Thailand, Antara Politik Dinasti dan Bayang-bayang Kudeta Militer
Thailand adalah cerita panjang tentang suksesi politik yang bolak-balik diwarnai dengan kudeta militer. Ini tak lepas dari kepemimpinan sipil nasional yang masih didominasi politik dinasti.
Pemilihan umum Thailand sedianya digelar pada 14 Mei 2023. Dari sejumlah kandidat, dua nama teratas bersaing, yaitu Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha selaku petahana dan Paetongtarn Shinawatra, putri bungsu mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.
Tampaknya, negeri yang indah itu masih terjebak pada dominasi politik dinasti. Dan di sepanjang perjalanannya, bayang-bayang kudeta militer barangkali masih akan selalu membayangi.
Dua hasil jajak pendapat terakhir memperlihatkan keunggulan Paetongtarn Shinawatra untuk meraih dukungan dari para pemilik suara pada pemilihan umum Thailand yang dijadwalkan akan berlangsung 14 Mei mendatang.
Hasil survei tiga bulanan yang dilakukan oleh Institut Nasional Pengembangan Administrasi Pemerintahan yang dirilis pada Minggu (19/3/2023), dikutip dari laman The Straits Times, memperlihatkan Paetongtarn mendapat dukungan 38,2 persen dari 2.000 responden survei untuk memimpin Thailand.
Angka ini naik sekitar 4 persen dari survei yang dilakukan oleh lembaga yang sama, Desember lalu. Kandidat lainnya, petahana, Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-ocha, tertinggal cukup jauh. Angka dukungannya kurang dari separuh angka yang diperoleh Paetongtarn.
Prayuth, mantan jenderal, hanya meraih 15,7 persen dukungan dari sekitar 2.000 responden dalam survei tersebut. Angka ini naik dari survei pada Desember 2022. Saat itu, Prayuth yang memimpin kudeta militer pada 2024 meraih 14 persen.
Hasil survei Institut Nasional Pengembangan Administrasi Pemerintahan kurang lebih linier dengan hasil survei yang dilakukan lembaga lain. Salah satunya adalah Super Poll yang menggelar survei pada 17-18 Februari 2023.
Hasil survei Super Poll juga menempatkan Paetongtarn di atas Prayuth, yakni 28,5 persen berbanding 25,7 persen. Bedanya, Institut Nasional Pengembangan Administrasi Pemerintahan menunjukkan jarak dukungan di antara kedua kandidat semakin jauh. Sementara survei Super Poll menunjukkan jarak makin rapat.
Masih merujuk survei Super Poll, dua calon lainnya, yakni Prawit Wongsuwon yang saat ini menjabat sebagai wakil perdana menteri hanya memperoleh dukungan dari 2,7 persen responden. Kuda hitam yang harus diwaspadai oleh Paetongtarn dan Prayuth adalah Menteri Kesehatan Anutin Charnvirakul yang didukung Partai Bhumjaithai. Dia mendapat dukungan dari 21,2 persen responden.
Kedua survei di atas tidak menjelaskan lebih lanjut soal usia pemilik suara pada pemilu nanti. Akan tetapi, berdasarkan penelitian Assumption University, hampir 90 persen pemilih yang berusia 18-26 tahun yang berjumlah sekitar 7,67 juta orang atau sekitar 15 persen dari pemilih menghendaki perubahan kepemimpinan.
Napon Japusripitak, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura, mengatakan, pemilu Mei nanti akan sangat menentukan apakah demokrasi Thailand akan terus didominasi oleh rezim militer atau menghasilkan pemimpin baru yang tidak terikat oleh rezim militer. ”Thailand berada di titik kritis,” katanya.
Hasil survei di atas mengonfirmasi banyak penilaian analis bahwa pemilu Thailand kali ini adalah pertarungan dua kelompok, yaitu kelompok muda yang menginginkan perubahan melawan kelompok tua dan konservatif yang menginginkan kelompoknya tetap memegang kekuasaan. Dua kandidat teratas, yaitu Paetongtarn dan Prayuth, mewakili dua kelompok yang mungkin saling berhadapan.
