Jalan Kembalinya Suriah ke Liga Arab Terbuka Lebar
Pertemuan para menteri negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk memperlihatkan suasana positif seusai terbukanya komunikasi sejumlah negara Arab dengan negara yang tengah berkonflik. Namun, tantangan tetap ada.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
JEDDAH, SABTU — Para menteri luar negeri negara anggota Dewan Kerja Sama Negara Teluk (GCC) dan negara lain, seperti Mesir, Irak, dan Jordania, terus mendiskusikan secara intensif rencana besar perdamaian di kawasan. Sejumlah tantangan mengemuka, termasuk penolakan beberapa negara, di antaranya Turki, untuk menormalisasi hubungannya dengan Suriah.
Dikutip dari laman Asharq al Awsat, Sabtu (15/4/2023), beberapa sumber diplomatik negara-negara Arab menyebut keputusan untuk menerima kembalinya Suriah ke dalam Liga Arab masih dimatangkan. Meski ada beberapa tantangan, menurut sumber diplomatik Arab yang menolak disebut namanya, pembicaraan para menteri luar negeri itu terjadi dalam suasana positif. Ini merujuk ke beberapa kemajuan dalam upaya penyelesaian konflik antarnegara di kawasan sudah dan tengah berlangsung.
Dalam pertemuan yang diprakarsai Pemerintah Arab Saudi itu mereka sepakat negara-negara Arab harus mengambil peran utama untuk menengahi dan mencari solusi konflik yang terjadi di kawasan, termasuk di Suriah. Dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, Sabtu, para menteri luar negeri menekankan pentingnya kepemimpinan dunia Arab dalam mengakhiri krisis.
Di dalam pernyataan yang sama, mereka juga menekankan pentingnya mekanisme untuk mengaktualisasikan peran ini serta diskusi yang lebih intensif agar upaya ini bisa berhasil. Mereka berharap diskusi yang intens bisa memberi solusi untuk menyelesaikan tidak hanya krisis kemanusiaan, tetapi juga krisis politik di Suriah. Salah satunya adalah kembalinya jutaan pengungsi Suriah yang kini tersebar di berbagai kamp pengungsi di banyak negara.
Kepala Unit Studi Arab dan Regional Pusat Studi Politik dan Strategi Al Ahram Mohammad Ezz Al Arab mengatakan, pertemuan di Jeddah diharapkan menjadi titik balik bagi kembalinya Suriah ke dalam organisasi regional itu. Dia juga meyakini negara-negara Arab lebih siap menerima kembalinya Suriah jelang KTT Liga Arab yang akan berlangsung di Riyadh.
Dalam pandangannya, terbukanya kembali hubungan Arab Saudi dengan Iran dan Yaman, Bahrain dengan Qatar, serta Uni Emirat Arab dengan Iran dan Turki, adalah titik awal terjalinnya kembali komunikasi di antara mereka. Namun, dia mengatakan, titik baliknya adalah ketika Arab Saudi menerima kehadiran Menteri Luar Negeri Suriah Faisal Mekdad.
Tantangan
Meski dalam pertemuan tersebut suasana positif terbangun, Al Arab mengatakan, tantangan yang akan dihadapi dalam proses penyelesaian konflik oleh negara-negara Arab, khususnya di Suriah, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Para pihak berpeluang mengajukan berbagai persyaratan tertentu agar mereka bisa mengembalikan keanggotaan Suriah di Liga Arab, seperti stabilitas politik dan keamanan serta oposisi yang terkendali, pemilihan yang transparan, serta proses pengembalian para pengungsi Suriah ke wilayah asalnya.
Aaron Lund, analis di lembaga Century International, mengatakan, rencana normalisasi hubungan dengan Suriah di bawah rezim Presiden Bashar al-Assad bisa dibaca oposisi bahwa negara-negara yang semula mendukung mereka kini mengkhianati dan meninggalkannya. Oposisi akan menganggap ini kemenangan politik bagi Assad dan kekalahan telak bagi oposisi.
Hal itu terbukti di lapangan. Penduduk kota Idlib yang dikuasai kelompok oposisi mengatakan, mereka merasa dikhianati dunia internasional, khususnya oleh negara-negara Arab, dengan rencana normalisasi itu.
”Kami, orang-orang yang tinggal di Suriah utara, merasa sangat dikhianati ketika kami mendengar tentang normalisasi dengan Assad. Bagaimana bisa setelah 12 tahun perjuangan dan revolusi, mereka datang hari ini dan mengatakan kepadanya: di sini kursi belakang Anda di Liga Arab? Ini tidak dapat diterima, kami benar-benar merasa kecewa,” kata Rama Sifu (32), warga Idlib.
Penolakan juga disampaikan Pemerintah Turki. Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu mengatakan, negaranya tidak akan menerima syarat apa pun agar mereka mau bernegosiasi langsung dengan Damaskus, termasuk untuk menarik pasukannya dari wilayah Suriah.
Dalam sebuah wawancara televisi, Cavusoglu mengatakan, Turki tidak akan menarik pasukannya dari wilayah Suriah ketika pasukan kelompok Kurdi masih diperbolehkan berada di negara itu. ”Kami tidak akan menerima syarat penarikan dari wilayah Suriah untuk bernegosiasi,” katanya.
Pemerintah Turki menegaskan bahwa kehadiran militernya di Suriah utara adalah jaminan bagi keamanan wilayahnya dari ancaman kelompok Kurdi, musuh politik pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Ankara menyatakan tidak percaya bahwa rezim Assad bisa mengontrol perbatasan dan mengendalikan kelompok yang dimasukkan sebagai kelompok teror oleh Pemerintah Turki. Meski begitu, Cavusoglu menyebut tidak akan menutup komunikasi dengan Pemerintah Suriah. (AFP/REUTERS)