IMF menyebut neraca transaksi berjalan Indonesia defisit pada 2022-2024. Hal itu mengindikasikan, ekspor Indonesia terus melemah. Sebab, defisit terjadi jika ekspor lebih rendah dibandingkan impor.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
WASHINGTON, RABU — Dana Moneter Internasional (IMF) menaksir kinerja perekonomian Indonesia 2023-2024 lebih lemah dibandingkan 2022. Inflasi pun akan meningkat sebelum turun lagi pada 2024. Meski demikian, kinerja Indonesia relatif lebih baik dibandingkan rata-rata global. IMF juga menyoroti peningkatan dampak geopolitik pada aliran investasi.
Taksiran itu dipaparkan IMF dalam World Economic Outlook edisi April 2023. Disiarkan pada Selasa (11/4/2023) malam waktu Washington atau Rabu (12/4/2023) pagi WIB, IMF menaksir produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya akan tumbuh 5 persen dan 5,1 persen pada 2023-2024. Tahun lalu, menurut versi IMF, PDB Indonesia tumbuh 5,3 persen.
Saat perekonomian melambat justru inflasi meningkat. Dari 4,2 persen pada 2022, IMF menaksir inflasi Indonesia mencapai 4,4 persen tahun ini dan terpangkas menjadi 3 persen pada 2024. ”Inflasi lebih dari yang diantisipasi,” kata ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas.
Ia merujuk pada fenomena inflasi global yang masih terus bertahan hingga tahun ketiga sejak pandemi melanda. Memang ada tanda penurunan, terutama pada harga pangan dan energi. Walakin, inflasi inti masih akan terus naik di sejumlah negara.
Neraca
IMF juga memberi peringatan serius soal neraca transaksi berjalan. Dalam taksiran versi Oktober 2022, IMF menaksir Indonesia akan surplus pada 2022-2024. Di versi April 2023, IMF menyebut neraca transaksi berjalan Indonesia defisit pada 2022-2024. Hal itu mengindikasikan, ekspor Indonesia terus melemah. Sebab, defisit terjadi jika ekspor lebih rendah dibandingkan impor.
Sejumlah pihak di Indonesia sudah lama memberi peringatan serupa. Peringatan antara lain diberikan kala Bank Indonesia mencatat neraca pembayaran Indonesia surplus 13,2 miliar dollar AS atau 1 persen dari PDB. Pada 2021, surplus NPI hanya 3,5 miliar dollar AS atau 0,3 persen dari PDB. Kenaikan surplus ditopang lonjakan harga komoditas.
CSIS salah satu lembaga Indonesia yang mengingatkan potensi bahaya pada struktur neraca seperti itu. CSIS mengingatkan, lonjakan harga terjadi karena ada gangguan rantai pasok global. Kini, sebagaimana dipaparkan IMF dan Bank Dunia, gangguan sudah mulai teratasi dan hambatan rantai pasok mulai terurai. Dampaknya, harga komoditas mulai menurun.
Bagi Indonesia, sebagaimana proyeksi IMF, kondisi bisa berdampak pada penurunan pendapatan ekspor. Pada akhirnya, hal itu akan berdampak pada pertumbuhan PDB.Mengacu pada data IMF, pertumbuhan PDB Indonesia lebih baik dari rata-rata ASEAN dan global. IMF menaksir ASEAN tumbuh 4,5 persen saja tahun. Adapun secara global, PDB ditaksir hanya tumbuh 2,8 persen saja. ”Pemulihan ekonomi global sudah pada jalurnya,” kata Gourinchas.
Meski lebih baik dari rata-rata global, pertumbuhan ASEAN 2023 lebih buruk dibandingkan tahun lalu. Pada 2022, ASEAN tumbuh 5,5 persen. Meski demikian, dalam proyeksi April 2023, IMF lebih optimistis. Pada Januari 2023, IMF menaksir ASEAN hanya tumbuh 4,3 persen. Di versi lain, taksirannya naik 0,2 persen.
