Restrukturisasi Utang Negara Miskin Mandek di Wacana
Kini, 60 persen negara termiskin sedang dalam tekanan serius oleh beban utang dan masalah lain. Inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, penurunan pertumbuhan telah memicu potensi krisis.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
WASHINGTON, KAMIS - Bank Dunia kembali mendesak kreditor mencari cara mengatasi persoalan utang negara miskin. Tekanan utang membuat negara miskin kesulitan menyediakan layanan bagi warganya.
Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan, kreditor menyia-nyiakan waktu untuk membahas soal restrukturisasi utang negara miskin. Sampai sekarang belum ada kesepakatan soal restrukturisasi.
”Penting untuk membuat kemajuan. Negara-negara perlu mendapatkan pengelolaan utang yang transparan dan berkelanjutan demi memulai lagi investasi publik, yang selama ini melambat,” ujar Malpass, Rabu (12/4/2023) malam di Washington atau Kamis dini hari WIB.
Malpass kembali menjadikan restrukturisasi utang sebagai tema pembahasan dalam Pertemuan Musim Semi Dana Moneter Internasional (IMF)- Bank Dunia di Washington. Berlangsung pada 10-14 April 2023, pertemuan itu dihadiri para pengambil keputusan sektor moneter dan fiskal global.
Malpass menyebut, tidak ada kemajuan dalam pembahasan restrukturisasi. Padahal, isu itu sudah bertahun-tahun dilontarkan. Selain itu, beban utang pemerintah di sejumlah negara terus membengkak.
Pada 2011-2019, utang 65 negara berkembang rata-rata naik setara 18 persen produk domestik bruto (PDB). Bahkan, di sebagian Afrika, kenaikannya setara 27 persen PDB.
Pada 2011-2019, utang 65 negara berkembang rata-rata naik setara 18 persen produk domestik bruto (PDB).
Kini, 60 persen negara termiskin sedang dalam tekanan serius oleh beban utang dan masalah lain. ”Inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, penurunan pertumbuhan telah memicu potensi krisis, seperti dialami negara maju pada dekade 1980-an,” sebut Bank Dunia dalam pernyataannya.
Pengurangan bahkan penghapusan utang, menurut Bank Dunia, harus menjadi prioritas setidaknya bagi 39 negara. Itu karena negara-negara tersebut amat rendah pendapatannya sehingga nyaris tidak memiliki ruang fiskal untuk program pemberantasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pembangunan lainnya.
Direktur Departemen Fiskal IMF Vitor Gaspar mengatakan, tren kenaikan utang pemerintah akan berlanjut. Pada 2028, total utang global akan mencapai 99,6 persen PDB global. ”Kenaikan akan terjadi di sejumlah besar negara maju dan negara berkembang. Dampak terbesar dihasilkan dua negara terkaya,” katanya kepada Reuters.
IMF menyimpulkan banyak negara akan kesulitan mengatasi krisis pangan dan energi gara-gara beban utang. Kenaikan suku bunga acuan ikut memberi tekanan karena menyebabkan pemerintah harus menaikkan imbal hasil obligasi agar tetap menarik investor.
Kenaikan imbal hasil berarti memperbesar porsi anggaran negara untuk membayar cicilan bunga utang. Dampaknya, negara akan kekurangan dana untuk program lain.
IMF mengapresiasi langkah penghematan di setidaknya 75 persen negara di dunia. Dari 100 persen PDB pada 2020, akumulasi utang publik global pada 2022 terpangkas 8 persen menjadi 92 persen pada 2022. Meski merupakan penurunan tertinggi sejak Perang Dunia II berakhir, nilai utang publik global masih di atas aras sebelum pandemi Covid-19.
Gaspar menambahkan, negara maju bisa memangkas utang setara hingga 3 persen PDB pada 2022. Kecepatan penurunan bergantung pada penyelesaian pandemi Covid-19 dan mengelola dampaknya. Sayangnya, di negara miskin justru terjadi sebaliknya.
Sementara itu, Bank Dunia, IMF, dan India, selaku presiden G20 tahun ini, mengeluarkan pernyataan bersama setelah pertemuan penuh pertama pada Global Sovereign Debt Roundtable. Salah satu kesepakatannya adalah menyetujui cara untuk memulai dan memfokuskan upaya restrukturisasi utang yang telah lama terhenti. (AFP/REUTERS/RAZ)