PBB : Media Berada di Bawah Tekanan
Kondis media dan kebebasan pers bukannya semakin membaik , tetapi semakin memburuk. Serangan terhadap jurnalis yang memberitakan kebenaran semakin sering terjadi karena pengaburan fakta melalui platform digital.
New York, Rabu — Jurnalis dan media berada dalam tekanan yang besar saat ini. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kekerasan, terutama pembunuhan jurnalis. Sepanjang tahun 2022, jumlahnya meningkat hingga 50 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meski dalam pekerjaannya jurnalis di sebagian negara di dunia memiliki peraturan perundangan tersendiri (lex specialis) dan juga kode etik jurnalistik yang ketat, tidak berarti tekanan terhadap jurnalis berkurang.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa Antonio Guterres, dalam pernyataannya pada hari Kebebasan Pers Sedunia 2023, Rabu (3/5/2023) menyebut peningkatan hingga 50 persen pembunuhan pekerja media sepanjang 2022 adalah sebuah fenomena yang luar biasa dan mendesak semua pemerintahan di dunia memperhatikannya.
“Semua kebebasan kita bergantung pada kebebasan pers. Tetapi, di setiap sudut dunia, kebebasan pers sedang diserang,” kata Guterres dalam pernyataannya.
Dia menyebut bahwa kebenaran terancam oleh disinformasi dan ujaran kebencian yang berusaha menguburkan batas antara fakta dan fiksi, antara ilmu pengetahuan dan konspirasi.
Dia menekankan bahwa dunia harus bersatu menghentikan ancaman, serangan dan pemenjaraan jurnalis karena melakukan kerja jurnalistiknya, menghentikan penyebaran berita bohong dan disinformasi. Dia menyatakan bahwa kebebasan pers adalah fondasi dari demokrasi dan keadilan. “Saat jurnalis membela dan memberitakan kebenaran, dunia (harus) membela mereka,” katanya.
Baca juga : Robohnya Penjaga Kebebasan Pers di Hong Kong
Guterres juga mengecam keras penargetan para jurnalis, baik dilakukan secara daring (doxing) hingga luring, baik ancaman lisan maupun ancaman kekerasan fisik. Dia juga menyebut bahwa hampir tiga perempat jurnalis perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan daring dan seperempatnya mendapat ancaman secara fisik.
Mengutip data lembaga Reporters WIthout Borders (RSF), jumlah negara dengan kondisi kebebasan persnya yang dalam kondisi baik atau semakin baik, terus mengalami penurunan setiap tahun sejak tahun 2013. Pada tahun 2013, jumlah negara dengan kondisi kebebasan pers yang baik (good situation) mencapai 26 negara dari 180 negara yang diamati. Akan tetapi, tahun 2023, negara dengan tingkat situasi kebebasan pers yang baik tinggal delapan negara saja.
Sebaliknya, negara yang tengah mengalami kesulitan dengan kebebasan persnya hingga dalam kondisi sanga sulit terus mengalami peningkatan. Di tahun 2013, negara yang masuk dalam kategori difficult situation hanya 38 dan kini, meningkat menjadi 42 negara. Sedangkan negara dengan situasi kebebasan pers yang sangat sulit naik, dari 20 negara di tahun 2013 menjadi 31 negara satu dekade kemudian.
Dengan kata lain, lingkungan jurnalisme “buruk” di tujuh dari sepuluh negara, dan memuaskan hanya di tiga dari sepuluh negara.
"Indeks Kebebasan Pers Dunia menunjukkan volatilitas yang sangat besar dalam berbagai situasi, dengan kenaikan dan penurunan besar dan perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ketidakstabilan ini adalah hasil dari meningkatnya agresivitas otoritas di banyak negara dan tumbuhnya permusuhan terhadap jurnalis di media sosial dan di dunia fisik. Ketidakstabilan ini juga merupakan konsekuensi dari pertumbuhan industri konten palsu, yang memproduksi dan mendistribusikan disinformasi dan menyediakan alat untuk membuatnya,” sebut Sekjen RSF Christophe Deloire.
Baca juga : Mendung Menggelayut bagi Para Pengirim Pesan
Direktur Jenderal UNESCO, badan PBB yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebuayaan, menyatakan, kemunculan era digital telah mengubah seluruh lansekap informasi. Keberadaan platform digital, sebutnya, telah menyediakan cara baru untuk berekspresi dan menyebarluaskan informasi di satu sisi. Di sisi lain, platform digital menjadi lahan subur untuk menyebarluaskan disinformasi, ujaran kebencian dan bahan lebih jauh teori konspirasi. “Kita berada di persimpangan jalan baru,” katanya.
Dia menambahkan bahwa model bisnif platform digital yang didasarkan pada jumlah klik, lebih menyukai sensasi daripada substansi karya jurnalistik yang mencerahkan dan memberitakan kebenaran.
Regulasi yang membelenggu
Ancaman bagi jurnalis dan pekerja media tidak hanya berasal dari warga negara atau kelompok-kelompok tertentu yang tidak puas terhadap karya jurnalistik yang dianggap menyinggung dan mengganggu kepentingan mereka. Ancaman juga datang dari otoritas, dalam hal ini pemerintah, yang menginginkan agar perilaku menyimpang mereka tidak diketahui oleh publik melalui karya jurnalistik yang dipublikasikan media.
Salah satu contoh adalah peraturan perundangan baru oleh Pemerintah Rusia yang bisa mendakwa siapapun, termasuk jurnalis, yang menerbitkan informasi tentang militernya dan informasi yang dianggap sebagai berita palsu oleh Kremlin. Ancamannya hukuman penjara selama 15 tahun.
