”Perang Dingin” AS-China Mentalkan Pembahasan Utang Negara-negara Termiskin
”Hari-hari indah itu kini terlalu berlalu,” kata Scott Morris, mantan pejabat keuangan AS dan kini bekerja di Center for Global Development. ”Kini tidak ada niat untuk terlibat bersama lagi seperti dulu,” lanjutnya.

Foto selebaran yang diambil dan dirilis Biro Informasi Pers India (PIB) pada 23 Februari 2023 menunjukkan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva (kiri), Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman, dan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati saat pertemuan G20 di Bengaluru, India.
Perang dingin antara Amerika Serikat dan China turut menyebabkan pembahasan utang negara-negara termiskin di dunia kehilangan fokus. Sejauh ini tidak ada yang bisa mempertemukan dua kekuatan geopolitik terbesar dunia itu. Efeknya adalah lambatnya langkah pengurangan beban utang negara-negara yang tertimpa beban tambahan efek kenaikan suku bunga di AS.
Pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Bengaluru, India, 23-24 Februari 2023, turut membahas isu utang tersebut. Sejauh ini tidak terlihat kemajuan. Korbannya adalah warga di negara-negara termiskin akibat kenaikan beban pembayaran utang, yang membuat pemerintah kesulitan memenuhi kebutuhan warganya.
Terlalu banyak porsi penerimaan negara-negara termiskin dan cadangan devisa yang harus dipakai untuk membayar utang, terutama Etiopia. Situasi ini memunculkan kembali isu dekade yang hilang seperti pernah menerpa kawasan Amerika Latin pada 1980-an akibat tumpukan beban utang tak terbayarkan. ”Garis bawahnya adalah kita bisa menghadapi lagi dekade yang hilang di banyak negara,” kata Carmen Reinhart, mantan ekonom Bank Dunia dan kini profesor di Harvard University, sebagaimana dikutip Bloomberg, 22 Februari 2023.
Baca juga: Di Tengah Persaingan AS-China, Menjaga ”Pelanduk” Tak Mati di Tengah
Sebutan dekade yang hilang merujuk pada lambatnya pertumbuhan karena pelarian dana-dana asing. Kemiskinan menjadi warna utama negara-negara Amerika Latin dan Afrika pada dekade 1980-an itu. Hal ini memunculkan gelombang migrasi akibat kemiskinan di negara-negara asal.
Untungnya situasi disebut relatif berbeda sekarang ini. Bayang-bayang dekade yang hilang tidak akan separah dekade 1980-an. Keuntungan lain adalah efek domino krisis utang juga tidak akan separah dekade 1980-an dan 1990-an. Pada dekade itu setiap krisis utang di satu negara mudah menyulut negara lain untuk terjebak krisis serupa.
Kini semakin banyak negara yang dulu ”kehilangan dekade” memiliki pertumbuhan dan devisa yang lebih tinggi. ”Kita tampaknya tidak akan menyaksikan efek domino yang meluas seperti sebelumnya sehubungan dengan perbaikan fondasi perekonomian,” demikian dituliskan pada 6 September 2022, oleh James Wilson, pakar tentang utang negara berkembang dari Inggris.
Seruan bermunculan

Namun, krisis utang di sejumlah negara termiskin berpotensi menjadi sumber tragedi kemanusiaan. Sebanyak 19 negara yang tertimpa utang paling berat memiliki penduduk 900 juta jiwa. Hal ini mencuatkan seruan agar keringanan utang dilakukan segera. Ditambah dengan 19 negara itu, kini 70 negara berpendapatan rendah sedang menghadapi beban utang berat sebesar 326 miliar dollar AS. Utang berstatus parah itu hanya sebagian dari total 1,4 triliun dollar AS utang luar negeri negara-negara berkembang.
Situasi sulit itu diakui dan solusinya secara umum sudah disepakati oleh G20 dalam pertemuan 13 November 2020. Namun, dua tahun setelah pertemuan 2020 itu, kesepakatan G20 untuk memberikan pertolongan semakin buram. Perseteruan geopolitik AS-China mengaburkan rencana pemberian keringanan pembayaran utang.
