Mitos ”Nuklir sebagai Senjata Perdamaian” Menyandera Upaya Pelucutan
Krisis di Rusia dan Ukraina merupakan momen untuk menyegerakan pelucutan persenjataan nuklir guna memastikan keamanan global. Saat ini terdapat 13.400 hulu ledak nuklir di dunia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia merupakan salah satu pemain utama dalam pelucutan senjata pemusnah massal, termasuk persenjataan nuklir. Akan tetapi, khusus untuk nuklir, tantangan yang dihadapi lebih berat dibandingkan dengan senjata jenis lain. Hal ini karena narasi mengenai senjata nuklir sangat kuat dalam bingkai mitos, yakni nuklir sebagai senjata politis untuk perdamaian. Padahal, risiko kehancuran akibat nuklir sama berat dengan senjata strategis lainnya.
Pemikiran itu mengemuka dalam diskusi daring ”Indonesia dan Ancaman Perang Nuklir” yang diadakan Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan Kampanye Internasional untuk Pelucutan Senjata Nuklir (ICAN), Jumat (4/3/2022). ”Mitos mengenai nuklir sebagai senjata untuk perdamaian ini berasal dari pemakaiannya di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, yang dijadikan tolok ukur berakhirnya Perang Dunia II,” kata dosen HI UGM sekaligus peneliti ICAN, Muhadi Sugiono.
Pedahal, sejatinya keberadaan persenjataan nuklir bertolak belakang dengan politik internasional karena merupakan senjata pemusnah massal. Berdasarkan data Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) tahun 2020, saat ini ada 13.400 hulu ledak nuklir di dunia. Rusia memiliki hulu ledak terbanyak, yaitu 6.375 unit, disusul Amerika Serikat (5.800), China (320), Perancis (290), Inggris (215), Pakistan (160), India (150), Israel (90), dan Korea Utara (30-40).
Selain itu, juga ada negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang tidak memiliki persenjataan nuklir sendiri, tetapi merupakan tempat penitipan hulu ledak milik AS. Mereka adalah Turki yang menjadi rumah bagi 50 hulu ledak, Italia (40), Belgia (20), Jerman (20), dan Belanda (20).
Muhadi menjelaskan, mitos nuklir sebagai senjata politik bekerja dengan cara negara-negara pemilik senjata nuklir tidak akan memakainya. Landasan pemikirannya ialah apabila ada satu negara pemilik nuklir memakainya, ia akan menerima serangan yang sama parah atau bahkan lebih parah lagi dari pemilik nuklir lainnya. Oleh sebab itu, nuklir menjadi semacam senjata untuk mengancam, tetapi dengan harapan tidak pernah dipakai.
”Ini yang membuat kepemilikannya dibatasi secara ketat oleh segelintir negara. Akan tetapi, ini tidak memberikan jaminan kestabilan dan keamanan global karena tidak ada yang bisa memastikan para pemimpin negara dengan senjata nuklir bisa bertindak bijaksana,” tuturnya.
Krisis yang melanda Rusia dan Ukraina juga membuat dunia bertanya-tanya sejauh mana masyarakat terlena dengan mitos nuklir sebagai senjata perdamaian. Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengutarakan kehendaknya untuk menggunakan nuklir jika terus didesak. Sebelumnya, dilansir dari Politico, Putin telah mengungkapkan hal serupa ketika bertemu dengan mantan Presiden AS Donald Trump. Bahkan, ramuan nuklir merupakan salah satu metode yang dipakai Putin untuk meracuni lawan-lawan politiknya.
Menurut Muhadi, tarik ulur isu pemakaian nuklir dalam krisis Rusia-Ukraina membuat dunia semakin tidak aman. Ini menunjukkan kian dekatnya pemakaian nuklir sebagai senjata strategis, bukan senjata politis, apalagi senjata pengakhir peperangan. ”Apabila sampai terjadi pemakaian nuklir dalam krisis kali ini, dunia akan berada pada titik yang tidak bisa diputarbalikkan karena nuklir akan resmi menjadi senjata perang,” ujarnya.
Perjanjian Nonproliferasi Nuklir 1968 (NPT) dan pakta internasional penghapusan persenjataan nuklir tahun 2017 terbukti gagal mengurangi pengayaan nuklir. Negara-negara yang memiliki nuklir, seperti AS, Inggris, Rusia, dan Perancis, tidak akan mau menghentikan program nuklir mereka. Belum lagi ditambah permasalahan negara-negara di luar pakta tersebut, seperti Korea Utara, Iran, Pakistan, dan India yang akan terus mengembangkan persenjataan nuklir mereka dengan alasan ancaman keamanan yang langsung terjadi di perbatasan masing-masing.
Pada Januari 2022, lima negara pemilik senjata nuklir, yaitu AS, China, Rusia, Inggris, dan Perancis, menandatangani perjanjian di Washington DC. Isinya janji menghindari peperangan nuklir. Kesepakatan itu merupakan inisiatif dari Rusia setelah Putin bertemu dengan Presiden AS Joe Biden di Geneva, Swiss, Juni 2021. Permasalahannya, di tengah situasi perang seperti saat ini, bisakah Rusia, AS, ataupun para anggota NATO menahan diri untuk tidak memakai nuklir seperti yang mereka janjikan?
Menanggapi hal tersebut, Direktur Kerja Sama Internasional Pertahanan Kementerian Pertahanan Jonathan Binsar Parluhutan Sianipar mengatakan, mau tidak mau Indonesia harus menyiapkan diri untuk melakukan mitigasi adanya bencana perang nuklir. Apalagi adanya Pakta Pertahanan AS, Inggris, dan Australia (AUKUS), juga kian mendekatkan persenjataan nuklir dengan Indonesia.
”Landasan Indonesia menghadapi ancaman nuklir adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, terutama Pasal 12, 13, dan 16. Akan lebih baik lagi jika kita memang memiliki lembaga yang khusus memitigasi risiko ini agar advokasi pelucutan senjata nuklir bisa lebih gencar,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Fungsi Isu Senjata Pemusnah Massal dan Senjata Konvensional Kementerian Luar Negeri Yohpy Ichsan Wardana mengatakan, sikap Indonesia sudah cukup tegas di tataran internasional. Meskipun menolak persenjataan nuklir, Indonesia mengusung konsep pemakaian nuklir untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan energi.