Resolusi Iklim MU PBB Maju ke Mahkamah Internasional
Resolusi mengenai peningkatan upaya mitigasi krisis iklim oleh setiap negara anggota PBB diharapkan menjadi landasan dan acuan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
COURTESY OF ADRA VANUATU/SOCIAL MEDIA VIA REUTERS
Tangkapan layar dari video media sosial yang disebarluaskan oleh Adra Vanuatu dan Reuters ini memperlihatkan topan Harold di Luganville, Vanuatu, pada 6 April 2020.
NEW YORK, KAMIS — Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berhasil menelurkan resolusi mengenai mitigasi krisis iklim. Resolusi yang diperoleh melalui konsensus ini akan diajukan ke Mahkamah Internasional yang apabila disetujui akan menjadi dorongan bagi setiap negara anggota PBB untuk membenahi program-program mitigasi perubahan iklim masing-masing.
Resolusi itu berhasil digolkan pada Rabu (29/3/2023) malam waktu setempat atau Kamis (30/3/2023) pagi waktu Indonesia. Sebanyak 132 negara menandatangani resolusi dengan Vanuatu sebagai pemimpin.
Vanuatu adalah salah satu negara di Kepulauan Pasifik yang sejak 1990-an sangat aktif mengampanyekan mitigasi krisis iklim beserta keadilan iklim untuk negara-negara yang paling terdampak.
”Setiap negara sekarang harus melihat kembali ke dalam diri masing-masing dan memastikan upaya kita menangani krisis iklim memadai dan harus terus ditingkatkan,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Perdana Menteri Vanuatu Ishmael Kalsakau mengatakan, resolusi ini adalah kemenangan besar yang patut dibanggakan. Meskipun begitu, perjuangan belum selesai karena Mahkamah Internasional harus menyetujuinya sebelum bisa mendorong negara-negara lain agar mengikuti.
Keputusan Mahkamah Internasional sejatinya tidak mengikat. Akan tetapi, ini bisa mendorong negara-negara anggota PBB menjadikan resolusi ini sebagai acuan membuat kebijakan baru ataupun memutakhirkan kebijakan yang sudah ada terkait mitigasi krisis iklim.
REUTERS
Kawasan permukiman di Honiara, Kepulauan Solomon, seperti terlihat Juni lalu. Kepulauan Solomon adalah negara di kawasan Kepulauan Pasifik.
”Setiap kali ada bencana alam, negara-negara kecil seperti Vanuatu yang terkena dampak paling parah. Padahal, kami bukan penghasil emisi yang besar. Keadilan iklim harus ditegakkan. Ini masalah lintas negara dan tanggung jawab seluruh umat manusia,” tutur Kalsakau.
Vanuatu belakangan ini terkena dua kali bencana angin topan. Biaya penanganan bencana ditaksir mencapai setengah dari pendapatan domestik bruto mereka. Ini memukul ekonomi negara yang masih berusaha bangkit dari pandemi Covid-19.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi Ke-27 tentang Iklim (COP 27) di Mesir, November 2022, negara-negara menyepakati adanya dana ganti rugi. Ini merupakan uang yang harus dibayar oleh negara-negara maju selaku penghasil emisi terbesar di dunia kepada negara-negara kecil ataupun miskin yang paling menderita terkena bencana akibat perubahan iklim.
Pada Rabu, jurnal Nature menerbitkan hasil penelitian kecepatan lelehan es di Antartika. Perkiraannya, pada 2050, es di Antartika berkurang 40 persen akibat pemanasan global.
Air tawar dari lelehan es ini bercampur dengan air laut sehingga menurunkan kadar keasinan. Keseimbangan ekosistem bahari akan terganggu. Bahkan, sejumlah spesies biota laut bisa punah. Ini belum termasuk risiko banjir rob akibat penambahan volume air di lautan.
Kepunahan berbagai biota laut berdampak pada rantai makanan. Ujung-ujungnya, manusia akan kehilangan salah satu sumber pangan karena ada jenis-jenis ikan, udang, kepiting, ataupun makanan dari laut lainnya yang tiada.
AFP/GREG BAKER
Asap membubung dari pembangkit listrik tenaga batubara di Datong, Provinsi Shanxi, China, pada 19 November 2015. Presiden Xi Jinping mengumumkan pada 21 September 2021 bahwa China berhenti mendanai berbagai proyek batubara di luar negeri.
Amerika Serikat dan China yang merupakan dua negara penghasil emisi terbanyak menolak menandatangani resolusi walaupun mereka tidak menolak pembuatannya. Bersama dengan Arab Saudi dan Irak, mereka berusaha untuk meringankan beberapa pasal yang terkandung dalam resolusi.
Salah satunya ialah penurunan gas rumah kaca 65 persen pada 2030 menjadi 60 persen. Ini agar suhu Bumi tidak naik 1,5 derajat celsius.
Sebab, jika hal tersebut terjadi, kerusakan akibat pemanasan global bersama bencana yang menyertai diperkirakan tidak akan bisa ditangani. Sepertiga dari penduduk Bumi berisiko menjadi pengungsi akibat bencana iklim dan ini menambah beban semua negara di dunia.
China, dilansir dari laporan Buletin Negosiasi Bumi (ENB) yang dikutip oleh Bloomberg, sukses melobi perpanjangan target nir-emisi mereka. Apabila negara-negara industri maju sepakat untuk nirkarbon pada 2030, China menargetkan tercapai pada 2060. Alasannya, China sebagai negara berkembang baru mencapai puncak emisi pada sekitar 2030 sebelum nanti perlahan menurunkan.
Resolusi ini berasal dari kerja keras para mahasiswa Kepulauan Pasifik. Mereka tergabung dalam organisasi Pelajar Kepulauan Pasifik Melawan Perubahan Iklim (PISFCC). Ketua PISFCC Cynthia Houninhi dari Vanuatu menjelaskan kepada CNN, organisasi itu lahir dari kemarahan generasi muda di Pasifik karena negara mereka menjadi bulan-bulanan bencana iklim.
”Sekadar unjuk rasa tidak akan efektif, harus ada perubahan di sistem dunia beroperasi. Awalnya, kami di PISFCC ragu untuk maju ke PBB, apalagi ke Mahkamah Internasional. Ternyata, negara-negara di Pasifik mendukung kami sehingga yakin merumuskan naskah resolusi,” ujar Houninhi. (AP)