Zambia merasakan efek pertarungan AS-China tersebut. Ini menyebabkan beban utang 13 miliar dollar AS seperti ”ciuman kematian”, menurut istilah Presiden Zambia Hakainde Hichilema. ”Zambia seperti pion Perang Dingin,” kata mantan Menteri Perdagangan Zambia Dipak Patel. Hal serupa juga dirasakan beberapa negara lain, termasuk Sri Lanka.
Keadaan yang membuat situasi di negara-negara tersebut kian parah tertangkap dari ucapan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres di Addis Ababa, Etiopia, 18 Februari. Guterres menyebutkan, sistem keuangan internasional telah mengenakan suku bunga yang mencekik di tengah situasi sulit. ”Sistem keuangan global rutin menolak permohonan keringanan utang sekaligus mengenakan bunga tinggi,” katanya.
Akar permasalahan
Akar permasalahan sehingga solusi utang tidak menemukan jalan terbaiknya adalah perseteruan AS-China. Perseteruan ini mengaburkan niat meringankan utang. Salah satunya, isu utang negara-negara termiskin telah dipakai sebagai ajang untuk saling menyudutkan di antara AS dan China.
Narasi AS dan Barat mencuatkan isu bahwa utang-utang negara berkembang yang tak terbayarkan adalah hasil perangkap China lewat pemberian pinjaman sejak dekade 1990-an. Ini terjadi setelah AS dan Eropa disebut rela memangkas utang-utang negara-negara termiskin pada 1996. Sejak itu AS dan Eropa tidak lagi bersedia memberikan pinjaman besar ke negara-negara termiskin.

Harian The Washington Post, 23 Februari 2023, menuliskan bahwa China kemudian menjadi kreditor utama bagi negara-negara berkembang dengan porsi sekitar 50 persen, mengutip data Bank Dunia. Utang asal China ini dikenakan bunga tinggi. Harian AS ini menyebut China mirip predator alias pemangsa lewat jebakan utang.
Disebutkan pula, lewat utang, China mencoba melepas pengaruh AS terhadap sejumlah negara pengutang. ”China mengeksploitasi pengutang,” demikian The Washington Post, seraya menuliskan bahwa China memiliki beban moral untuk mengatasi utang negara-negara berkembang sekarang ini.
Tekanan terhadap China terus dicuatkan termasuk oleh Menteri Keuangan AS Janet Yellen. Ia sebutkan, China harus memiliki peran besar untuk mengatasi utang negara-negara berkembang. Yellen mengatakan, China tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi secara menyeluruh dan menyebut China sebagai hambatan untuk pembahasan keringanan utang.
Serangan demi serangan dari Barat terus diarahkan ke China, termasuk oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva. Namun, serangan Barat itu tidak memiliki dasar kuat.
Baca juga: Bank Dunia: Negara Miskin Butuh Keringanan Utang G20 Lebih Cepat
Jawaban China
China menepis tuduhan bahwa pinjaman telah dipakai sebagai utang yang menjerat negara-negara berkembang. Harian China Daily, 13 Desember 2022, mengutip Duta Besar China untuk AS kala itu, Qin Gang, yang mengatakan tuduhan jebakan utang tidak benar dan tidak berdasar. Qin, yang kini menjabat Menlu China, mengatakan, Afrika seharusnya menjadi ajang kerja sama internasional ketimbang ajang persaingan geopolitik. ”Pinjaman China ke Afrika bukan jebakan, melainkan pemberi manfaat,” kata Qin.
Tuduhan ”jebakan utang” dalam pandangan China dipakai Barat sebagai alat untuk mencoreng pamor China. Barat membuat kampanye buruk untuk kelangsungan kerja sama China dengan negara-negara berkembang. Qin menegaskan, dalam dua dekade terakhir, pinjaman China berguna untuk pembangunan ekonomi dan sosial di Afrika lewat pembangunan rumah sakit, jalan tol, bandara, dan stadion. ”Jelas, tidak ada jebakan, itu bukan sebuah plot, pinjaman berlangsung transparan, jujur,” kata Qin.

Menteri Luar Negeri China Qin Gang di Beijing, 21 Februari 2023.
