Khartum, ibu kota Sudan, menjadi semakin berbahaya setelah sebuah laboratorium milik pemerintah diambil alih oleh salah satu pihak bertikai. Laboratorium ini berisi zat yang dinilai berbahaya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, , laraswati ariadne anwar
·4 menit baca
KHARTUM, SELASA — Meski pertempuran sempat mereda menyusul kesepakatan dua kubu militer yang bertikai untuk memperpanjang gencatan senjata selama 72 jam, situasi tidak menjadi lebih baik di ibu kota Sudan, Khartum. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meyebut Khartum menghadapi risiko bahaya biologis tinggi.
Hal ini terjadi setelah salah satu pihak bertikai merebut laboratorium nasional yang menyimpan patogen campak dan kolera. Kubu itu juga mengusir teknisi atau operator laboratorium.
Informasi soal pengambilalihan laboratorium milik negara itu disampaikan perwakilan WHO di Sudan, Nima Saeed Abid, melalui telekonferensi dari Sudan kepada sejumlah jurnalis di Geneva, Swiss, Selasa (25/4/2023). Selain menyimpan patogen campak dan kolera, laboratorium itu juga berisi persediaan darah nasional.
”Yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah tidak ada akses bagi teknisi laboratorium untuk bisa masuk ke dalam laboratorium dan dengan aman memuat bahan serta zat biologis yang tersedia,” kata Abid.
Namun, Abid tidak menjelaskan lebih detail soal kekhawatiran yang dimaksudnya tersebut. Ada kemungkinan, misalnya, patogen digunakan untuk senjata biologis. Bisa juga muncul risiko kebocoran laboratorium akibat kubu yang menduduki laboratorium tak paham penanganan unit tersebut. Ada pula risiko tertutupnya akses organisasi kemanusiaan untuk mengakses bank darah untuk merawat korban akibat konflik.
”Selain bahaya akibat zat kimia, bahaya biologi juga sangat tinggi karena generator tidak berfungsi dengan baik,” kata Abid.
WHO menyebut bahwa para pihak bertikai tidak memperhatikan hukum humaniter internasional yang melarang serangan terhadap fasilitas kesehatan, seperti klinik dan rumah sakit. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut para pihak bertikai melakukan serangan 14 kali terhadap berbagai fasilitas kesehatan dan mengakibatkan delapan orang tewas serta melukai dua orang.
Sementara itu, gencatan senjata antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat atau RSF diperpanjang selama tiga hari ke depan. Selain membuka jalur kemanusiaan untuk evakuasi warga negara asing dan penyaluran bantuan kepada masyarakat lokal, periode ini juga diharapkan bisa membawa kedua pihak bertikai ke meja perundingan.
Perkembangan terbaru ini diumumkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken. Amerika Serikat bersama dengan Inggris, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab bertindak sebagai penengah di dalam konflik internal Sudan tersebut. ”Gencatan senjata ini efektif sejak Senin (24/4/2023) pukul 24.00 waktu Sudan,” kata Blinken. Jam itu setara dengan Selasa (25/4/2023) pukul 05.00 WIB.
Blinken mengatakan, para penengah menyambut komitmen dari seluruh pihak terkait dan pemangku kepentingan untuk bekerja sama dengan para mitra. Gencatan senjata ini diharapkan bisa berlangsung selamanya sehingga transisi Sudan menuju pemerintahan sipil yang demokratis bisa berlangsung.
Kedua pihak yang bertikai, Angkatan Bersenjatan Sudan di bawah pimpinan Jenderal Abdul Fattah Burhan dan RSF di bawah Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, belum mau bertatap muka. Dalam transisi ke demokrasi, RSF semestinya dilebur ke dalam Angkatan Bersenjata Sudan. Namun, Dagalo menolak opsi ini. Kedua jenderal ini pun berseteru memperebutkan posisi tertinggi sebagai panglima.
Dagalo menuduh Burhan merupakan simpatisan gerakan radikal dan hendak membawa Sudan ke arah tersebut. Sementara itu, Burhan mengatakan tidak boleh ada dua matahari di dalam militer baru. Ia hanya mau melapor kepada kepala negara yang terpilih secara demokratis. Kedua jenderal ini mempunyai rekam jejak sebagai pelanggar hak asasi manusia.
Juru bicara tim transisi pemerintahan Sudan, Khaled Omar Yusuf, mengatakan, konflik bersenjata ini berisiko membawa Sudan menuju perang saudara lagi. Negara ini sudah dua kali dilanda perang saudara. Selain jatuhnya korban jiwa, negara terbesar ketiga di Afrika ini juga terperosok ke dalam jurang kemiskinan.
”Kami sudah berbicara kepada kedua belah pihak dan mengingatkan mereka mengenai perjanjian yang mereka tanda tangani pada tahun 2020,” kata Yusuf, dikutip oleh media Al Rakoba.
Yusuf mengatakan, pada 2020 sengketa antara militer dan RSF ini sudah muncul. Dagalo menolak apabila RSF dilebur ke dalam militer, ia harus melapor kepada Burhan sebagai komandannya. Dagalo dan Burhan kemudian meneken perjanjian untuk menyelesaikan perkara ini melalui negosiasi.
”Sekarang kami menetapkan tiga tahap. Pertama melakukan gencatan senjata. Kedua mempermanenkan gencatan senjata itu. Ketiga baru melakukan pembahasan politik,” tutur Yusuf.
Ia menekankan tim transisi mengecam konflik tersebut. Tim mengatakan, mereka tidak netral, tetapi tidak pula memihak kepada RSF ataupun militer. Mereka berpihak pada perdamaian dan kestabilan Sudan agar rakyat mendapat hak atas pemerintahan yang mereka pilih sendiri.
Gelombang evakuasi
Sejumlah negara, termasuk Indonesia, terus berusaha mengeluarkan warganya dari Khartum, yang sejak hari pertama pecahnya konflik bersenjata telah menjadi medan pertempuran para pihak bertikai. Gencatan senjata selama 72 jam ke depan dimanfaatkan untuk mengevakuasi warga asing dari negara itu.
Gedung Putih, dikutip dari laman CNN, tengah mempertimbangkan mengirim pasukan ke Port Sudan untuk membantu evakuasi warganya. Dua kapal perang AS, menurut seorang pejabat Pemerintah AS, yaitu USS Truxtun dan USS Lewis B Puller, juga dalam perjalanan menuju Port Sudan untuk membantu proses evakuasi.
Tim CNN di Djibouti memperoleh gambar yang dirilis oleh militer AS yang menunjukkan personel mereka tiba di negara itu. Sementara Perancis dan Pakistan menyebut bahwa mereka telah mengevakuasi ratusan warganya, sedangkan China menyebut sebagian besar warganya juga telah ditarik keluar dari negara itu. (REUTERS/AP)