Perubahan Iklim terbukti Memperburuk Banjir dan Kekeringan Global
Intensitas banjir dan kekeringan yang meningkat secara global dinilai bukan karena anomali cuaca, tetapi tren yang disebabkan oleh pemanasan global.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mendung tebal menggelayut di kawasan selatan Jakarta sesaat sebelum hujan turun, Senin (23/12/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG memperkirakan sebagian besar wilayah Indonesia akan melewati perubahan cuaca ekstrem. Kondisi itu diprediksi berlangsung pada Desember 2019 hingga Januari 2020. Perubahan cuaca ekstrem ditengarai berlangsung pada siang hingga sore hari. Siklon Phanfone di Samudera Pasifik, timur Filipina, meningkatkan ekstremitas cuaca.
JAKARTA, KOMPAS — Intensitas kekeringan dan curah hujan ekstrem meningkat tajam secara global selama 20 tahun terakhir sehingga memicu gagal panen, kerusakan infrastruktur, dan banyak korban jiwa. Fenomena ini dinilai bukan karena anomali cuaca tapi tren akibat pemanasan global menguat beberapa dekade terakhir.
Tren peningkatan bencana terkait hidrologi ini dilaporkan di jurnal Nature Water pada Senin (13/3). Laporan ini ditulis Matthew Rodell dan Bailing Li, keduanya dari NASA Goddard Space Flight Center, Amerika Serikat.
Analisis data didapatkan dari sepasang satelit yang dikenal sebagai GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment), yang digunakan untuk mengukur perubahan penyimpanan air Bumi, meliputi jumlah semua air di dalam dan di darat, termasuk air tanah, permukaan air, es, dan salju.
”Distorsi siklus air, terutama yang ekstrem (kekeringan dan pluvial), akan menjadi salah satu konsekuensi perubahan iklim paling mencolok. Di sini kami menerapkan pendekatan baru dengan pengamatan penyimpanan air terestrial dari satelit GRACE dan GRACE-FO untuk menggambarkan dan mengarakterisasi 1.056 peristiwa ekstrem selama 2002–2021,” sebut Rodell dan Li dalam makalahnya.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Para pengendara sepeda motor menerobos hujan lebat di Jalan Tentara Pelajar, Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat (3/3/2023). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan potensi hujan lebat di wilayah DKI Jakarta pada periode 3-9 Maret 2023. BMKG juga mengimbau masyarakat agar tetap waspada dan berhati-hati terhadap potensi cuaca ekstrem dan dampak yang dapat ditimbulkan, seperti banjir, tanah longsor, genangan, angin kencang, dan pohon tumbang selama satu pekan ke depan.
Dua peneliti mengamati ribuan peristiwa kekeringan dan hujan ekstrem di dunia menggunakan algoritme baru yang mengidentifikasi di mana tanah jauh lebih basah atau lebih kering dari biasanya.
Analisis menunjukkan, hujan paling ekstrem terus terjadi di Afrika sub-Sahara, setidaknya hingga Desember 2021, di akhir pengumpulan data. Curah hujan ekstrem juga terjadi di Amerika Utara bagian tengah dan timur dari 2018-2021, serta Australia selama 2011-2012.
Sementara kekeringan paling intens yang memecahkan rekor terjadi di Amerika Selatan bagian timur laut dari 2015-2016. Kekeringan parah juga terjadi di Cerrado Brasil yang dimulai pada tahun 2019 dan kekeringan di Amerika Barat Daya yang memicu tingkat air amat rendah di dua waduk terbesar AS, yakni Danau Mead dan Danau Powell.
”Intensitas total peristiwa ekstrem berkorelasi kuat dengan suhu rata-rata global, lebih daripada El Niño Southern Oscillation atau indikator iklim lain, menunjukkan pemanasan planet yang berkelanjutan akan menyebabkan kekeringan dan banjir lebih sering, lebih parah, lebih lama, dan/atau lebih besar,” sebut Rodell dan Li.