Asia termasuk kawasan yang terus tumbuh. Pelonggaran pembatasan pandemi di China menjadi faktor penting pemulihan perekonomian global. Pelonggaran itu mengurangi gangguan rantai pasok global yang dihantam pandemi lalu krisis akibat perang Ukraina.
Di sisi lain, Gourinchas menyoroti perlambatan global tetap akan terfokus di negara-negara maju. Uni Eropa dan Inggris menjadi pusat perlambatan ekonomi global. Ada peluang pertumbuhan ekonomi di sana minus atau paling tinggi tidak menembus 1 persen. Padahal, pertumbuhan di kawasan lain justru terus semakin cepat.
Dari Amerika dan Eropa, dunia kini sedang dicemaskan dampak sistemik krisis perbankan. Kebangkrutan sejumlah bank di AS dan Eropa meresahkan pasar. Apalagi, ada indikasi banyak bank AS dan Eropa berpotensi ikut bangkrut.
IMF menyimpulkan, kebijakan uang ketat pada 2022 mulai berdampak pada pasar keuangan. Pasar keuangan sudah lama terlena pada aset yang tidak produktif dan jatuh tempo. Kondisi itu terjadi antara lain karena inflasi dan suku bunga acuan yang rendah selama bertahun-tahun.
Kini, kondisi berubah dan bank serta lembaga keuangan nonbank harus beradaptasi. Guncangan pada perbankan AS dan Eropa menunjukkan ada kerentanan yang harus disikapi. IMF memproyeksikan, bank dan lembaga keuangan nonbank akan memangkas biaya dan lebih hati-hati menyalurkan kredit. Keputusan itu bisa memangkas PDB global hingga 0,3 persen.
Investasi
Tim ekonom IMF yang dipimpin JaeBin Ahn menyoroti soal aliran investasi. Dengan memeriksa hingga 300.000 realisasi investasi pada 2003-2022, mereka menyimpulkan investasi sangat terdampak faktor geopolitik. Peningkatan ketegangan geopolitik kini menjadi alasan utama penarikan dan penanaman modal asing. Investasi dari dan ke negara-negara dengan pandangan geopolitik sama cenderung meningkat.
Mereka mengukur kesamaan pandangan geopolitik berdasarkan hasil pemungutan suara di PBB. Adapun aliran investasi diperiksa melalui data IMF. ”Negara dengan pandangan politik sama mencatat aliran investasi lebih besar dibandingkan negara dengan kedekatan geografis,” tulis mereka dalam laporannya.
Faktor geopolitik dalam pertimbangan investasi meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Sebelum pandemi, ada faktor otomatisasi dalam proses pengambilan keputusan penanaman modal. Selepas pandemi dan kini perang Ukraina, geopolitik lebih berperan.
Ahn dan tim menemukan, investasi dari dan ke Asia menurun. Sebaliknya, investasi dari dan ke Eropa terus meningkat. Kondisi terjadi saat AS dan sekutunya mengampanyekan kebijakan mengutamakan investasi ke dalam negeri dibandingkan ke negara lain. Fenomena itu juga terjadi setelah AS melancarkan perang dagang terhadap China.
”Asia menjadi kurang relevan sebagai sumber dan penerima, kehilangan daya tarik dibandingkan kawasan lain. Secara khusus, investasi dari dan ke China terus menurun hingga jauh di bawah rata-rata Asia. Bisa jadi karena dampak pandemi. Di Eropa dan AS, investasi asing malah ada kecendrungan naik,” ujar Ahn dan rekan-rekannya.
Investasi AS di China turun drastis di bawah rata-rata global. Sementara investasi AS di Eropa terus meningkat. ”Perusahaan memilih memindahkan usaha mereka ke negara yang dipercayai pemerintah mereka untuk mengurangi risiko,” kata Ahn.
Tim itu juga menemukan tren penurunan investasi di negara-negara netral. Indonesia dan India termasuk yang paling mencolok penurunan investasinya. Jakarta dan New Delhi terkenal tidak mau memihak ke blok mana pun. (AFP/REUTERS)