Penyintas Memupuk Harapan Pelucutan Senjata Nuklir
Para penyintas serangan bom atom Nagasaki dan Hiroshima berharap G7 akan mengambil langkah nyata melucuti persenjataan nuklir dan mewujudkan perdamaian. Karena jika tak ada perang, tak ada juga senjata nuklir.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Sueichi Kido (83), penyintas serangan bom atom di kota Nagasaki, Jepang, skeptis Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida akan bisa meyakinkan para pemimpin negara anggota G7 -termasuk negara-negara nuklir seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis- untuk mau melucuti persenjataannya. Meski skeptis, Kido tetap berharap pertemuan G7 setidaknya menghasilkan langkah kecil menuju pelucutan senjata nuklir karena lokasi pertemuan yang dilakukan di Hiroshima.
“Saya ingin para pemimpin sungguh-sungguh memahami apa akibat ledakan bom atom pada manusia. Biasanya yang dilihat hanya awan jamurnya, ledakannya. Tetapi orang sering lupa apa yang terjadi pada orang-orang di bawahnya,” ujarnya.
Pertemuan KTT Kelompok Tujuh negara industri atau G7 pada akhir pekan ini menjadi kesempatan yang langka dan barangkali terakhir bagi para penyintas serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki untuk mendorong pelucutan senjata nuklir di hadapan masyarakat internasional. Kishida yang kampung halamannya ada di Hiroshima memilih kota itu untuk menyoroti upaya nonproliferasi nuklir yang telah diguncang ancaman nuklir Rusia terhadap Ukraina dan meningkatnya agresi China dan Korea Utara yang memiliki persenjataan nuklir.
Untuk mengenang para korban bom atom, Kishida, Jumat lalu, mengajak para pemimpin G7 ke Taman Peringatan Perdamaian dan memberikan penghormatan kepada mereka yang tewas. Mereka juga mengunjungi museum yang didedikasikan untuk para korban dan bertemu dengan seorang warga yang selamat.
Kishida telah berjanji bertindak sebagai jembatan antara negara nuklir dan non-nuklir. Namun, para kritikus menilai keinginan untuk pelucutan senjata nuklir Kishida tak sungguh-sungguh. Ini mengingat Jepang selama ini justru mengandalkan payung nuklir AS untuk perlindungan dan Jepang juga akhir-akhir ini mempercepat pengembangan militer serta kian menjauh dari kebijakan pasifisnya.
Rencananya, para pemimpin G7 akan mengeluarkan pernyataan bersama tentang pelucutan senjata nuklir berjudul “Visi Hiroshima” yang menyerukan untuk tidak menggunakan senjata nuklir, transparansi dengan dialog antara negara-negara nuklir dan non-nuklir, tetapi membenarkan senjata nuklir yang “untuk tujuan defensif, mencegah agresi, dan mencegah perang serta pemaksaan”.
Menurut Kishida, pernyataan bersama itu menunjukkan prioritas pelucutan senjata nuklir dan non-proliferasi serta memiliki “makna sejarah”. AS melakukan serangan atom pertama di dunia di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 hingga menewaskan 140.000 orang. Bom kedua dijatuhkan tiga hari kemudian di Nagasaki dan menewaskan 70.000 orang.
Jepang lalu menyerah pada 15 Agustus dan mengakhiri Perang Dunia II. Presiden AS Barack Obama pernah berkunjung ke Hiroshima pada 2016 dan itu adalah kunjungan pertama presiden AS yang aktif berkuasa.
Para penyintas kecewa karena para pemimpin G7 hanya bertemu dengan satu penyintas saja. Kunihiko Sakuma, yang saat masih berusia 9 bulan terpapar radiasi dari pengeboman, mengatakan ia merasa kunjungan para pemimpin ke museum itu singkat dan dangkal. Ia meminta mereka menjelaskan kepada rakyatnya masing-masing tentang kekejaman senjata nuklir.
“Setiap pemimpin harus melakukan itu agar setiap orang bisa mengerti. Kalau tidak, ancaman bom nuklir yang sebenarnya tidak bisa dipahami,” ujarnya.
Kishida dikritik oleh para penyintas karena berencana menggandakan anggaran pertahanan Jepang dalam lima tahun ke depan. Tujuannya untuk mendanai pembangunan militer yang akan memperkuat kemampuan serangan dan mencegah meningkatnya ancaman China. Jepang ingin memperdalam hubungan tiga arah dengan AS dan Korea Selatan untuk meningkatkan pencegahan nuklir.
Jepang dinilai perlu mengambil pendekatan yang realistis untuk menjembatani kesenjangan antara negara-negara nuklir dan non-nuklir. Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm memperkirakan terdapat 12.705 hulu ledak simpanan nuklir pada 2022 dan sebagian besar dipegang AS dan Rusia.
Kido baru berusia 5 tahun ketika melihat kilatan cahaya di langit dan terkenda dampak ledakan pada pagi hari tanggal 9 Agustus 1954. Ia mengalami luka bakar di pipi dan sempat terpisah dari keluarganya tetapi kembali dipertemukan di tempat penampungan.
Ketika ia keluar dari tempat penampungan keesokan harinya, pemandangan dimana-mana menyedihkan, hanya tubuh hangus dan orang-orang berjalan-jalan dan meminta air. Kondisi tubuh mereka mengenaskan. “Semuanya menjadi hitam. Kota benar-benar musnah,” ujarnya.
Kido adalah salah satu dari sedikit orang yang selamat yang dapat menceritakan pengalaman pengeboman itu secara langsung. Banyak penyintas yang hidup selama puluhan tahun dengan kesedihan, kemarahan, ketakutan, dan rasa malu yang berkepanjangan di Jepang.
Banyak korban dan anak-anak mereka yang menghadapi diskriminasi karena orang percaya bahwa penyakit radiasi itu menular atau turun-temurun. Setelah beberapa dekade hening, beberapa penyintas mulai berbicara dengan harapan generasi muda akan melanjutkan perjuangan mereka.
Butuh waktu lebih dari 40 tahun bagi Kido untuk bergabung dengan gerakan senjata anti-nuklir di Gifu, tempatnya mengajar sejarah di universitas setempat. Tidak ada organisasi apapun yang membantu para penyintas di daerah itu.
“Kami sudah tua dan tidak lama lagi semua penyintas Hiroshima dan Nagasaki akan pergi. Kita tidak boleh membiarkan orang lain menjadi korban dan merasakan sakit ini. Caranya dengan membuat dunia bebas senjata nuklir, menghapus senjata atom, dan tidak mengobarkan perang karena senjata nuklir tidak akan digunakan jika tidak ada perang,” kata Kido. (AP)