Selama tiga hari ke depan, jalur kemanusiaan dibuka. Militer dan RSF juga diharapkan bisa bertemu untuk mengakhiri konflik.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
KHARTOUM, SELASA — Gencatan senjata antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat atau RSF diperpanjang selama tiga hari ke depan. Selain membuka jalur kemanusiaan untuk evakuasi warga negara asing dan penyaluran bantuan kepada masyarakat lokal, periode ini juga diharapkan bisa membawa kedua pihak bertikai ke meja perundingan.
Perkembangan terbaru ini diumumkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken. AS bersama dengan Inggris, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab bertindak sebagai penengah di dalam konflik internal Sudan tersebut. ”Gencatan senjata ini efektif sejak Senin (24/4/2023) pukul 24.00 waktu Sudan,” kata Blinken. Jam itu setara dengan Selasa (25/4/2023) pukul 05.00 WIB.
Blinken mengatakan, para penengah menyambut komitmen dari seluruh pihak terkait dan pemangku kepentingan untuk bekerja sama dengan para mitra. Gencatan senjata ini diharapkan bisa berlangsung selamanya sehingga transisi Sudan menuju pemerintahan sipil yang demokratis bisa berlangsung.
Kedua pihak yang bertikai, Angkatan Bersenjatan Sudan di bawah pimpinan Jenderal Abdul Fattah Burhan dan RSF di bawah Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, belum mau bertatap muka. Dalam transisi ke demokrasi, RSF semestinya dilebur ke dalam militer, tetapi Dagalo menolak. Kedua jenderal ini pun berseteru memperebutkan posisi tertinggi sebagai panglima.
Dagalo menuduh Burhan merupakan simpatisan gerakan radikal dan hendak membawa Sudan ke arah tersebut. Sementara itu, Burhan mengatakan tidak boleh ada dua matahari di dalam militer baru. Ia hanya mau melapor kepada kepala negara yang terpilih secara demokratis. Kedua jenderal ini mempunyai rekam jejak sebagai pelanggar hak asasi manusia.
Juru bicara tim transisi Pemerintahan Sudan, Khaled Omar Yusuf, mengatakan, konflik bersenjata ini berisiko membawa Sudan menuju perang saudara lagi. Negara ini sudah dua kali dilanda perang saudara. Selain jatuhnya korban jiwa, negara terbesar ketiga di Afrika ini juga terperosok ke dalam jurang kemiskinan.
”Kami sudah berbicara kepada kedua belah pihak dan mengingatkan mereka mengenai perjanjian yang mereka tanda tangani pada tahun 2020,” kata Yusuf, dikutip oleh media Al Rakoba.
Menurut dia, pada 2020, sengketa antara militer dan RSF ini sudah muncul. Dagalo menolak apabila RSF dilebur ke dalam militer, ia harus melapor kepada Burhan sebagai komandannya. Dagalo dan Burhan kemudian meneken perjanjian untuk menyelesaikan perkara ini melalui negosiasi.
”Sekarang, kami menetapkan tiga tahap. Pertama, melakukan gencatan senjata. Kedua, mempermanenkan gencatan senjata itu. Ketiga baru melakukan pembahasan politik,” tutur Yusuf.
Ia menekankan tim transisi mengecam konflik tersebut. Tim mengatakan, mereka tidak netral, tetapi tidak pula memihak RSF ataupun militer. Mereka berpihak pada perdamaian dan kestabilan Sudan agar rakyat mendapat hak atas pemerintahan yang mereka pilih sendiri.
Warga asing yang berada di Sudan terus mengungsi. Jepang menutup kedutaan besarnya di Khartoum dan mengungsikan 45 warga negaranya. Sebelumnya, delapan warga Jepang ikut mengungsi dengan rombongan Perancis.
Warga Khartoum, Bahri, dan Omdurman juga tampak semakin banyak yang mengungsi keluar kota. Ketiga kota itu tidak memiliki aliran air bersih dan listrik sejak Sabtu lalu ketika konflik meletus. Mereka nekat berjalan kaki dan berusaha menumpang kendaraan yang meninggalkan Khartoum.
Pemerintah AS melalui Penasihat Keamanan Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan, ada 16.000 warga mereka di Sudan. AS sudah mengungsikan seluruh diplomat mereka, tetapi tidak mengevakuasi warga sipil lainnya sehingga mereka harus melakukannya secara mandiri.
”Warga AS adalah orang-orang bebas. Pemerintah AS tidak bisa mendikte mereka harus meninggalkan Sudan ataupun menyuruh mereka pergi ke tempat tertentu,” ujar Sullivan.
Ia menerangkan, AS juga tidak mengungsikan warganya ketika konflik Suriah dan konflik Yaman pecah. Warga AS itu meninggalkan lokasi-lokasi tersebut atas kemauan sendiri. Berbeda dengan di Afghanistan karena AS memang terlibat langsung di dalam tata laksana keamanan negara itu.
Meskipun demikian, Juru Bicara Departemen Pertahanan AS Brigadir Jenderal Pat Ryder mengatakan, Pentagon mengamankan jalur dari Khartoum ke Port Sudan sepanjang 800 kilometer. Pentagon juga menurunkan satu kapal untuk mengangkut warga AS dari Port Sudan ke Jeddah di Arab Saudi melintasi Laut Merah.
”Warga AS datang mengikuti konvoi berbagai negara. Kami siap melayani di Port Sudan,” ujarnya. (AP/Reuters)