Blok-blok geopolitik semakin kentara. Selain saling mengerahkan persenjataan, para pelaku juga saling menggunakan ekonomi sebagai alat menghadapi pesaingnya.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Berbagai lembaga memprediksi pertumbuhan perekonomian 2023 lebih lambat dibandingkan 2022. Pemerintah berbagai negara, termasuk Indonesia, berusaha memitigasi dampak perlambatan itu. Di tengah dunia yang saling terhubung, sulit mengisolasi suatu negara dari dampak dinamika global.
Dalam telaah potensi 2023, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengungkap hal menggembirakan sekaligus memicu alarm. Menggembirakan karena WTO menaikkan taksiran pertumbuhan perdagangan global dari 1 persen menjadi 1,7 persen. Mencemaskan karena taksiran itu di bawah realiasi pertumbuhan 2022 yang mencapai 2,7 persen. Bahkan, realisasi pertumbuhan 2022 pun lebih rendah dibandingkan taksiran awal. Pada Oktober 2022, WTO menaksir perdagangan global 2022 tumbuh 3,5 persen. Sementara dalam laporan April 2023, realisasinya hanya 2,7 persen.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengungkap prakiraan yang tidak kalah suram. Dari 3,4 persen pada 2022, ekonomi global 2023 ditaksir hanya akan tumbuh 2,8 persen. Sementara inflasi akan tetap tinggi, yakni 7 persen secara global dan 8,6 persen di negara berkembang.
Inflasi, menurut WTO, menjadi salah satu penyebab perlambatan perdagangan global 2023. Selain itu, ada faktor perang di Ukraina dan ketegangan geopolitik, kebijakan uang ketat, serta ketidakpastian sektor keuangan. Kebangkrutan sejumlah bank Amerika Serikat dan Eropa membuat konsumen dan pelaku pasar cemas. ”Penting bagi pemerintah menghindari pembatasan perdagangan,” kata Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala.
Sejak beberapa waktu terakhir, blok-blok geopolitik semakin kentara. Selain saling mengerahkan persenjataan, para pelaku juga saling menggunakan ekonomi sebagai alat menghadapi pesaingnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut fenomena itu sebagai geokonomi.
Perjanjian Dagang
Bagi Indonesia, salah satu upaya mengatasi hambatan dagang adalah dengan aneka perjanjian dagang. Kementerian Perdagangan mencatat lebih dari 20 perjanjian dagang sedang dirundingkan atau dalam tahap penyelesaian. Ada pula perjanjian yang menunggu ratifikasi oleh DPR. Sebagian lagi malah sudah diratifikasi dan ditunggu dampaknya bagi perdagangan Indonesia dengan mitranya.
Bentuk perjanjian dagang itu beragam. Ada perjanjian bilateral, seperti kesepakatan perdagangan bebas (FTA), Kesepakatan Perdagangan Komoditas Tertentu (PTA), atau Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA). Indonesia juga terlibat dalam perjanjian dagang multilateral, seperti Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Kawasan (RCEP), atau sejumlah kesepakatan antara ASEAN dan mitranya.
Dalam lawatan ke Jerman pada 15-17 April 2023, Presiden Joko Widodo menyinggung isu CEPA Indonesia-Uni Eropa. Dimulai sejak 2016 dan telah memasuki putaran ke-13, belum ada perundingan IEU CEPA akan selesai. Di Jerman, Presiden antara lain mempromosikan potensi investasi hilirasi mineral dan tambang.
Menurut Jokowi, nilainya mencapai 545 miliar dollar AS atau hampir tiga kali APBN Indonesia. ”Sampai tahun 2040, ada 21 komoditas dalam peta jalan hilirisasi yang diproyeksikan nilai investasi 545,3 miliar dollar AS. Ini peluang yang sangat besar, yang saling menguntungkan,” kata Presiden.