Secara global, peneliti menemukan, kejadian kekeringan melebihi jumlah kejadian hujan lebat sebesar 10 persen. Luas geografis peristiwa tersebut dan berapa lama mereka bertahan serupa.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Lansekap lahan persawahan yang terendam banjir di Desa Wates, Undaan, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (2/3/2023). Sebagian lahan yang terendam banjir tersebut ditanami padi yang sudah memasuki masa panen. Banjir yang terjadi lebih dari sepekan ini telah merendam sawah seluas lebih dari 2.200 hektar di Kudus.
Atmosfer yang lebih hangat meningkatkan laju penguapan air selama periode kering. Di sisi lain, fenomena ini juga menampung lebih banyak uap air, yang memicu peristiwa hujan lebat.
Studi tersebut mencatat bahwa infrastruktur seperti bandara dan pabrik pengolahan limbah yang dirancang untuk menahan peristiwa sekali dalam 100 tahun menjadi lebih berisiko karena hal-hal ekstrem ini terjadi lebih sering dan dengan intensitas yang lebih besar.
Emisi gas rumah kaca
Matthew Rodell, yang diwawancara AFP, mengatakan, data menegaskan bahwa frekuensi dan intensitas curah hujan dan kekeringan meningkat akibat pembakaran bahan bakar fosil dan aktivitas manusia lainnya yang melepaskan gas rumah kaca.
”Saya terkejut melihat seberapa baik korelasi intensitas global dengan suhu rata-rata global,” katanya.
Kaitan kuat antara iklim ekstrem ini dan peningkatan suhu rata-rata global berarti pemanasan global yang berkelanjutan akan berarti lebih banyak kekeringan dan badai hujan yang lebih buruk dalam banyak hal, lebih sering, lebih parah, lebih lama, dan lebih besar.
AP/BRIAN INGANGA
Saito Ene Ruka (kanan) mengaku kehilangan 100 sapi karena kekeringan, sedangkan tetangganya, Kesoi Ole Tingoe (kiri), mengaku kehilangan 40 sapi. Tampak mereka berjalan melewati bangkai hewan di Desa Ilangeruani, dekat Danau Magadi, Kenya, Rabu , 9 November 2022. Kemarau berkepanjangan yang terjadi selama empat musim berturut-turut mengakibatkan efek yang mengerikan bagi manusia dan hewan, termasuk ternak.
Richard Seager, ilmuwan iklim di Observatorium Bumi Lamont Doherty di Universitas Columbia, yang tak terlibat riset ini, mengatakan, ”Melihat ke masa depan, dalam hal pengelolaan sumber daya air dan pengendalian banjir, kita harus mengantisipasi ekstrem basah akan makin basah dan ekstrem kering akan makin kerap terjadi.”
Seager mengatakan, adalah suatu kesalahan untuk berasumsi bahwa ekstrem basah dan kering di masa depan dapat dikelola sama seperti di masa lalu. Mengantisipasi ke depan, semuanya akan diperkuat di kedua ujung spektrum kering-basah.
Menurut Sistem Informasi Kekeringan Terintegrasi Nasional Amerika Serikat, 20 persen dari kerugian ekonomi tahunan akibat peristiwa cuaca ekstrem di AS berasal dari banjir dan kekeringan. Fenomena serupa dilaporkan di sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang beberapa tahun terakhir mengalami tren peningkatan bencana terkait hidrometerologi.
Melihat ke masa depan, dalam hal pengelolaan sumber daya air dan pengendalian banjir, kita harus mengantisipasi ekstrem basah akan makin basah dan ekstrem kering akan makin kerap terjadi.
Pergeseran drastis antara kekeringan ekstrem dan banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya—dijuluki ”pukulan cuaca”—menjadi hal biasa di berbagai belahan dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan, Somalia mengalami kekeringan terpanjang dan terparah yang menyebabkan kematian jutaan ternak dan meluasnya kelaparan.
Venezuela, negara yang telah menghadapi krisis politik dan ekonomi selama bertahun-tahun, melakukan pemadaman listrik nasional selama April 2016 sebagai akibat dari kondisi kekeringan yang memengaruhi ketinggian air Bendungan Guri.