”Darah Muda” Bertarung di Pemilu Thailand
Pemilu Thailand 14 Mei mendatang akan menarik karena sejumlah kandidat berdarah muda akan bertarung dengan kandidat senior, termasuk petahana. Kandidat muda menjanjikan perubahan dan menuju masa depan yang demokratis.
BANGKOK, SENIN — Kandidat-kandidat perdana menteri Thailand yang berdarah muda seperti Pita Limjaroenrat dari Partai Melangkah Maju dan Paetongtarn Shinawatra dari partai oposisi Pheu Thai akan bersaing ketat dalam pemilihan umum 14 Mei mendatang.
Partai oposisi utama Thailand, Pheu Thai, juga yang sampai sekarang masih unggul atas saingan politiknya, termasuk partai berkuasa, Partai Persatuan Bangsa Thailand yang dipimpin Perdana Menteri (PM) petahana, Prayut Chan-o-cha.
Pemilu Thailand mendatang akan menjadi pertarungan antara kelompok pro kemapanan dari koalisi yang didukung militer yang berkuasa dan kubu pro demokrasi dari partai-partai oposisi. Pemilu akan digelar pada 14 Mei 2023.
Baca juga: Politik Dinasti Cengkeram Thailand
Hasil jajak pendapat nasional terbaru, Jajak Pendapat Suan Dusit, yang dilakukan pada 10-20 April dan dirilis Sabtu lalu dan dipublikasikan Bloomberg, Minggu (30/4/2023), menunjukkan Pheu Thai mendapatkan dukungan 41,37 persen dari sekitar 162.000 pemilih yang memenuhi syarat yang disurvei. Pheu Thai merupakan partai yang sejak lama berafiliasi dengan mantan PM Thaksin Shinawatra.
Partai Melangkah Maju yang mengusulkan sejumlah kebijakan progresif dan berpikiran reformatif berada di urutan kedua dengan dukungan 19,32 persen. Adapun Partai Persatuan Bangsa Thailand sebagai kendaraan politik Prayut mendapat 8,48 persen dukungan. Partai Palang Pracharath yang dipimpin Wakil PM, Prawit Wongsuwan, mendapatkan 7,49 persen dukungan.
Padahal, untuk merayu sekitar 52 juta pemilih, partai-partai yang besar sudah menjanjikan paket pemberian uang tunai, upah minimum yang lebih tinggi, dan penangguhan pembayaran utang. Namun, mereka belum berhasil menarik dukungan lebih banyak.
Dalam survei lain yang dilakukan harian berbahasa Thailand, Matichon, dan Daily News, yang juga dirilis Sabtu lalu, menunjukkan, Pita Limjaroenrat (42) menjadi pilihan favorit sebagai PM dengan dukungan 49,17 persen.
Berikutnya adalah Paetongtarn Shinawatra, putri bungsu Thaksin, dengan dukungan 19,59 persen. Sementara Srettha Thavisin memperoleh 15,54 persen dukungan. Jajak pendapat yang dilakukan secara virtual ini diikuti 78.000 responden pada 22 dan 28 April.
Popularitas Prayut (69) dan Prawit, keduanya pensiunan jenderal, terus tertinggal di belakang kandidat PM dari kubu oposisi yang relatif berusia muda. Prayut menerima 6,52 persen dukungan, sedangkan Prawit hanya 2,35 persen responden.
Keduanya perlu mengamankan minimal 25 kursi jika mau menjadi perdana menteri. Ada kekhawatiran keduanya tetap berpeluang besar untuk berkuasa karena memiliki ”teman-teman” yang duduk di posisi penting di pemerintahan.
Jika keduanya gagal berkuasa, dikhawatirkan akan kembali terjadi kudeta atau kasusnya diputuskan di pengadilan. Dua pemerintahan yang didukung Pheu Thai pernah digulingkan dua kali melalui kudeta militer, yakni pada 2006 dan 2014.
Kelompok oposisi Thailand, kata Pita, sebisa mungkin harus tetap bersatu agar bisa menyingkirkan militer dari politik dan membentuk pemerintahan setelah pemilu. Pita yang partai progresifnya ini populer di kalangan anak muda melihat pentingnya aliansi dengan Pheu Thai demi mengalahkan Prayut.
Prayut pertama kali merebut kekuasaan melalui kudeta 2014 dan tetap menjadi PM setelah pemilihan umum terakhir pada 2019. ”Sangat jelas bahwa oposisi saat ini adalah jawaban yang tepat untuk tantangan yang dihadapi Thailand, bukan partai yang didukung militer yang melakukan kudeta,” kata Pita.
Baca juga: Perubahan Sejati di Thailand
Partai Melangkah Maju memiliki basis yang kuat di kalangan pemilih perkotaan, termasuk mereka yang bergabung dengan gerakan protes yang dipimpin anak muda dan menantang Prayut pada 2020. Aliansi dengan Pheu Thai yang didukung kelas pekerja dan petani di pedesaan itu dinilai penting, begitu pula dengan partai-partai pro demokrasi lainnya.
Ini semua demi melawan pengaruh kuat dari Senat atau majelis tinggi yang memiliki 250 kursi menentukan. Senat inilah yang akan memilih PM berikutnya bersama dengan 500 kursi yang ada di majelis rendah.
”Jika majelis rendah dipenuhi dengan mereka dari pro demokrasi, kita akan bisa menghilangkan konflik politik majelis tinggi versus majelis rendah. Saya yakin akan bisa terjadi perubahan besar di Thailand,” kata Pita. (REUTERS)