Penghargaan PBB untuk Para Perempuan Jurnalis Pengabar Kematian Mahsa Amini
Bertepatan Hari Kebebasan Pers Dunia, Rabu (3/5/2023), tiga perempuan jurnalis Iran memperoleh penghargaan utama kebebasan pers dari PBB. Laporan mereka membuka mata dunia atas kasus Mahsa Amini.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
NEW YORK, RABU — Perserikatan Bangsa-Bangsa, Selasa (2/5/2023) malam di New York, AS, atau Rabu (3/5/2023) pagi WIB, menganugerahkan penghargaan utama kebebasan pers tahun ini kepada tiga perempuan jurnalis Iran yang kini dipenjara di negaranya. Penghargaan itu diberikan ”atas komitmen mereka pada kebenaran dan sikap bertanggung jawab”.
Pemberian penghargaan tersebut diumumkan menjelang Hari Kebebasan Pers Dunia yang jatuh pada Rabu (3/5/2023). Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pidatonya, Selasa, menyatakan bahwa kebebasan pers tengah mendapat serangan di berbagai penjuru dunia.
”Seluruh kebebasan kita bergantung pada kebebasan pers,” kata Guterres dalam pidato melalui video. Ia menyebut kebebasan pers sebagai ”fondasi demokrasi dan keadilan” serta ”sumber kehidupan hak-hak asasi manusia”.
”Namun, di seluruh penjuru dunia, kebebasan pers tengah mendapat serangan,” lanjut Guterres dalam konferensi di Markas Besar PBB, New York, AS. Menurut organisasi Wartawan Lintas Batas (RSF), sebanyak 55 jurnalis dan 4 pekerja media saat menjalankan tugas jurnalistik sepanjang 2022.
Dalam kesempatan yang sama, PBB menganugerahkan penghargaan utama kebebasan pers tahun ini kepada tiga perempuan jurnalis Iran. Ketiganya saat ini dipenjara di negaranya. Mereka adalah Niloufar Hamedi, Elaheh Mohammadi, dan Narges Mohammadi.
Hamedi ialah jurnalis yang pertama kali mengabarkan berita kematian Mahsa Amini, perempuan berusia 22 tahun yang tewas saat ditahan polisi moral Iran karena dinilai berjilbab terlalu longgar, September 2022. Adapun Elaheh Mohammadi adalah jurnalis yang memberitakan pemakamannya.
Kematian Amini memantik unjuk rasa besar-besaran selama beberapa bulan di Iran. Demonstrasi ini mendatangkan tantangan paling serius terhadap pemerintahan Republik Islam Iran sejak unjuk rasa Gerakan Hijau tahun 2009, yang diikuti jutaan warga negara itu.
Pemenang ketiga penghargaan PBB adalah Narges Mohammadi. Selain menjadi jurnalis selama bertahun-tahun, ia juga seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka di Iran.
Penghargaan Kebebasan Pers Dunia dari Organisasi PBB untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) diberi nama Guillermo Cano. Ia jurnalis Kolombia yang dibunuh di depan kantor redaksi koran tempatnya bekerja, El Espectador, di Bogota, Kolombia, 17 Desember 1986. Penghargaan itu diberikan PBB setiap 3 Mei sejak tahun 1997.
”Saat ini lebih dari waktu-waktu sebelumnya, penting untuk memberi penghormatan pada seluruh perempuan jurnalis yang dihalang-halangi dala menjalankan tugas mereka serta yang mengalami ancaman dan serangan atas keselamatan pribadi mereka,” kata Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, saat mengumumkan peraih penghargaan Kebebasan Pers tersebut.
Zainab Salbi, ketua tim juri profesional media internasional yang memilih para pemenang, menyebutkan bahwa keberanian tiga pemenang penghargaan ”telah mengantarkan pada revolusi bersejarah yang digalang para perempuan”. ”Mereka membayar harga mahal atas komitmen mereka untuk melaporkan dan mengungkap kebenaran,” kata Salbi.
