Sebanyak 4.844 bank di AS sedang menghadapi persoalan yang sama, yakni salah satunya adalah penurunan nilai aset bank-bank akibat kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral AS atau Fed.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
Sedikitnya 190 bank di Amerika Serikat berpotensi bangkrut. Dari jumlah itu, kini 12 bank dipersepsikan dalam posisi terancam bangkrut, ditandai dengan kejatuhan tajam harga-harga sahamnya. Perdagangan saham dua bank di AS terpaksa dihentikan karena kejatuhan saham lebih 50 persen dalam sehari. Aksi para short seller turut memperkeruh situasi.
Dalam perkembangan terbaru, perdagangan saham PacWest dan Western Alliance dihentikan karena kejatuhan dramatis harga saham. Krisis perbankan di AS tampaknya belum berakhir walau otoritas AS telah menolong Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate, Signature, dan First Republic lewat penjaminan semua simpanan dan pencarian investor untuk membeli bank-bank bangkrut tersebut.
Masalahnya, akar kebangkrutan perbankan di AS sangat jauh dari selesai. Sebanyak 4.844 bank di AS sedang menghadapi persoalan yang sama, yakni salah satunya adalah penurunan nilai aset bank-bank karena kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral AS (Fed). Bank-bank di AS memiliki aset berupa obligasi dan surat utang lainnya. Nilai obligasi tersebut terancam menurun karena kenaikan suku bunga.
Nilai pasar obligasi dan surat utang tersebut tergantung pada pergerakan suku bunga. Jika suku bunga turun, nilai pasar obligasi naik. Namun, sebaliknya jika suku bunga naik, nilai pasar obligasi turun. Nilai aset perbankan AS sudah turun 2,2 triliun dollar AS karena kenaikan suku bunga sejak Maret 2022 walau belum terealisasikan dalam pembukuan.
Hal ini ditambah lagi dengan posisi pinjaman perbankan yang tidak berpotensi baik karena nasabah kreditor perbankan juga sedang terancam kebangkrutan.
Efek stimulus Covid-19
Penempatan dana-dana oleh perbankan ke dalam bentuk obligasi terbitan Pemerintah AS dan surat utang lainnya, seperti mortgage-backed securities (MBS), commercial mortgage-backed securities (CMBS), dan lainnya, berawal dari masuknya deposito besar-besaran ke sistem perbankan pada 2020. Ini hasil stimulus dari pemerintah AS dan penambahan uang beredar oleh Fed, diiringi penurunan suku bunga inti hingga menjadi nol persen.
Dua pertiga dari total 24 triliun dollar AS total aset perbankan ditempatkan ke dalam obligasi dan surat utang. Pada situs Federal Reserve St Louis, 31 Agustus 2021, Carl White, Wakil Presiden Senior untuk Bidang Supervisi, Kredit, dan Pembelajaran, menuliskan bahwa saat kemasukan deposito itu, perbankan kebingungan ke mana menempatkan dana-dana deposito tanpa bunga tersebut.
Pilihannya kemudian jatuh ke obligasi dan surat utang dengan pendapatan kupon obligasi setiap tahun. Kucuran dana ke kreditor sebaliknya menurun drastis pada era Covid-19.
Namun, AS kemudian dilanda tekanan inflasi tinggi akibat kucuran dana stimulus sejak 2021. Hal ini memaksa Fed menaikkan suku bunga pada Maret 2022 untuk meredam inflasi. Kini suku bunga inti oleh Fed telah naik menjadi 5-5,5 persen. Kenaikan suku bunga ini telah menurunkan 10 persen nilai pasar obligasi yang dimiliki perbankan AS. Kerugian akibat penurunan nilai itu kini mencapai sekitar 2,2 triliun dollar AS.
Hal itu tertuang dalam artikel berjudul ”Monetary Tightening and U.S. Bank Fragility in 2023: Mark-to-Market Losses and Uninsured Depositor Runs?” edisi revisi 5 April 2023 yang dituliskan oleh Erica Jiang (University of Southern Californian), Gregor Matvos (Northwestern University), Tomasz Piskorski (Columbia University), dan Amit Seru (Stanford).
Kenaikan suku bunga ini telah menurunkan 10 persen nilai pasar obligasi yang dimiliki perbankan AS. Kerugian akibat penurunan nilai itu kini mencapai sekitar 2,2 triliun dollar AS.
