Sisa WNI yang belum dievakuasi kebetulan sedang tidak berada di Sudan. Ada yang tengah mudik ke Tanah Air dan lainnya sedang berlibur ke luar negeri.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Luar Negeri mengabarkan bahwa warga negara Indonesia telah dievakuasi dari Sudan pada Rabu (26/4/2023). Gelombang ini mengikuti satu gelombang sebelumnya yang telah berlangsung selama tiga hari pembukaan jalur kemanusiaan di negara tersebut.
”Pada evakuasi tahap pertama jumlah WNI ada 569 orang. Mereka bertolak dari Port Sudan ke Jeddah,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam paparan media.
Tim Kemenlu yang dipimpin oleh Direktur Perlindungan WNI Judha Nugraha kemudian kembali ke Port Sudan dari Jeddah. Mereka menyiapkan evakuasi tahap dua yang prosesnya tengah berlangsung. ”Gelombang kedua WNI ini sudah tiba di Port Sudan dari Khartum,” ujar Retno.
Perjalanan Khartum-Port Sudan ini menempuh jarak 800 kilometer. Para WNI tersebut terdiri dari 328 orang, yaitu 294 laki-laki, 29 perempuan, dan 5 anak. Umumnya mereka adalah mahasiswa dan beberapa merupakan karyawan di maskapai penerbangan. Perjalanan ke Port Sudan itu melewati kota Atbarra dan Sawakin.
”Terjadi kecelakaan tunggal yang menimpa salah satu dari tujuh unit bus pengangkut WNI di Atbarra akibat jalanan rusak. Tiga orang WNI terluka dan sedang dirawat di rumah sakit di Port Sudan. Mereka akan melanjutkan penyeberangan apabila dokter mengizinkan,” tutur Retno.
Secara total sudah 897 WNI, dari 937 WNI yang tercatat berada di Sudan, yang telah dievakuasi. Kemlu memutakhirkan data WNI di Sudan, dari semula yang tercatat 1.209 orang menjadi 937 orang yang dapat dikontak dan tercatat. Sisa WNI kebetulan sedang tidak berada di Sudan. Ada yang tengah mudik ke Tanah Air dan lainnya sedang berlibur ke luar negeri.
Media Arab News mengabarkan, sekitar 560 WNI tiba di Jeddah, Arab Saudi. Mereka menumpangi kapal Amana yang merapat di Pangkalan Angkatan Laut Raja Faisal pukul 05.00 waktu setempat.
Ada 1.687 orang dari 58 negara yang diangkut oleh kapal berbendera Arab Saudi tersebut dari Port Sudan melintasi Laut Merah. Orang-orang itu terdiri dari 560 WNI, 48 warga Amerika Serikat, 40 warga Inggris, 11 warga Jerman, 4 warga Perancis, 13 warga Arab Saudi, 239 warga Yaman, 198 warga Sudan, dan 26 warga Turki.
Selain dari jalur laut, Arab Saudi juga menerima pengungsian melalui udara. Pesawat Hercules milik Korea Selatan pekan lalu menerbangkan warga mereka dari Khartum ke Jeddah.
Kantor berita Arab Saudi, SPA, mengabarkan, sejak gelombang pertama evakuasi, Jeddah telah menerima 2.148 orang. Mayoritas adalah warga asing dari 62 negara dan sisanya warga Arab Saudi.
Di tengah kesibukan warga asing ataupun warga Sudan menyelamatkan diri dari negara itu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan bahwa kantor-kantor PBB di Khartum tetap buka. ”PBB wajib menjamin terlaksananya pemberian bantuan sosial kepada warga yang membutuhkan,” ujarnya.
Ia mendesak Dewan Keamanan PBB segera menggelar rapat terkait Sudan. Negara ini telah mengalami dua kali perang saudara dan yang terakhir berakhir pada 2005. Sejak itu, sebagian besar warganya sangat bergantung pada bantuan sosial dari PBB ataupun negara-negara donor.
Duta Besar Arab Saudi untuk PBB Abdulaziz Alwasil mengatakan, penting untuk menjadikan gencatan senjata ini permanen guna menghentikan pertempuran. Arab Saudi bersama AS merupakan penengah konflik antara militer Sudan dan RSF.
Sebelumnya, Juru Bicara Tim Transisi Demokrasi Sudan Khaled Omar Yusuf yang dikutip harian Al Rakoba mengatakan, hanya dengan kepastian gencatan senjata permanen Panglima Militer Sudan Abdul Fattah Burhan dan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo dari RSF bisa berunding. Hasil perundingan itu nanti memungkinkan Sudan bertransisi menjadi negara demokrasi sipil.
Sementara itu, terjadi kericuhan di Penjara Kober di Khartum yang mengakibatkan kaburnya sejumlah tahanan. Salah satunya ialah Ahmad Harun yang merupakan orang kepercayaan mantan Presiden Sudan Omar Bashir.
Bashir dikudeta oleh militer pada 2019 atas tuduhan korupsi. Ia dan Harun lalu dipenjara di Kober. Mereka berdua tengah menghadapi gugatan dari Mahkamah Internasional atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Di bawah perintah Bashir, aparat melakukan penyiksaan dan pemerkosaan terhadap warga di Darfur.
BBC meneruskan rekaman Harun yang disiarkan oleh Tayba TV. Harun mengonformasi bahwa ia dan sejumlah tahanan politik kabur dari Penjara Kober. Meskipun begitu, ia tidak mengungkit melalui Bashir yang saat ini tidak diketahui keberadaannya. (AFP)