Paetongtarn, kandidat kuat PM Thailand, baru berusia 36 tahun. Seperti halnya anak- anak muda yang melek dengan dunia digital dan media sosial, dia memiliki banyak pengikut di berbagai platform media sosialnya. Salah satunya di Instagram, dengan jumlah pengikut lebih dari setengah juta orang.
Paetongtarn adalah bungsu dari tiga bersaudara mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra yang digulingkan militer Thailand pada 2006. Menjalani hidup glamor, Paetongtarn muda menikmati kekayaan ayahnya yang besar di bisnis telekomunikasi.
Kekayaan keluarga Shinawatra, menurut Forbes, mendekati 2 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 300 triliun. Sebagai bungsu, Paetongtarn menggambarkan dirinya masih sebagai ”daddy’s little girl” atau gadis kecil ayah. Ini untuk menggambarkan kedekatannya dengan Thaksin.
Secara teratur, Thaksin muncul dalam unggahan media sosial milik putrinya itu. Foto lama yang memperlihatkan Thaksin sedang menggendong Paetongtarn semasa bayi atau berpose dengan putrinya yang tengah menyantap semangkuk mi, mendapat respons positif dari para pengikutnya.
Ini adalah sentimen yang membuat dia disayangi oleh banyak pendukungnya. Banyak di antara pendukung yang dulu membawa Thaksin memenangi pemilu pada 2001 dan 2005 adalah masyarakat miskin dan tinggal di pedesaan.
”Kami membutuhkanmu. Kami merindukan ayahmu,” kata seorang pendukungnya, berucap kepadanya saat berkampanye dalam pemilihan lokal di Bangkok, Mei 2022.
Kerinduan terhadap keluarganya dan hal-hal yang belum tuntas saat ayahnya berkuasa menjadi sentimen yang digunakan Paetongtarn setiap kali bertemu dengan para pendukungnya. Selain sang ayah, Thaksin, bibinya, Yingluck Shinawatra, juga sempat berkuasa pada 2011-2014.
Begitu juga dengan kakak ipar Thaksin, Somchai Wongsawat, yang sempat menjabat sebagai PM Thailand selama dua bulan, 18 September 2008- 2 Desember 2008. Ia lengser oleh keputusan pengadilan yang membubarkan Partai Kekuatan Rakyat, nama gerakan politik Thaksin pada saat itu.
Trah Shinawatra dalam tubuh Paetongtarn membuatnya menjanjikan kepada pendukungnya dan para calon pemilih bahwa dia akan menyelesaikan urusan yang belum selesai saat keluarganya berkuasa. Dia menggunakan kata ”kami”, mempertegas ikatannya, tidak hanya darah, tetapi juga program kerja yang akan dikerjakannya jika menang dan terpilih sebagai perdana menteri nanti.
”Kami berhasil memperbaiki semuanya pada tahun pertama, tetapi kemudian empat tahun kemudian kami digulingkan oleh kudeta. Jadi, ada hal-hal yang belum kami capai,” kata Paetongtarn.
Dalam setiap pertemuan dengan para pendukungnya, Paetongtarn mengatakan, ”trah Shinawatra” bisa mengubah kondisi kehidupan rakyat Thailand jika mereka berkuasa kelak seperti yang pernah dilakukan pendahulunya. Dalam setiap pertemuan, ia menawarkan resep lama yang dikampanyekan oleh ayahnya.
Resep itu antara lain adalah menjanjikan kenaikan upah minimum tenaga kerja, subsidi kepada masyarakat miskin, pembangunan infrastruktur kereta berkecepatan tinggi yang telah lama dijanjikan, serta pengelolaan banjir dan kekeringan.