Jiang dan rekan-rekan penulus artikel itu melanjutkan, kisah dari krisis perbankan pada dekade 1980-an dan 1990-an menunjukkan bahwa hampir sepertiga aset perbankan ditempatkan dalam bentuk obligasi dan sejenisnya. Nilainya menurun akibat kenaikan suku bunga oleh Fed ketika itu, juga untuk meredam inflasi. Inilah yang menjadi akar krisis perbankan pada dua dekade tersebut.
Seandainya perbankan melakukan lindung nilai (hedging) atas potensi kerugian akibat kenaikan suku bunga, kemungkinan lembaga perbankan akan tertolong. Masalah muncul karena perbankan tidak melidungi potensi kerugian dari kenaikan suku bunga oleh Fed dengan hedging.
Deposito di luar penjaminan
Dengan demikian, perbankan menghadapi masalah tambahan lainnya. Penempatan dana dalam aset berjangka panjang (obligasi berjangka sepuluh tahun) menjadi riskan karena ada potensi penarikan deposito atau simpanan berjangka pendek dan sewaktu-waktu bisa ditarik. Dilema lain, aset bank menurun sehingga bank akan kelabakan jika terjadi penarikan deposito oleh nasabah.
Jiang, Matvos, Piskorski, dan Seru menuliskan bahwa perbankan menghadapi masalah lanjutan. Bank akan dituntut menaikkan suku bunga simpanan untuk membuat deposan bertahan dengan simpanan di bank. Akan tetapi, hal ini hanya akan menaikkan biaya bagi perbankan yang tidak memiliki penerimaan dari kucuran kredit karena kucuran dana ke kreditor menurun sejak era Covid-19.
Di sisi lain, setengah dari total deposito atau sekitar 9 triliun dollar AS, yang ada dalam perbankan tidak masuk ke dalam jaminan lembaga penjamin simpanan deposito (Federal Deposit Insurance Corporation). Deposito yang tak masuk dalam penjaminan ini rawan penarikan segera oleh nasabah.
Persoalan lain, perbankan AS tidak memiliki modal yang kuat. Dengan demikian, pertahanan perbankan AS tidak memadai. Jiang dan kawan-kawan menuliskan bahwa banyak perbankan di AS tidak memiliki permodalan yang lebih kuat dari SVB yang telah bangkrut.
Beraset 300 miliar dollar AS
Dari semua kejadian itu, Jiang dan kawan-kawan menuliskan bahwa jika setengah saja dari deposan perbankan menarik depositonya, sekitar 190 bank dengan total aset 300 miliar dollar AS akan bangkrut. Hal ini terutama menimpa bank-bank kecil. Ini hanyalah perkiraan moderat. Namun diperingatkan, meski hal ini dialami bank-bank kecil, potensi sistemik bisa terjadi terhadap perbankan lainnya.
Bank-bank besar yang masuk kategori bank yang tergolong penting dan bisa sistemik secara global (global systemically important banks/GSIB), berjumlah 29 bank. Bank-bank ini juga berpotensi merugi besar. ”Bagi GSIB, potensi kerugian terbesar berasal dari kucuran pinjaman ke perumahan komersial,” demikian ulasan Jiang dan kawan-kawan.
Wakil Ketua Berkshire Hathaway, Charlie Munger, Senin, 1 Mei 2023, mengatakan bahwa kondisi perumahan komersial di AS sekarang tidak dalam kondisi bagus. ”Banyak kegiatan realestat sekarang ini tidak dalam kondisi baik dan kita sudah memiliki banyak masalah dalam bangunan perkantoran, mal-mal yang tidak ditempati. Banyak masalah besar sedang menimpa industri ini,” kata Munger.
Hal itu memunculkan peringatan dari UBS kepada para nasabahnya bahwa masalah perbankan di AS masih jauh dari selesai (Associated Press, 4 Mei 2023). Di luar PacWest Bancorp dan Western Alliance, juga ada First Horizon, Comerica, Zions Bancorporation, Valley National Bancorp, WesBanco, KeyCorp, BankUnited, Citizens Financial, CVB Financial, dan UMB yang mengalami kejatuhan harga-harga saham. (REUTERS/AP/AFP)