Lembaga internasional Reporters without Borders menyatakan, dengan menyasar wartawan dan membatasi akses media sosial (Whatsapp dan Instagram), pihak berwenang Iran mengirim pesan jelas, tak boleh ada liputan unjuk rasa.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kita yang rajin membaca sejarah tentu tak heran, setiap perubahan sosial politik sering kali menelan korban. Bagaimanakah akhir dari rangkaian peristiwa di Iran?
Akankah kejadian beberapa pekan terakhir ini peristiwa biasa atau bernuansa politik berkelanjutan? Di luar analisis yang ada, kita—dalam semangat solidaritas profesi—prihatin jurnalis dan aktivis di Iran ditangkapi karena menyuarakan tuntutan pengunjuk rasa pascakematian Mahsa Amini. Amini meninggal saat ditahan aparat pada 16 September 2022, tiga hari setelah ditangkap polisi moral (Gasht-e Ershad), karena memakai celana panjang ketat dan penutup kepala yang dinilai terlalu longgar (Kompas, 28/9/2022).
Muncul kontroversi akibat perbedaan versi meninggalnya Amini antara situs berita IranWire dan otoritas Iran. Menurut IranWire, mengutip dokter yang menangani Amini, korban mengalami mati otak. Amini juga disebut dalam kondisi koma sebelum dinyatakan meninggal.
Menteri Dalam Negeri Iran Ahmad Vahidi menyebut Amini meninggal gegara sebab alamiah. Namun, penjelasan pemerintah dinilai tidak kredibel. Keluarga menyebut Amini tidak memiliki penyakit bawaan, seperti diklaim sebagai penyebab kematian oleh pemerintah.
Apa pun sebab dan kontroversinya, kematian Amini menyulut demo besar dan luas. Dalam foto yang dimuat harian ini, Rabu (28/9/2022), tampak pendemo mengecam kematian Amini di Qamishli, Suriah, oleh komunitas Kurdi.
Meluasnya unjuk rasa direspons Pemerintah Iran dengan menangkapi jurnalis dan aktivis. Berdasarkan data Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) yang berpusat di Washington, ada 20 jurnalis lokal yang ditahan sejak awal demonstrasi pada 17 September lalu. Mereka, antara lain, jurnalis foto Yalda Moaiery dan Nilufar Hamedi. Hamedi yang pertama mengungkap kondisi Amini setelah dirawat di Rumah Sakit Kasra.
Selain jurnalis, pihak berwenang Iran menangkap sejumlah aktivis dan kuasa hukumnya pula. Bahkan, aparat juga menangkap atlet dan tokoh lain yang mendukung demonstrasi.
Lembaga internasional Reporters without Borders menyatakan, dengan menyasar wartawan dan membatasi akses media sosial (Whatsapp dan Instagram), pihak berwenang Iran mengirim pesan jelas, tak boleh ada liputan unjuk rasa.
Kita dapat menggarisbawahi peran jurnalis terkait perkembangan di Iran. Pertama, jurnalis adalah profesi garis depan, yang dalam menjalankan tugasnya sering harus berhadapan dengan bahaya, khususnya terkait kepentingan penguasa. Di Indonesia, yang punya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, peristiwa seperti ini masih terjadi.
Kedua, memang tugas pers untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Namun, dalam unjuk rasa di Iran, jurnalis dinilai sejalan dengan kepentingan negara Barat, khususnya Amerika Serikat, yang memusuhi Iran.
Dengan tetap menyadari jurnalis bertugas menyuarakan aspirasi rakyat, penguasa di Iran perlu berintrospeksi mengapa kematian Amini menyulut unjuk rasa yang meluas. Boleh jadi rakyat Iran punya aspirasi yang lebih luas daripada sekadar tentang aturan berbusana.