Qin juga mengutip hasil studi badan karitas Inggris, Debt Justice, bahwa Afrika malah memiliki utang tiga kali lebih besar ke lembaga Barat ketimbang ke China. Beban bunga pinjaman Barat ke Afrika dua kali lebih tinggi dari suku bunga pinjaman China. ”China bukan kreditor terbesar ke Afrika dan pinjaman asal China hanya memiliki porsi kecil,” kata Qin.
China Daily juga mengutip data Bank Dunia pada 2022 yang menunjukkan, 28,8 persen utang Afrika diberikan lembaga keuangan multilateral Barat dan 41,8 persen diberikan kreditor komersial Barat. Dengan demikian, Barat memiliki porsi pinjaman hampir tiga perempat ke Afrika.
Qin menegaskan, China telah berpartisipasi dalam kerangka pemberian keringanan utang lewat G20 dan telah merealisasikan sebagian sesuai cara China. ”Kini kami menyerukan agar kreditor lainnya, lembaga multilateral dan kreditor swasta, untuk mengambil langkah pengurangan utang bagi Afrika,” kata Qin.
Ia menambahkan, China siap mendukung kerja sama internasional untuk meringankan Afrika, termasuk bekerja sama dengan AS. ”Ada banyak area yang bisa menjadi wadah bagi kerja sama antara AS dan China. Dunia berharap AS-China bisa bekerja sama untuk memberi manfaat pada dunia,” kata Qin.
Kerja sama yang sulit
Namun, kerja sama AS-China tampaknya makin sulit terwujud. Di masa lalu, pejabat AS-China sering bertemu dalam berbagai kesempatan untuk mengatasi banyak persoalan bersama dalam skala global dan bilateral. Kedua negara pernah sama-sama mampu menyingkirkan perbedaan. ”Hari-hari indah itu kini terlalu berlalu,” kata Scott Morris, mantan pejabat keuangan AS dan kini bekerja di Center for Global Development. ”Kini tidak ada niat untuk terlibat bersama lagi seperti dulu,” lanjutnya.
AS yang semakin agresif terhadap China menurunkan daya tawar-menawar terhadap China. Mark Sobel, mantan perwakilan AS di IMF dan kini Ketua Official Monetary and Financial Institutions Forum, mengatakan, serangan AS tampaknya gagal memaksa China bekerja sama. Sobel juga menambahkan, China perlu lebih dipaksa lagi keras lagi agar terlibat.

Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen berpidato di hadapan media saat konferensi pers pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 hari kedua di Bengaluru, India, 23 Februari 2023.
Namun, pemaksaan apa pun akan sulit terwujud. Antara AS dan China terdapat perbedaan tentang pola penyelesaian beban utang negara-negara berkembang. AS menginginkan partisipasi China sepenuhnya dalam pengurangan utang lewat kerangka yang dikomandoi G20, tetapi di balik itu ada peran tunggal IMF sebagai pengarah utama.
Persoalannya, dalam pandangan China, G20 sering menjadi alat bagi AS untuk menekankan kepentingannya. Bagi China, Bank Dunia dan IMF ada di bawah pengaruh kuat AS. Untuk itu, China memilih cara tersendiri mengurangi beban utang negara berkembang, di luar komando IMF. Persoalan terjadi, seperti dikutip The Global Times, 23 Februari, bahwa AS memaksa beberapa negara berkembang menolak kesepakatan restrukturisasi utang yang diatasi secara tersendiri dengan China. Intinya, China harus ikut skema IMF untuk pengurangan beban utang.
Beban tak berimbang
Menambah pelik situasi, AS dan lembaga internasional yang dikuasai Barat menuntut China memikul tanggung jawab moral yang lebih besar untuk pengurangan utang negara termiskin. Di sisi lain, China menghendaki agar peran sertanya dalam kerangka bersama G20 harus memiliki kejelasan.
Untuk kasus utang Zambia dan Sri Lanka, misalnya, China menuntut agar pinjaman Bank Dunia dan lembaga multilateral lainnya dimasukkan serentak dalam pembahasan restrukturisasi utang. AS dan Bank Dunia menolak ide China ini. Alasannya, jika Bank Dunia dan lembaga multilateral lainnya ikut serta dalam pengurangan utang (haircut), hal itu akan melemahkan kemampuan keuangan Bank Dunia untuk menolong negara yang menghadapi situasi daurat.
