Kawasan Timur Tengah sampai saat ini terus dirundung ketidakstabilan keamanan dan politik. Perang saudara masih berkecamuk di Suriah, Yaman, dan Somalia. Krisis politik juga masih menghantui sejumlah negara kawasan itu.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Kompas
Musthafa Abd Rahman, wartawan senior Kompas
Sudah sangat maklum bahwa Timur Tengah dikenal sebagai kawasan paling panas dan selalu bergejolak tanpa henti. Secara geografis dan geopolitik, kawasan Timur Tengah meliputi Suriah, Lebanon, Jordania, Israel, wilayah Otoritas Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Mesir, Turki, Iran, Irak, dan Arab Teluk (Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Kesultanan Oman) plus Yaman.
Dalam literatur studi hubungan internasional, kawasan Timur Tengah juga disebut dengan nama Timur Dekat (Near East) atau Asia Barat (Western Asia). Namun, lantaran persamaan bahasa, etnis, agama, dan sejarah, kawasan Afrika Utara (Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, dan Mauritania), serta sebagian wilayah Afrika Timur (Sudan, Somalia, dan Djibouti), secara politik sering dimasukkan atau minimal dikaitkan dengan kawasan Timur Tengah.
Kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan sebagian Afrika Timur disatukan dengan etnis, yakni bangsa Arab, dan bahasa, yakni bahasa Arab, serta agama, yakni mayoritas penduduknya menganut Islam. Lantaran adanya kesatuan etnis, bahasa, dan agama, tiga kawasan tersebut memiliki latar belakang sejarah yang sama, yaitu sejarah Arab dengan segala pasang surutnya sejak abad ke-7 M hingga abad ke-21 M saat ini. Negara-negara di tiga kawasan tersebut kini tergabung dalam organisasi Liga Arab yang beranggotakan 22 negara Arab dengan markas besarnya di kota Kairo, Mesir.
Karena itu, peristiwa apa pun di Timur Tengah membawa dampak atau pengaruh langsung ke kawasan Afrika Utara dan sebagian wilayah Afrika Timur, serta juga sebaliknya.
AP PHOTO/AMR NABIL
Delegasi menghadiri sidang menteri luar negeri negara-negara Arab di markas besar Liga Arab di Kairo, Mesir, 17 Mei 2018.
Di luar dunia Arab, ada tiga negara besar yang masuk kawasan Timur Tengah, yaitu Israel, Turki, dan Iran. Secara geopolitik, kadang-kadang Afghanistan juga dimasukkan dalam kawasan Timur Tengah. Namun, media masih simpang siur tentang menyebut letak geografis Afghanistan. Ada yang menyebut Afghanistan masuk Asia Tengah, sebagian lainnya memasukkan Afghanistan ke wilayah Asia Selatan.
Suatu hal yang pasti adalah Afghanistan berada di persimpangan antara Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Maka, apa yang terjadi di Afghanistan membawa dampak langsung ke tiga kawasan sekaligus, yaitu Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan.
Kawasan Timur Tengah sampai saat ini masih terus dirundung situasi ketidakstabilan keamanan dan politik. Perang saudara masih berkecamuk di Suriah, Yaman, dan Somalia. Krisis politik masih menghantui Sudan, Tunisia, Lebanon, Libya, dan Irak. Gerakan radikal, seperti kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan sejenisnya, masih beroperasi di Irak, Suriah, Somalia, dan Afghanistan.
Pengungsi terbesar akibat perang berada di Timur Tengah, seperti Turki, yang menampung lebih dari tiga juta pengungsi Suriah. Lebanon, yang dilanda krisis politik dan ekonomi, menampung sekitar 1,5 juta pengungsi Suriah. Jordania juga menampung hampir 700.000 pengungsi Suriah. Adapun Mesir menampung sekitar 131.000 pengungsi Suriah. Belum lagi pengungsi Palestina yang berada di Suriah, Lebanon, dan Jordania sejak perang Arab-Israel tahun 1948.
Dampak dari ketidakstabilan kawasan Timur Tengah itu juga merambah Eropa. Jerman menampung sekitar 800.000 pengungsi Suriah. Inggris menampung sekitar 11.000 pengungsi Suriah.
Menurut laporan Komisi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), ada lebih dari 13,2 juta pengungsi Suriah. Dari jumlah tersebut, sekitar 6,7 juta pengungsi Suriah berada di luar negeri dan sisanya menjadi pengungsi di dalam negeri Suriah sendiri.
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Anak-anak pengungsi mengikuti acara perayaan Hari Anak-anak Dunia di kamp pengungsi Haranbush di wilayah Provinsi Idlib, Suriah barat laut, 20 November 2021.
Konflik Timur Tengah dalam sejarah modern bermula dari lahirnya negara Israel tahun 1948 yang memicu perang Arab-Israel pertama tahun 1948. Konflik Arab-Israel, yang kini makin menyempit menjadi konflik Israel-Palestina, sampai saat ini menjadi sumber utama ketidakstabilan di kawasan Timur Tengah. Meski makin banyak negara Arab membuka hubungan resmi dengan Israel, isu Palestina tetap menjadi hambatan utama terciptanya stabilitas di kawasan Timur Tengah selama rakyat Palestina belum mendapatkan hak-hak mereka.
