G7 Berniat Perketat Sanksi Terhadap Rusia
Di Hiroshima, Jepang, para pemimpin G7 akan kembali menyelaraskan kebijakan sanksi ekonomi atas Rusia. Selain itu, mengadang agresivitas China juga akan menjadi pembahasan.

Aparat keamanan tengah menunggu kehadiran pesawat yang mengangkut pemimpin negara anggota G7 di apron Bandara Hiroshima pada Kamis (18/5/2023).
Hiroshima, Kamis - Rencana penerapan sanksi baru terhadap Rusia akan menjadi fokus utama para pemimpin negara-negara industri maju, Kelompok G7, dalam Konferensi Tingkat Tinggi yang akan berlangsung selama tiga hari di Hiroshima, Jepang. Tak hanya menyoal Rusia, G7 juga akan membahas tentang persaingan mereka dengan China yang dinilai semakin agresif, mulai dari soal ekonomi hingga perluasan wilayah teritorial.
Dalam KTT yang akan berlangsung Jumat (19/5/2023), para pemimpin negara-negara G7, termasuk Presiden Amerika Serikat Joe Biden, akan mencoba menyelaraskan kebijakan mereka satu sama lain. Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa tidak semua negara anggota G7 memiliki pemahaman dan kebijakan yang sama terhadap Rusia dan China.
Baca juga : Sanksi untuk Rusia : Dari Kucing Sampai Tchaikovsky
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan, fokus para pemimpin G7 nantinya adalah pengetatan rezim sanksi yang telah dijatuhkan sejak Rusia menginvasi Ukraina, 24 Februari tahun lalu.
”Akan ada diskusi tentang keadaan sanksi dan langkah-langkah yang akan dilakukan bersama oleh G7 untuk memastikan sanksi itu efektif. Pernyataan G7 akan berpusat pada masalah penegakannya,” kata Sullivan.

Presiden Amerika Serikat berjalan menuruni tangga pesawat kepresidenan AS, Air Force One yang mendarat di Iwakuni, Pangkalan Udara Korps Marinir AS di Jepang pada Kamis (18/5/2023).
Berdasarkan statistik, sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap Rusia telah mengakibatkan ekonomi Rusia terkontraksi 1,9 persen lagi pada kuartal terakhir tahun 2022. Pembatasan harga minyak Rusia, menurut Badan Energi Internasional, telah mengurangi pendapatan minyak Rusia sebesar 43 persen.
Meskipun Barat telah menerapkan sanksi itu, masih banyak negara enggan bekerja sama dengan mereka, termasuk untuk memperberat efek sanksi tersebut. Maria Snegovaya, pakar Rusia di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) Washington, mengatakan, yang ingin diupayakan para pemimpin G7 kali ini adalah kerja sama dan keselarasan tindakan dari negara berkembang, Global South, yang tidak selaras dengan kepentingan negara-negara maju dalam penerapan sanksi atas Rusia.
Baca juga : Tujuh Salah Kaprah tentang Sanksi Ekonomi
Istilah Global South mengacu pada negara-negara berkembang, banyak di antaranya berada di belahan bumi selatan, salah satunya adalah India. India, anggota aliansi militer Quad, bersikap berbeda dengan AS terkait isu Rusia.
Dikutip dari laman The Economist, PM Kisihida dan sejumlah diplomat Jepang telah melakukan pertemuan dengan banyak diplomat dari beberapa negara yang disebut sebagai Global South, seperti Mesir, Ghana, India, Kenya, Mozambik, dan Singapura. Sementara Menteri Luar Negeri Jepang Hayashi Yoshimasa memusatkan perjalanannya ke sejumlah negara di Amerika Latin.

Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak memperlihatkan kaos kaki yang dikenakannya kepada Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida saat mereka bertemu di Hiroshima, Kamis (18/5/2023). Pada kedua kaos kaki berwarna merah itu terdapat nama tim baseball favorit PM Kishida, Hiroshima Toyo Carp.
Kishida mengatakan, di tengah invasi Rusia ke Ukraina, sejumlah negara berkembang menghadapi kesulitan besar. Invasi Rusia ke Ukraina telah berdampak pada kenaikan harga energi global dan kenaikan harga sejumlah bahan pangan, terutama gandum dan produk biji-bijian. Produk gandum dan biji-bijian Ukraina adalah salah satu penopang utama kebutuhan dunia, terutama di negara-negara Afrika dan sejumlah negara Asia.
Antisipasi China
Isu lain yang juga bakal ”panas” adalah harapan agar para pemimpin G7 menghasilkan kebijakan yang selaras untuk membendung China, baik dalam bidang ekonomi maupun teritorial.
Washington telah mengambil pendekatan agresif, memblokir akses China ke semikonduktor paling canggih dan peralatan untuk membuatnya. Washington menekan Belanda dan Jepang untuk mengikuti AS.
Akan tetapi, tak semua anggota G7 sepakat dengan tindakan Washington. Pemerintah Jerman dan Perancis memiliki pendekatan yang berbeda dengan Washingon. Kedua negara itu ingin memastikan kebijakan yang diambil bisa menghambat China, tetapi bukan berarti putusnya hubungan dengan China. Bagi mereka, pasar China tetaplah sangat menggiurkan.
”G7 ini bukan G7 anti-China. Kami memiliki pesan positif untuk China, yaitu kami siap bekerja sama dengan syarat kami bernegosiasi bersama,” kata seorang penasihat kepresidenan Perancis.

Dikutip dari The Economist, seorang pejabat dan diplomat Jepang mengatakan bahwa negara-negara Barat harus menyadari bahwa mereka sudah tertinggal cukup jauh dari China. Di era 1980-an, PDB global memang didominasi oleh negara-negara maju. Akan tetapi, hal itu sudah tergerus oleh kemajuan China saat ini dan sejumlah negara berkembang.
Baca juga : China Sodorkan Modernisasi "Tandingan" Barat
Seorang diplomat Jepang menilai, negara-negara Barat gagal meyakinkan banyak negara miskin dan berkembang tentang manfaat relasi ekonomi mereka. Diplomat itu juga menyebut banyak keluhan yang disampaikan pejabat dari negara Global South soal relasi ini, khususnya dengan Washington, seperti kurangnya insentif dalam kebijakan perdagangan AS; kurangnya rasa hormat dalam diplomasi AS terhadap sistem politik negara tujuan.
”Mereka khawatir elite penguasa di banyak negara berkembang mulai lebih suka berurusan dengan China, yang menawarkan lebih banyak stabilitas, lebih banyak jalan dan jembatan, dan lebih sedikit kuliah (indoktrinasi ideologi). Demokrasi liberal telah terbukti sebagai seruan yang buruk,” kata seorang diplomat Jepang.
Baca juga : Terlepas Sanksi Barat, India Membeli Minyak dari Rusia
Seiring itu, mencuatnya China juga menarik ”hawa panas” ke wilayah Indo-Pasifik. Invasi Rusia ke Ukraina memicu kekhawatiran bahwa China sewaktu-waktu bisa mencaplok Taiwan. Di sisi lain, rebutan pengaruh di kawasan antara AS-Sekutu dan China juga menguat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F11%2F891cf132-039b-4c9f-92cb-4033cdfea97c_jpg.jpg)
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memberikan tambahan keterangan kepada wartawan saat mendampingi Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait hasil pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (11/5/2023).
Indonesia
Indonesia menjadi salah satu negara yang berulang kali mengingatkan agar kawasan Indo-Pasifik tidak menjadi panggung pertunjukan rivalitas kekuatan besar. Kecenderungan ini dibaca oleh Indonesia ketika satu per satu aliansi militer mini muncul di Indo-Pasifik, mulai dari Quad hingga AUKUS.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi kembali mengingatkan soal ini. ”ASEAN tidak ingin melihat Indo-Pasifik menjadi teater rivalitas kekuatan besar. Oleh karena itu, kita semua harus bekerja sama untuk memastikan kawasan Indo-Pasifik yang damai dan sejahtera, termasuk upaya melalui forum ini,” kata Retno dalam Forum Menteri Indo-Pasifik Uni Eropa di Swedia, Sabtu pekan lalu.
Baca juga : Negara-negara G-7 Tandingi Proyek Infrastruktur China
Retno mengatakan, ASEAN terbuka untuk bekerja sama dengan semua negara tanpa kecuali. ASEAN, tegas Retno, mengedepankan sikap inklusif. Semua pihak yang ingin bekerja sama harus memegang prinsip penghormatan terhadap hukum internasional dan pengadopsian paradigma kolaborasi (Kompas.id, 14 Mei 2023).
”Saya tegaskan kembali mengenai inklusivitas ini yang berarti terbuka untuk semua negara. Indo-Pasifik terlalu besar untuk hanya dikelola dan dinikmati segelintir negara. Jangan sampai pula Indo-Pasifik menjadi proksi kekuatan tertentu,” kata Retno.
(AP/AFP/Reuters)