Mitigasi Krisis Iklim, Indonesia Rintis Jaringan Pemuda Asia Timur-Amerika Latin
Negara-negara FEALAC mayoritas adalah negara berkembang dengan masalah pembangunan yang kerap bertabrakan dengan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan berbagai organisasi kerja sama di kawasan kerap dipandang publik sebagai entitas yang hidup segan tetapi mati tidak mau. Menjawab pertanyaan mengenai keberlanjutan, signifikansi, dan relevansi itu, Forum Kerja Sama Asia Timur dan Amerika Latin atau FEALAC berusaha menjangkau para pemuda untuk terlibat dalam mitigasi krisis iklim.
Demikian dikemukakan Direktur Jenderal Urusan Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Umar Hadi dalam acara peluncuran program kepemudaan FEALAC 2023 di Jakarta, Jumat (12/5/2023). "Setiap negara peserta mengirim dua anak muda sebagai perwakilan untuk tidak sekadar berdiskusi, tetapi juga turun ke lapangan membahas berbagai persoalan lingkungan. Mereka akan membawa hasilnya ke tanah air masing-masing sebagai masukan untuk pemerintah," ujarnya.
Koordinator Kerja Sama Kawasan Kemenlu Moestika Moettaqaliman menjelaskan, FEALAC adalah organisasi tingkat menteri luar negeri untuk negara-negara di Asia Timur dan Amerika Latin. Indonesia merupakan salah satu koordinator untuk bidang kepemudaan FEALAC.
”Indonesia mengusulkan agar divisi pemuda ini harus proaktif dalam kerja sama kawasan. Apalagi, karena jarak geografis yang jauh, hubungan Asia dengan Amerika Latin selama ini susah sekali,” katanya.
Organisasi FEALAC lahir pada 1999, tetapi baru kali ini ada kegiatan yang khusus menyasar pemuda. Indonesia mengadakan Konferensi Pemuda FEALAC 2023 dengan tema ”Kontribusi bagi Aksi Iklim” pada 9-13 Juli di Bandung, Jawa Barat.
Menurut Moestika, ini adalah salah satu cara membuka jalan bagi program-program pemuda berikutnya. FEALAC memiliki 36 negara anggota dengan sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Beberapa di antaranya ialah Jepang, Kuba, Thailand, dan Suriname. Australia dan Selandia Baru juga turut serta di dalam program ini.
Oleh sebab itu, Indonesia mencari persoalan yang nyata dan dialami oleh semua negara peserta. Apalagi, negara-negara FEALAC mayoritas adalah negara berkembang dengan masalah pembangunan yang kerap bertabrakan dengan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat.
”Isu krisis iklim ini nyata dan nirpolitik. Generasi muda sangat tertarik membahas mengenai perekonomian sirkular dan pembangunan berkelanjutan,” kata Moestika.
Peserta program adalah anak-anak muda berumur 21-32 tahun. Mereka berstatus mahasiswa, profesional muda, pegawai negeri sipil, dan pegiat lembaga swadaya masyarakat. Jurnal ilmiah Nature pada Rabu (10/5/2023) menerbitkan makalah yang ditulis oleh Janis Whitlock, peneliti dari Yayasan Jed.
Whitlock menyurvei 10.000 anak muda berumur 16-25 tahun dari 10 negara. Sebanyak 59 persen responden mengatakan tertekan dengan krisis iklim. ”Mereka melihat tidak ada pembenahan kebijakan dan praktik mencegah kenaikan suhu Bumi sehingga anak-anak muda ini menyadari mereka akan mewarisi segala beban lingkungan rusak dan berbagai risiko bencana alam, bencana kemanusiaan, dan kemungkinan migrasi yang kian besar,” demikian kutipan makalah tersebut.
Suhu Bumi apabila bertambah 1,5 derajat celsius saja sebelum tahun 2030 akan menghasilkan bencana alam yang tidak bisa ditangani. Efek rumah kaca menghasilkan pemanasan global yang melelehkan katup-katup es sehingga suhu air laut naik dan debitnya membeludak. Pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir terancam tenggelam oleh banjir rob. Biota laut terancam punah yang berekor pada krisis pangan. Belum lagi cuaca ekstrem yang mengakibatkan kekeringan ataupun banjir.
Berkaca dari hal itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, ini menjadi landasan ia menawarkan Bandung sebagai lokasi konferensi sekaligus untuk ke depannya menjadi markas pemuda FEALAC. ”Hari Jumat ini saja, Jawa Barat kehilangan 700 hektar wilayah karena terendam air laut,” ungkapnya.
Ia menawarkan program susur Sungai Citarum yang pada tahun 2017 dijuluki sungai paling tercemar di dunia. Perkembangan pembersihan dan pembenahan Citarum, menurut Ridwan, relatif menggembirakan sehingga Pemerintah Provinsi Jabar diundang untuk berbicara di Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Ke-26 (COP 26) di Skotlandia pada 2021.
”Ada juga program bank sampah terbesar di Indonesia, yaitu Bank Sampah Bersinar, yang bisa menjadi contoh perekonomian sirkular berbasis akar rumput,” ujarnya.