Selain itu, yang juga berandil besar atas terus makin bergejolaknya kawasan Timur Tengah adalah invasi militer Irak ke Kuwait tahun 1990, serangan teoris atas kota New York dan Washington DC tahun 2001 yang dilakukan aktivis Al Qaeda, kemudian invasi militer AS ke Afghanistan tahun 2001 dan ke Irak tahun 2003.
Turut berandil pula atas situasi tidak stabil di Timur Tengah adalah meletusnya Musim Semi Arab tahun 2010-2011 dan kemudian berlanjut sampai tahun 2019-2020. Musim Semi Arab tersebut berhasil menumbangkan rezim diktator di Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman pada tahun 2011 serta menumbangkan rezim diktator di Aljazair dan Sudan pada tahun 2019.
AP PHOTO/AMR NABIL, FILE
Foto tanggal 10 Oktober 2010 ini memperlihatkan (depan, dari kiri ke kanan) Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Pemimpin Libya Moammar Khadafy, dan Presiden Mesir Hosni Mubarak, serta di belakang mereka para tokoh dan pemimpin Arab dan Afrika lainnya dalam pertemuan pemimpin Arab dan Afrika di Sirte, Libya. Saleh, Khadafy, dan Mubarak terguling dari kekuasaan mereka selama Musim Semi Arab.
Fenomena perang dan krisis politik yang melanda kawasan Timur Tengah tersebut adalah akibat dari beberapa sebab yang membuat kawasan itu terus bergejolak. Ada beberapa sebab atau faktor di balik terus bergejolaknya kawasan Timur Tengah tersebut.
Pertama, nilai strategis kawasan Timur Tengah yang mengundang untuk menjadi rebutan pengaruh kekuatan internasional maupun regional. Seperti diketahui, kawasan Timur Tengah menjadi lintasan transportasi laut yang menghubungkan Eropa dan Asia melalui Laut Merah dan Terusan Suez.
Timur Tengah juga merupakan sumber minyak dan gas terbesar di muka bumi ini yang membuat ekonomi internasional sangat bergantung pada kawasan Timur Tengah. Kawasan Timur Tengah memproduksi sekitar 27 persen kebutuhan minyak dunia. Dan pada tahun 2019, kawasan Timur Tengah memproduksi 685,7 miliar meter kubik gas.
Menurut lembaga kajian geologi AS, cadangan minyak dan gas ditemukan di area seluas 83.000 kilometer persegi di Laut Tengah Timur dengan cadangan gas mencapai 287 triliun meter kubik dan minyak cair mencapai 1,7 miliar barel.
AFP/FAYEZ NURELDINE
Kawasan pengolahan minyak Abqaiq milik perusahaan Arab Saudi, Aramco, seperti terlihat dalam foto yang diambil pada 20 September 2019. Aramco, Rabu (11/3/2020), mengumumkan keputusan untuk menaikkan kapasitas produksi minyaknya hingga 13 juta barel per hari.
Laut Tengah Timur notabene adalah bagian dari kawasan Timur Tengah. Negara-negara yang bertepi ke Laut Tengah Timur adalah Suriah, Lebanon, Israel, Turki, Mesir, Siprus, dan Jalur Gaza (Otoritas Palestina). Karena itu, kekuatan internasional, seperti AS, Rusia, dan China, serta kekuatan regional, seperti Turki, Iran, dan Israel, terus bertarung berebut pengaruh dan berusaha menguasai sebesar mungkin sumber kekayaan alam di kawasan Timur Tengah.
Kedua, isu hubungan agama dan negara yang masih belum selesai di kawasan Timur Tengah. Bahkan, hubungan agama dan negara sering dipertentangkan di kawasan tersebut. Ini yang kerap memunculkan pertarungan antara gerakan Islam politik dan gerakan nasionalis yang melahirkan krisis politik di banyak negara Arab. Hal ini yang berandil besar atas lahirnya gerakan yang berideologi transnasional, seperti NIIS, Al Qaeda, dan sejenisnya.
Ketiga, tiadanya budaya demokrasi di dunia Arab. Gagalnya Musim Semi Arab pada tahun 2011 dan 2019 akibat tiadanya budaya demokrasi di kawasan itu. Kekuatan-kekuatan sipil yang berhasil menumbangkan rezim diktator lewat gerakan Musim Semi Arab pada tahun 2011 dan 2019 itu gagal membangun kultur dan sistem demokrasi. Sebaliknya mereka menyingkirkan satu sama lain, sementara kekuatan politik yang paling kuat berusaha memonopoli kekuasaan.
Pemilu hanya dijadikan jembatan bagi kekuatan politik yang menang untuk menyingkirkan sama sekali kekuatan politik yang kalah. Kekuatan politik yang menang mau memonopoli kekuasaan. Akibatnya meletus perang saudara di Libya, Yaman, dan Suriah serta krisis politik di Sudan, Tunisia, dan Irak. Adapun di Mesir, militer kembali berkuasa setelah kekuatan sipil gagal mengelola negara saat mereka mendapat kesempatan berkuasa pada tahun 2012-2013.
Itulah beberapa faktor utama di balik kawasan Timur Tengah terus bergejolak tanpa henti. Akan sampai kapan semua itu terjadi?