Seorang jurnalis yang tengah berhadapan dengan peraturan perundangan ini adalah Evan Gershkovic. Ia bekerja untuk untuk The Wall Street Journal. Oleh Kremlin dia dianggap sebagai mata-mata karena bekerja untuk media Amerika Serikat.
Baca juga : Nobel Perdamaian untuk Maria Ressa dan Dmitry Muratov
Di Indonesia, hal serupa terjadi. Reformasi 1998 yang menjadi gerbang bagi berkembangnya demokrasi dan pers yang bebas, kini dinilai berjalan mundur. Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen, semakin banyak peraturan perundangan yang berpotensi dan telah membelenggu kebebasan pers, mulai dari revisi UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Kominfo 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat, UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
UU ITE masih menjadi undang-undang yang berbahaya bagi jurnalis daring maupun mereka yang menyampaikan kritiknya di media sosial. AJI mencatat sejak UU ITE lahir pada 2008 dan direvisi pada 2016, sedikitnya 38 jurnalis dilaporkan dengan pasal-pasal bermasalah di UU ITE, dan empat di antaranya dipenjara karena dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Hal ini sejalan dengan data UNESCO yang disampaikan staf ahlinya, Guilherme Canela De Souza Godoi. Godoi menyebut bahwa sistem peradilan semakin melecehkan jurnalis di seluruh wilayah di dunia. “Menempatkan kebebasan berekspresi di bawah hukum pidana berpotensi pada pemenjaraan jurnalis,” katanya.
Penghargaan untuk Jurnalis Iran
Pada peringatan WPFD 2023, PBB menganugerahi tiga jurnalis perempuan Iran penghargaan atas komitmen mereka pada kebenaran. Ketiganya penerima penghargaan, yaitu Niloufar Hamedi, Elaheh Mohammadi, dan Narges Mohammadi, tengah mendekam di penjara karena berita yang mereka buat.
Hamedi ialah jurnalis yang pertama kali mengabarkan berita kematian Mahsa Amini, perempuan berusia 22 tahun yang tewas saat ditahan polisi moral Iran karena dinilai berjilbab terlalu longgar, September 2022. Adapun Elaheh Mohammadi adalah jurnalis yang memberitakan pemakamannya.
Baca juga : Jurnalis dan Perkembangan di Iran
Kematian Amini memantik unjuk rasa besar-besaran selama beberapa bulan di Iran. Demonstrasi ini mendatangkan tantangan paling serius terhadap pemerintahan Republik Islam Iran sejak unjuk rasa Gerakan Hijau tahun 2009, yang diikuti jutaan warga negara itu.
Pemenang ketiga penghargaan PBB adalah Narges Mohammadi. Selain menjadi jurnalis selama bertahun-tahun, ia juga seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka di Iran.
”Saat ini lebih dari waktu-waktu sebelumnya, penting untuk memberi penghormatan pada seluruh perempuan jurnalis yang dihalang-halangi dala menjalankan tugas mereka serta yang mengalami ancaman dan serangan atas keselamatan pribadi mereka,” kata Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, saat mengumumkan peraih penghargaan Kebebasan Pers tersebut.
Zainab Salbi, ketua tim juri profesional media internasional yang memilih para pemenang, menyebutkan bahwa keberanian tiga pemenang penghargaan ”telah mengantarkan pada revolusi bersejarah yang digalang para perempuan”. ”Mereka membayar harga mahal atas komitmen mereka untuk melaporkan dan mengungkap kebenaran,” kata Salbi.
Mereka membayar harga mahal atas komitmen mereka untuk melaporkan dan mengungkap kebenaran.”Karena itu, kami berkomitmen memberi penghormatan atas mereka dan memastikan suara mereka akan terus bergaung di seluruh dunia hingga mereka aman dan bebas,” lanjut Salbi.
Pada akhir April lalu, pengadilan Iran mengakui bahwa dua jurnalis yang mengabarkan kematian Amini, yakni Hamedi dan Elaheh Mohammadi, telah didakwa berkomplot dengan Amerika Serikat untuk bertindak melawan keamanan nasional dan menciptakan ”propaganda melawan sistem”. Hampir 100 jurnalis ditangkap aparat Iran bersamaan gelombang demonstrasi memprotes tewasnya Amini.
Menurut aktivis HAM di Iran, sedikitnya 529 orang tewas dan lebih dari 19.700 orang ditahan aparat dalam demonstrasi memprotes kematian Amini di negara itu. Laporan berita yang dibuat Hamedi dan Elaheh Mohammadi sangat krusial dalam membentuk kesadaran dan kemarahan kolektif atas kasus Amini. Hamedi bekerja untuk koran berhaluan reformis, Shargh. Adapun Mohammadi di surat kabar lain yang juga reformis, Ham-Mihan.
Menurut UNESCO, keduanya ditahan di Penjara Evin sejak September 2022. Hamedi ditempatkan di ruang isolasi.
Adapun Narges Mohammadi telah ditahan dan dipenjara berkali-kali oleh otoritas Iran. UNESCO menyebutkan, saat ini ia menjalani hukuman penjara 16 tahun di Penjara Evin. Ia adalah wakil direktur organisasi masyarakat sipil di Teheran. Selama di dalam penjara, ia terus membuat tulisan dan mewawancarai para perempuan tahanan lainnya. Hasil wawancara ini dimasukkan dalam dalam bukunya, White Torture. (AP/AFP/MHD/SAM)