Oposisi Bisa Menangi Suara Rakyat Thailand, Belum Tentu Duduki Kursi PM
Sebagian rakyat Thailand menginginkan perubahan dalam politik negeri mereka dari hasil pemilu. Dukungan terhadap oposisi memberikan peluang untuk itu. Akan tetapi, pertarungan sebenarnya ada di parlemen.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
BANGKOK, SABTU — Oposisi dan para pemilih muda yang menginginkan perubahan dalam pemerintahan dan politik Thailand memiliki peluang untuk memenangi pemilu, Minggu (14/5/2023). Namun, keunggulan dalam pengumpulan suara—jika terwujud—belum bisa diartikan mereka akan menduduki kursi perdana menteri.
Ketidakpuasan terhadap kepemimpinan militer, khususnya Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-ocha yang telah berkuasa selama dua periode, semakin meluas jelang pemilihan. Sebagian karena masalah ekonomi dinilai tak berkembang positif, sebagian terkait langkah pemerintah semasa pandemi Covid-19.
Pinkaew Laungaramsri, profesor antropologi di Universitas Chiang Mai, menilai rakyat Thailand menginginkan perubahan karena pemerintahan militer yang otoriter dinilai sudah cukup lama berkuasa. Mereka menginginkan perubahan.
Seorang warga, Mok (30), dikutip laman media Inggris, Guardian, mengatakan, dirinya ingin ada perubahan yang dihasilkan dari pemilu kali ini, terutama agar para jenderal berhenti mengurusi politik negara. Mok mengalami dua kudeta di Thailand sejak tahun 2006. ”Setiap kali itu terjadi (kudeta militer), Thailand stagnan. Militer harus berada di barak,” katanya.
Napasit Tonsiedee (23), warga lainnya, berharap pemerintahan militer berakhir pada pemilu kali ini karena aturan-aturan yang mereka buat tidak memberikan pilihan kepada anak-anak muda untuk memiliki kebebasan, khususnya dengan wajib militer. Dia berharap ada perubahan dalam program wajib militer pada pemerintahan yang akan datang.
Keinginan untuk melihat perubahan terlihat dalam beberapa jajak pendapat. Nama sejumlah politisi sipil lebih banyak mendapat dukungan. Sementara nama dua jenderal yang ikut serta dalam pemilihan kali ini, yaitu petahana Prayuth dan Prawit Wongsuwan, sedikit atau sama sekali tak mendapat dukungan pada jajak pendapat.
Dikutip dari laman Thai PBS, hasil jajak pendapat National Institute of Development Administration (NIDA) menempatkan pemimpin Partai Melangkah Maju, Pita Limjaroenrat, sebagai kandidat dengan dukungan tertinggi, yakni 35,44 persen. Di posisi berikut adalah pemimpin partai Pheu Thai, Paetongtarn Shinawatra, yang mendapat dukungan 29,20 persen responden.
Prayuth masih mendapat dukungan cukup besar, yaitu 14,84 persen. Sementara dukungan kepada Prawit tidak terlihat sama sekali pada jajak pendapat yang diikuti 2.500 responden itu.
Partai-partai oposisi yang bertekad mengendalikan perilaku militer mendapat dukungan besar dalam berbagai jajak pendapat. Namun, melontarkan kebijakan yang mengancam status quo membuat waspada para penguasa konservatif. Militer dan para pendukungnya telah berkali-kali menunjukkan dirinya mampu menjatuhkan pemerintah yang dipilih rakyat yang tidak mereka sukai melalui putusan di pengadilan dan kudeta militer.
Rendahnya dukungan terhadap para mantan jenderal membuat banyak pihak khawatir atas kemungkinan terulangnya kembali kudeta tahun 2014, yang kala itu dipimpin Prayuth. Merespons kekhawatiran tersebut, Panglima Angkatan Bersenjata Thailand Jenderal Narongpan Jitkaewthae, Kamis (11/5/2023), menyatakan militer tidak akan turut campur dalam pemilu ini.
”Tak boleh ada (kudeta) lagi. Bagi saya, kata ini harus dihapus dari kamus,” katanya. Dia menambahkan, kudeta di masa lalu dinilai sangat negatif.
Pertarungan di parlemen
Pheu Thai dan Partai Melangkah Maju dianggap memiliki agenda politik yang sama. Akan tetapi, Partai Melangkah Maju pimpinan Pita dianggap lebih revolusioner dan bahkan dianggap radikal, yaitu reformasi militer dan reformasi monarki.
Thitinan Pongsudhirak, profesor di Universitas Chulalongkorn Bangkok, menilai, bila di negara lain agenda politik Partai Melangkah Maju dianggap progresif, di Thailand agenda itu dianggap revolusioner. Bahkan, partai itu menyentuh hal sakral, yaitu monarki Thailand.
”Menyentuh monarki adalah hal tabu di Thailand,” kata Thitinan, yang dikutip CNN. Dia menilai, pesan kuat yang disampaikan Pheu Thai dan Partai Melangkah Maju menghadirkan serangan frontal penuh terhadap lembaga konservatif.
Pinkaew mengingatkan, pemilihan kali ini mencerminkan harapan rakyat untuk melihat perubahan dalam politik Thailand. Akan tetapi, menurut dia, semakin besar harapan perubahan ini didorong, semakin gugup kelompok konservatif untuk terus menggenggam kekuasaan yang sudah mereka pegang selama beberapa periode.
Salah satu caranya adalah melalui parlemen. Konstitusi yang disahkan pada tahun 2017 memberi kewenangan bagi militer untuk menunjuk 250 wakil mereka di Majelis Tinggi atau Senat. Konstitusi itu menyatakan, perdana menteri dipilih melalui pemungutan suara oleh 500 anggota Majelis Rendah dan Senat. Secara otomatis, dengan komposisi itu, militer akan memiliki peran besar pada penentuan pemimpin pemerintahan hasil pemilu mendatang.
Thitinan menyebutkan, meski partai oposisi memimpin perolehan dukungan pada jajak pendapat atau bahkan pada pemungutan suara nanti, posisi para eks jenderal ini tidak bisa dipandang remeh. ”Jumlah (dukungannya) mungkin tidak tinggi, tetapi dia akan memanfaatkan Senat untuk menjadi PM terlebih dulu,” ujarnya. (AP/AFP/REUTERS)