Mereka membayar harga mahal atas komitmen mereka untuk melaporkan dan mengungkap kebenaran.
”Karena itu, kami berkomitmen memberi penghormatan atas mereka dan memastikan suara mereka akan terus bergaung di seluruh dunia hingga mereka aman dan bebas,” lanjut Salbi.
Pada akhir April lalu, pengadilan Iran mengakui bahwa dua jurnalis yang mengabarkan kematian Amini, yakni Hamedi dan Elaheh Mohammadi, telah didakwa berkomplot dengan Amerika Serikat untuk bertindak melawan keamanan nasional dan menciptakan ”propaganda melawan sistem”. Hampir 100 jurnalis ditangkap aparat Iran bersamaan gelombang demonstrasi memprotes tewasnya Amini.
Menurut aktivis HAM di Iran, sedikitnya 529 orang tewas dan lebih dari 19.700 orang ditahan aparat dalam demonstrasi memprotes kematian Amini di negara itu. Laporan berita yang dibuat Hamedi dan Elaheh Mohammadi sangat krusial dalam membentuk kesadaran dan kemarahan kolektif atas kasus Amini. Hamedi bekerja untuk koran berhaluan reformis, Shargh. Adapun Mohammadi di surat kabar lain yang juga reformis, Ham-Mihan.
Menurut UNESCO, keduanya ditahan di Penjara Evin sejak September 2022. Hamedi ditempatkan di ruang isolasi.
Adapun Narges Mohammadi telah ditahan dan dipenjara berkali-kali oleh otoritas Iran. UNESCO menyebutkan, saat ini ia menjalani hukuman penjara 16 tahun di Penjara Evin. Ia adalah wakil direktur organisasi masyarakat sipil di Teheran. Selama di dalam penjara, ia terus membuat tulisan dan mewawancarai para perempuan tahanan lainnya. Hasil wawancara ini dimasukkan dalam dalam bukunya, White Torture.
Longsoran disinformasi
Secara terpisah, masih terkait Hari Kebebasan Pers Dunia, Sekretaris Jenderal Wartawan Lintas Batas (RSF) Christophe Deloire mengingatkan ancaman evolusi cepat kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) terhadap berita-berita tepercaya. ”Adalah industri teknologi yang memungkinkan disinformasi diproduksi, didistribusikan, dan diamplifikasi,” katanya kepada AFP.
”Informasi tepercaya tenggelam oleh banjir disinformasi,” lanjut Deloire. ”Kita menjadi kurang dan kurang mampu menerima perbedaan antara yang nyata dan yang artifisial, antara kebenaran dan kebohongan.”
Hal senada disampaikan pejabat PBB. ”Kebenaran terancam oleh disinformasi dan ujaran kebencian, mengaburkan antara fakta dan fiksi, antara sains dan konspirasi,” kata Guterres.
Dirjen UNESCO Audrey Azoulay menambahkan, era digital mengubah seluruh lanskap informasi. Jurnalisme professional, bebas, dan independen, katanya, saat ini semakin diperlukan dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.
PemimpinThe New York Times, AG Sulzberger, menyebutkan bahwa bukan hanya represi langsung yang mengancam jurnalis dan kebebasan pers. ”Internet juga mengalirkan longsoran misinformasi, propaganda, kepakaran, klikbait yang saat ini memenuhi ekosistem informasi… mempercepat kemunduran dalam kepercayaan masyarakat,” ujarnya.
”Ketika kebebasan pers terkikis, erosi demokrasi hampir selalu mengikuti,” kata Sulzberger.
Menurut Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard, penyensoran juga semakin sering terjadi. ”Menyedihkan, penyensoran sudah menjadi posisi lazim di banyak pemerintahan dalam bentuk kontrol atas pengetahuan masyarakat mereka,” katanya. (AP/AFP)