Kanselir Jerman Olaf Scholz mengisyaratkan dukungan pada proyek hilirasi. Ia setuju investasi UE pada pengolahan hasil mineral dan tambang di Indonesia harus menjadi bagian CEPA. Sikap Scholz menunjukkan jalan tengah atas penolakan UE menanamkan modal pada sektor pengolahan mineral. Selama ini, UE menolak gagasan itu. Bahkan, Brussels malah menggugat Jakarta di WTO soal larangan ekspor tambang dalam bentuk mentah oleh Indonesia.
Kritik
Tidak semua pihak di Indonesia senang dengan aneka perjanjian dagang. Peneliti Transnational Institute, Rachmi Hertanti, antara lain menyoroti penolakan UE soal aturan investasi. Penolakan itu bisa membuat rencana hilirisasi yang digadang Indonesia terhenti. ”Ada banyak kebijakan ekonomi nasional tidak bisa dijalankan gara-gara perjanjian dagang ini,” ujarnya.
Ia juga menyoroti penolakan UE pada aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk produk yang dirakit di Indonesia. Penolakan itu akan membuat Indonesia hanya menjadi pabrik perakitan atas aneka suku cadang yang diimpor dari negara lain.
Metode itu lazim dalam sistem rantai pasok global saat ini. China dan Vietnam sudah lama menerima sistem produksi demikian. Fokus Beijing dan Hanoi adalah penyediaan lapangan kerja bagi warganya. Terlepas apa pun bentuknya dan strukturnya, pekerjaan itu ada.
Masalahnya, menurut Rachmi, perundingan IEU CEPA mengindikasikan penolakan Brussels soal aturan prioritas pekerja lokal. Jika hanya menjadi lokasi pabrik, manfaatnya tidak sebanding. ”Banyak aturan Indonesia tidak selaras dengan IEU CEPA,” katanya.
Bukan hanya yang sedang dirundingkan, pada perjanjian yang sudah selesai pun ada kritik. CEPA Indonesia-Korea Selatan antara lain disoroti Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI). Struktur pasar tekstil Indonesia-Korsel memaksa Jakarta hanya mengekspor bahan baku ke Seoul. Indonesia mengekspor benang ke Korsel, lalu mengimpor kain dari Korsel.
Duta Besar RI di Seoul, Gandi Sulistiyanto, juga menyoroti fakta Indonesia bukan mitra dagang utama Korsel di kawasan. Nilai perdagangan Indonesia-Korsel masih di bawah volume perdagangan Korsel dengan Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Padahal, Indonesia adalah perekonomian terbesar di kawasan. Salah satu hambatan dagang Indonesia-Korsel adalah produk pertanian Indonesia masih kesulitan menembus pasar Korsel. Buah-buahan tropis, seperti salak, pisang, rambutan, dan durian, di negara itu masih diimpor dari negara selain Indonesia. ”Saya kecewa kita tidak bisa masuk. Kalau negara ASEAN lain bisa, kurang apa kita?” kata Gandi.
Ekonom Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan, salah satu persoalan mendasar CEPA dan perjanjian dagang lain adalah fokus pada komoditas mentah. Padahal, nilai tambah tinggi didapat dari industri pengolahan. Ia antara lain khawatir defisit perdagangan Indonesia-Australia malah melebar setelah IA CEPA dijalankan.
Australia membanjiri Indonesia dengan aneka produk peternakan dan pertanian. Sementara produk Indonesia kesulitan masuk Australia karena berbagai alasan. Salah satu alasan utamanya, potensi pasar domestik Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Australia dan banyak negara lain. Alih-alih memacu ekspor, CEPA dan aneka perjanjian dagang malah meningkatkan impor.
Memang, tidak semua impor buruk. Gandi mengatakan, impor baik kalau yang didatangkan adalah barang modal. Meski ada peluang membuat neraca perdagangan Indonesia terhadap Korsel kembali defisit, peningkatan belanja barang modal merupakan hal positif. Sebab, barang-barang itu menjadi sumber penggerak perekonomian Indonesia. (AFP/REUTERS)