Rakyat tidak menyukai Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha. Pertanyaannya, akankah ia benar-benar mundur ketika masa jabatannya selesai?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
BANGKOK, SENIN – Jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa masyarakat Thailand tidak pusa dengan kinerja perdana menteri mereka, Prayuth Chan-o-cha. Bahkan, mayoritas responden menginginkan agar jenderal purnawirawan ini segera mengundurkan diri sebelum masa jabatannya habis. Akan tetapi, amandemen undang-undang dasar Thailand diperkirakan mempersulit kemungkinan mengusir Prayut dari posisi sebagai kepala pemerintahan.
Dilansir dari media Thaiger, jajak pendapat dilakukan oleh Institut Nasional Administrasi Pembangunan Thailand (NIDA) pada periode 2-4 Agustus 2022. Hasilnya dikeluarkan pada Senin (8/8/2022). Mereka menyurvei 1.312 warga Thailand berusia di atas 18 tahun dengan berbagai latar belakang, sosial, ekonomi, pendidikan, dan agama.
Terungkap, 64 persen responden tidak menyukai kinerja Prayuth. Selain pembungkaman demokrasi, ia juga dinilai tidak cakap dalam menangani pandemi Covid-19. Perekonomian Thailand sangat tergantung dari sektor pariwisata yang mati suri selama pandemi. Akibatnya, banyak usaha pariwisata dan turunannya gulung tikar.
Survey turut menanyakan kepada responden pendapat mereka tentang dua jenderal purnawirawan yang sangat berpengaruh di pemerintahan Thailand selain Prayuth. Mereka adalah Prawit Wongsuwan dan Anupong Pachinda. Jawabannya, 80 responden mengatakan tidak sudi menjadikan mereka perdana menteri.
Dilema UU
Prayuth akan mengakhiri masa jabatan per tanggal 24 Agustus. Ia sudah menjabat sebagai perdana menteri sebanyak dua kali, artinya ia sudah berkuasa selama delapan tahun. Undang-undang dasar Thailand aslinya menyatakan bahwa perdana menteri hanya diizinkan menjabat dua kali berturut-turut.
Akan tetapi, pada tahun 2017, militer Thailand mengamandemen UUD. Ada argumen yang mengatakan bahwa apabila dihitung dari 2017, ini baru masa jabatan pertama Prayuth. Hal ini memungkinkan ia untuk maju kembali mencalonkan diri sebagai perdana menteri dalam pemilihan umum tahun 2023.
Prayuth sendiri menanggapi kontroversi ini secara diplomatis. “Saya serahkan semuanya kepada mahkamah konstitusi. Biarlah mereka yang memutuskan saya masih bisa maju atau tidak,” tuturnya seperti dikutip oleh surat kabar Nation Thailand.
Pemerintahan Prayuth diprotes keras oleh rakyat sejak tahun 2020. Di bawah kontraksi ekonomi akibat Covid-19, mahasiswa berunjuk rasa. Mereka mengajukan ketidaksetujuan atas perubahan UUD tahun 2017 yang memberi kekuasaan mutlak kepada junta militer.
Demonstrasi ini melebar menjadi desakan kepada pemerintah untuk tidak membungkam rakyat dan juga reformasi Monarki Thailand. Raja Thailand sekarang, Vajiralongkorn, tidak dekat maupun dihormati rakyat seperti ayahnya, mendiang Raja Bhumibol.
Menanggapi sentimen rakyat, mulai ada beberapa politikus yang memberanikan diri mencalonkan diri sebagai pengganti Prayuth. Salah satunya adalah Anutin Charnvirakul. Ia saat ini menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Thailand sekaligus Menteri Kesehatan. “Jika rakyat berkenan, saya bersedia maju untuk mengambil alih tanggung jawab pemerintahan,” katanya kepada Thaiger.
Sementara itu, surat kabar South China Morning Post melaporkan, perdana menteri periode 2001-2006, Thaksin Shinawatra yang kini hidup di pengasingannya di Dubai mengutarakan keinginan untuk mengikuti pemilu 2023. Thaksin dimakzulkan dalam kudeta tahun 2006 oleh militer dan kepolisian dengan alasan korupsi dan kecurangan dalam pemilu. Ia dan partai politiknya dilarang berkiprah di Thailand. Akan tetapi, adiknya, Yingluck Shinawatra, menjadi perdana menteri periode 2011-2014 dengan wahana partai politik baru.
Thaksin dikabarkan hendak menggunakan partai Yingluck, yaitu Pheu Thai untuk terjun kembali ke kancah politik Thailand. Putri Thaksin, Paetongtarn Shinawatra dan mantan salah satu pemimpin gerakan kaos merah yang antipemerintahan Prayuth, Nattawut Saikua menjadi juru kampanye.