China berpendapat, jika Bank Dunia kekurangan dana, hal itu bisa diatasi dengan menambah kontribusi negara-negara anggota Bank Dunia. Persoalannya, AS tetap ingin mendominasi Bank Dunia dan menolak tuntutan reformasi Bank Dunia yang pernah diajukan China.
Baca juga: Pemulihan Negara Miskin Jadi Fokus G20
Penolakan China terhadap pengecualian Bank Dunia atas rencana pengurangan utang negara termiskin juga memiliki dasar kuat. Harian The Global Times, 6 Februari, menuliskan, Barat sebagai negara dan lembaga komersialnya sering memasok pinjaman lewat Bank Dunia dan IMF dengan status status pinjaman swasta. Blackrock dan Allianz, misalnya, terkenal sebagai pemasok pinjaman ke sejumlah negara berkembang.
Kunci utama adalah membawa China ke dalam percakapan agar bisa terwujud sebuah proses yang bisa diterima semua pihak.
”Jadi jelas, lembaga keuangan Barat dan kreditor komersial harus memikul tanggung jawab lebih besar untuk pengurangan beban utang. Entah China bersedia menghapuskan sebagian utang atau tidak, adalah tanggung jawab Barat memikul beban utama karena perannya sebagai pemberi pinjaman terbesar,” demikian harian tersebut.
Bagaimana mengatasi perbedaan pandangan dan tuntutan di antara AS dan China? Inilah yang menjadi masalah dalam pemberian keringanan utang negara berkembang. ”Kita menghadapi situasi sangat berat yang memunculkan pertanyaan tentang kesinambungan pembayaran utang,” kata Sonja Gibbs, Direktur Pelaksana Institute of International Finance (IIF), yang mewakili kreditor swasta dan lembaga keuangan lainnya.
”Kunci utama adalah membawa China ke dalam percakapan agar bisa terwujud sebuah proses yang bisa diterima semua pihak,” kata Gibbs. Ia menambahkan bahwa kreditor swasta bersimpati pada pandangan China. ”Jelas ada tuntutan akan peran setara bagi semua kreditor,” kata Gibbs. Sebab, jika Bank Dunia dikecualikan dalam pembahasan keringanan utang, itu berarti beban lebih besar akan dipikul pihak lainnya.
Akar krisis utang
China juga memiliki argumentasi lain yang disetujui para pengamat di balik kenaikan beban utang negara berkembang. Gibbs, misalnya, menyebutkan bahwa di samping efek pandemi Covid-19, beban utang negara berkembang juga naik karena kenaikan suku bunga global, dipicu kenaikan suku bunga di AS. China turut menuduh Barat, khususnya AS, telah memicu kenaikan suku bunga utang negara-negara berkembang karena pengelolaan AS yang tidak baik tentang perekonomiannya.
Negara-negara berkembang juga ketiban beban akibat kenaikan harga komoditas, yang menaikkan pengeluaran, termasuk sebagai efek geopolitik, seperti invasi Rusia ke Ukraina. Narasi China, invasi Rusia ke Ukraina dengan segala efeknya, adalah resultante dan hegemoni AS.
Namun, China mengatakan tetap melakukan cara tersendiri untuk meringankan beban utang negara berkembang meski hal itu dilakukan dengan caranya tersendiri. Lalu bagaimana dengan AS?

Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman (tengah) tiba di gedung pertemuan untuk menghadiri pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 hari kedua di Bengaluru, India, 23 Februari 2023.
Persoalannya, AS sering berpikir tentang kepentingannya sendiri. Dalam pertemuan G20 di Bengaluru, misalnya, AS lebih memberi perhatian pada Ukraina dan menjadikan ajang G20 untuk mengecam Rusia. Ini sesuatu yang ditolak India sebagai presiden G20 sekarang ini.
Perseteruan geopolitik AS-China telah memasuki ruang perdebatan tentang cara meringankan utang negara-negara berkembang. (REUTERS/AP/AFP)