Kemenangan oposisi di Thailand dan beberapa pemilihan umum di kawasan yang bisa mengganti rezim otoriter seharusnya bisa menggerakkan hal serupa di Kamboja. Akan tetapi, trauma masa lalu belum hilang.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil pemilihan umum di Thailand, Malaysia, dan Filipina diyakini bisa memberikan inspirasi bagi rakyat Kamboja untuk menuntut pemerintah melaksanakan pemilu yang akan menghasilkan pemerintahan demokratis. Akan tetapi, cerita orang-orang tua tentang kekejaman rezim militer di masa lalu masih menorehkan trauma. Generasi muda Kamboja pun tak bisa berbuat banyak.
Pada saat yang sama, Komisi Pemilihan Nasional (NEC) telah mendiskualifikasi partai oposisi utama Kamboja, Candlelight Party, dari keikutsertaan pada pemilihan umum, Juli 2023. Meski masih ada partai peserta lainnya, pelarangan oposisi utama untuk ikut serta dalam pemilu adalah bagian dari intervensi rezim militer Kamboja.
”Tidak ada ruang untuk logika. Yang akan terjadi adalah pemilu akal-akalan,” kata tokoh oposisi senior Kamboja, Sam Rainsy, di Jakarta, Jumat (19/5/2023). Dia menambahkan, tindakan untuk mendiskualifikasi Candlelight Party membuktikan bahwa Kamboja adalah negara otokrasi.
Rainsy selama ini tinggal di pengasingan di Perancis. Ia mengatakan, generasi muda sekarang menjadi bagian terbesar dari struktur demografi Kamboja. Mereka menginginkan hal yang sama dengan negara demokrasi di sekitarnya, seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, hingga Thailand, yakni melihat proses pemilihan yang demokratis. Yang terjadi dalam pemilu Thailand pekan lalu, menurut dia, juga diinginkan anak-anak muda Kamboja.
Akan tetapi, Rainsy yakin Perdana Menteri Hun Sen, yang telah berkuasa nyaris empat dekade, tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sebagai bagian dari rezim masa lalu, ia menilai, Hun Sen akan menutup semua peluang untuk terciptanya demokrasi di Kamboja.
Mengutip data UNFPA, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi demografi, populasi Kamboja mencapai 16,9 juta jiwa. Sebanyak 65 persen di antaranya adalah warga berusia 15-64 tahun. Adapun penduduk usia 65 tahun ke atas mencapai 6 persen.
Menurut pemimpin Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) ini, dengan demografi seperti sekarang ini, seharusnya generasi baru Kamboja bisa bergerak lebih leluasa menyuarakan keinginannya untuk melihat negara yang lebih sejahtera dan demokratis. Namun, yang terjadi sebaliknya. Kamboja jalan di tempat atau bahkan, menurut Rainsy, terus mengalami kemunduran.
”Yang terjadi dengan Candlelight Party adalah pengulangan sejarah sebelumya. Oposisi dijegal,” kata Rainsy.
NEC mendiskualifikasi Candlelight Party karena dinilai gagal menyediakan berbagai dokumen untuk administrasi pendaftaran partai politik peserta pemilu. Meski ada 10 partai lain yang mendaftar dan lolos sebagai peserta, diskualifikasi Candlelight Party ini dinilai sebagai cara rezim untuk tetap berkuasa karena tidak mendapatkan rival yang sepadan pada pemilu nanti.
Berusia lebih dari satu tahun, Candlelight adalah reinkarnasi dari CNRP bentukan Rainsy. Seperti yang terjadi saat ini, CNRP juga didiskualifikasi beberapa tahun lalu. Bahkan, Mahkamah Agung membubarkan CNRP pada 2017 dan membuat partai pemerintah, Partai Rakyat Kamboja (CPP), memenangi pemilihan.
Puluhan mantan anggota CNRP ditahan atau dihukum karena kejahatan melalui proses persidangan yang dinilai janggal oleh para aktivis demokrasi. Proses peradilan banyak dilakukan dengan in absentia karena mereka melarikan diri ke pengasingan.
Wakil Presiden Candlelight Party Son Chhay mengatakan, akan mengajukan banding ke mahkamah konstitusi. ”Kami memiliki satu minggu untuk melakukannya,” katanya.
Rainsy menyebut, rencana Hun Sen untuk mengusung putranya, Hun Manet, sebagai calon penggantinya telah memperlihatkan keinginan membentuk dinasti politik di Kamboja. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Hun Sen menyebut keturunannya akan berkuasa hingga setidaknya 100 tahun ke depan. Ini menjadi tanda yang jelas bahwa demokrasi telah lenyap dari Kamboja.
Juru bicara CPP, Cok Eysan, diminta pendapatnya soal diskualifikasi Candlelight mengatakan, diskualifikasi itu tidak berarti Pemerintah Kamboja merupakan negara otokrasi dan pemilu nanti tidak demokratis lagi. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya lebih dari 10 partai yang mendaftar dan lolos sebagai peserta pemilu.
Jawaban serupa disampaikan juru bicara pemerintah. ”Pemilihan akan menjadi pilihan rakyat Kamboja,” kata Phay Siphan.
Indonesia dan ASEAN
Rainsy mengatakan, posisi Indonesia sebagai sahabat lama rakyat Kamboja dan kini sebagai pengemban Keketuaan ASEAN, dinilai memiliki daya dorong untuk terjadinya perubahan di Kamboja. Peran Pemerintah Indonesia sebagai salah satu juru damai dalam konflik Kamboja bisa diulangi dalam format dan tujuan yang berbeda.
Dia mengatakan, pemilu di Indonesia dinilai banyak pihak sebagai contoh pemilu demokratis, salah satunya dengan keberadaan komisi pemilihan yang independen. Ini bisa menjadi contoh bagi Pemerintah Kamboja untuk diterapkan. Untuk itu, dia berharap Indonesia dan masyarakat sipilnya kuat sehingga bisa menularkan angin demokrasi ke Kamboja. (Reuters)