sistematis berdasarkan identitas nasional, etnis, ras atau agama, atau apartheid baru.
Iran, meski hubungannya dengan Arab Saudi renggang, kali ini bersikap serupa dengan Riyadh. Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian dalam pembicaraannya dengan pemimpin Hamas dan Jihad Islam, seperti dikutip kantor berita Tasnim, mengecam represi Israel terhadap rakyat Palestina. Ia menegaskan kembali dukungan Iran untuk Palestina.

Seorang jurnalis foto, Ayman Nobani (tengah), dipapah oleh dua warga Palestina setelah terluka oleh tembakan aparat keamanan Israel saat ia meliput bentrokan di Desa Duma, wilayah pendudukan Tepi Barat, 2 Februari 2023.
Dukungan Teheran terhadap Palestina dibaca oleh Muthanna Abdullah, kolumnis surat kabar berbahasa Arab, Al-Quds, sebagai upaya mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh negara-negara Arab di Palestina.
”Palestina adalah tanah Arab, tetangga Arab, dan tujuan yang harus tetap menjadi pusat pemikiran setiap warga Arab. Harus disadari bahwa meninggalkan Palestina akan membuat gerakan perlawanan terhubung secara sukarela atau sebaliknya dengan Iran,” katanya, dikutip dari laman Al-Quds yang terbit pada 10 Agustus 2022.
Pada akhirnya, siklus kekerasan tidak akan pernah berhenti. Perdamaian tidak akan terjadi. Solusi dua negara pun hanya menjadi ilusi semata.