”Kita dapat mengubah Thailand dari negara yang penuh dengan utang, penuh dengan kesengsaraan, tanpa masa depan, menjadi negara yang penuh dengan peluang dan harapan bagi kita dan generasi mendatang,” katanya kepada AFP dalam konferensi partai bulan lalu.
"Kita dapat mengubah Thailand dari negara yang penuh dengan utang, penuh dengan kesengsaraan, tanpa masa depan, menjadi negara yang penuh dengan peluang dan harapan bagi kita dan generasi mendatang," katanya.
Data Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial (NESDC), dikutip dari media PBS Thailand, perlambatan pada kuartal ke empat tahun lalu menyebabkan ekonomi Thailand hanya tubuh 2,6 persen pada tahun 2022. Angka ini di bawah perkiraan sebesar 3,2 persen.
Perekonomian Thailand tumbuh yanya 1,5 persen pada tahun 2021, berjalan tertatih dalam proses pemulihan pasca Covid-19. Meski begitu, ekspor Thailand pada tahun 2022 tumbuh 5,5 persen dengan nominal 287,1 miliar dolar Amerika Serikat.
NESDC telah merevisi perkiraan pertumbuhan PDB untuk tahun 2023 menjadi 3,2 persen dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,5 persen, atau kisaran 3 hingga 4 persen. NESDC juga memerkirakan ekspor Thailand akan terkontraksi 1,6 persen pada tahun ini karena perlambatan ekonomi global.
Mereka berharap sektor pariwisata akan pulih dengan menaikkan target kedatangan turis mancanegara dari 23 juta menjadi 28 juta pengunjung tahun 2023, terutama setelah China membuka keran bagi warganya untuk bepergian ke luar negeri.
Sektor pariwisata menyumbang 12 persen dari total PDB Thailand dan sekitar 20 persen tenaga kerja negara ini berada dalam sektor ini.
Jenderal Tua
Termsak Chalermpalanupap, peneliti tamu di ISEAS Yusof Isak Institute SIngapura mengatakan, dominasi politik tiga mantan panglima militer Thailand, yaitu Prayut, Prawit dan satu lagi Menteri Dalam Negeri Jenderal Anupong Paojinda, dinilainya akan segera berakhir. Ketiganya tidak sesolid di masa lalu ketika sama-sama saling mendukung pengambilalihan pemerintahan sipil.
Meski Prawit menyebut Prayuth sebagai muridnya, jejak perpecahan itu sudah ada ketika Prayuth memilih meninggalkan Partai Palang Pracharat (PRPP) dan bergabung dengan United Thai Nation (UTN). Prawit secara tegas menyatakan tidak akan lagi mendukung Prayuth, melainkan mengajukan dirinya sebagai calon perdana menteri.
Tiga serangkai, yaitu Prayuth, Prawit dan Anupong muncul ketika ketiganya mendorong kudeta pemerintahan tahun 2014. Meski menyebut tindakan itu sebagai konstitusional, karena Yingluck dijatuhkan setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan pemerintahannya melakukan penyalahgunaan kekuasaan, militer maju dan mengambil alih pemerintahan alih-alih membiarkan sipil melaksanakan pemilihan umum yang baru untuk mencari pengganti Yingluck.
Tiga jenderal mendirikan Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO) sebagai pengganti pemerintahan sipil. Prayuth sebagai kepala junta dan Prawit sebagai wakil ketua. Di bawah kendali militer, partai politik dilarang melaksanakan kegiatan politik apapun, para pengritik dan pemimpin demonstrasi ditangkap.
Perannya dalam kudeta membawa Prayuth kemudian diganjar jabatan sebagai perdana menteri dan Prawit sebagai wakil PM. Sedangkan diganjar posisi sebagai mendagri.
Meski sudah menjabat selama dua periode, menurut Chalermpalanupap, Prayuth merasa dia masih memiliki beberapa urusan penting yang belum tuntas, termasuk menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik bagi rakyat. (AFP/MHD)