Di Tengah Persaingan AS-China, Menjaga ”Pelanduk” Tak Mati di Tengah
Persaingan AS-China tidak akan meredup dalam waktu dekat, tapi sebaliknya akan terus memanas. Indonesia di satu sisi tetap menjaga relasi dengan keduanya, tapi juga harus mencari celah keuntungan ekonomi.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, LUKI AULIA dari BEIJING, CHINA
·7 menit baca
Selama setahun terakhir, pabrikan otomotif China, Chery Automobile, mengenalkan kembali produk-produk mereka ke calon konsumen di Indonesia. Memajang produk unggulan di dua pameran otomotif, Indonesia International Motor Show (IIMS) dan GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS), mereka menawarkan produk dengan platform baru yang lebih segar dan kekinian.
Di luar itu, PT Chery Motor Indonesia memiliki rencana lain. Manajemen Chery tidak sekadar ingin berjualan produk di Indonesia, tapi juga menjadi pemasok bagi pasar otomotif ASEAN, Australia, dan Selandia Baru. Presiden Direktur PT Chery Motor Indonesia Shawn Xu, ditemui di sela-sela pengumuman harga produk, Rabu (23/11/2022), di Jakarta, menyatakan, target mereka adalah menjadikan Indonesia basis produksi dan riset untuk pasar kendaraan setir kanan global.
”Kami ingin memusatkan riset dan produksi mobil setir kanan. Pasar yang besar. Ini dibuktikan dengan angka dan pertumbuhan,” ujarnya. Cara itu membuat jangkauan produksi Chery nantinya tidak hanya ASEAN, Australia, dan Selandia Baru, tetapi pasar global termasuk Inggris, Amerika Latin, hingga Afrika.
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Jongkie Sugiarto menilai, kehadiran ini positif bagi perkembangan dunia bisnis di Indonesia, tidak sekadar sebagai pasar. Kehadiran beberapa industri otomotif China di Indonesia memiliki keuntungan ekonomi lainnya, dari berkembangnya industri komponen dalam negeri hingga tenaga kerja.
Chery bukan satu-satunya industri otomotif China yang masuk ke pasar Indonesia dan menjadikan negara ini sebagai basis produksi. Sebelumnya ada Wuling yang menjadi basis produksi untuk wilayah ASEAN. Produknya diekspor ke sejumlah negara ASEAN.
Pengamat hubungan internasional Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nanto Sriyanto, menilai, kondisi itu bisa dibaca dalam dua kacamata, yaitu Indonesia menjadi peluang pasar yang menarik bagi para pebisnis otomotif China atau bagian dari mengembangkan pengaruh China seiring kebijakan politik luar negerinya.
Asertif dan agresif
Di mata Presiden China Xi Jinping, China semakin dekat dengan mimpi ”peremajaan nasional” melalui modernisasi dan merebut kembali tempat yang selayaknya di dunia. Hanya, Xi menyadari jalan menuju masa depan tidak mulus dan penuh ”angin kencang, gelombang, bahkan badai berbahaya”. Peringatan ini diungkapkan Xi saat Kongres Partai Komunis China (PKC) pada akhir Oktober 2022.
Dalam laporan kerja Xi yang dibacakan di kongres disebutkan, tantangan China datang dari situasi internasional yang suram dan kompleks serta ancaman eksternal untuk menekan dan menahan China. Tekanan dan ancaman ini bisa meningkat kapan saja.
China tidak bisa berkembang dalam isolasi dan dunia juga membutuhkan China untuk berkembang.
Xi kembali memimpin China untuk periode ketiga dalam situasi dunia yang sangat berbeda dari periode sebelumnya. Hubungan China dan Barat sudah berubah drastis karena hubungan AS-China yang tegang gara-gara perang dagang dan teknologi, isu Taiwan, pandemi Covid-19, isu hak asasi manusia di China, dan penolakan China untuk mengecam perang Rusia di Ukraina. Laporan kerja Xi, rencana aksi lima tahunan yang disampaikan selama kongres juga menunjukkan ”perubahan drastis” pada lanskap internasional.
Seusai mengumumkan Komite Tetap Politbiro PKC, Xi berjanji, pintu China ke dunia akan terbuka semakin lebar. Pembangunan China akan menciptakan lebih banyak peluang bagi dunia. ”China tidak bisa berkembang dalam isolasi dan dunia juga membutuhkan China untuk berkembang,” kata Xi.
Janji membuka diri itu setidaknya ditunjukkan China melalui lawatan Xi ke KTT G20 dan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) serta pertemuan bilateralnya dengan 20 pemimpin negara di sela-sela kedua acara itu. Sejumlah pemimpin negara juga berkunjung ke China pascapandemi Covid-19 seperti Presiden Joko Widodo, akhir Juli lalu. Selain itu, di China dalam beberapa bulan terakhir ini juga kerap diadakan acara berskala internasional di sektor perdagangan, ekspor dan impor, serta investasi, seperti China International Import Expo (CIIE) di Shanghai, The 6th China-South Asia Exposition, serta The 26th China Kunming Import and Export Fair di Kunming, Provinsi Yunnan.
Dengan penduduk lebih dari 1,4 miliar orang, China menyediakan pasar yang sangat besar. Jumlah kelompok penduduk berpenghasilan menengah di China sudah melampaui 400 juta jiwa dan akan terus tumbuh. Daya beli masyarakat China yang sangat besar, ditambah komitmen pemerintah untuk membuka pasar lebih luas, akan memberikan dorongan kuat bagi perkembangan ekonomi di negara-negara lain.
China menyatakan tidak mencari hegemoni, tetapi memperkuat kerja sama multilateral demi masa depan bersama. Membina kemitraan, bukan aliansi, ini yang menjadi tujuan utama diplomasi China.
Nur Rachmat Yuliantoro, pengamat China di Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, menilai, dengan Xi kembali memimpin China lima tahun ke depan, terdapat argumen bahwa kebijakan luar negerinya akan semakin asertif. Pada beberapa isu, China akan berlaku agresif ketika kekuatan militernya menjadi alat untuk membantu pencapaian kepentingannya. Dalam konteks inilah China tidak akan tunduk begitu saja terhadap kepentingan Amerika Serikat.
Sebaliknya, Xi akan semakin tegas menunjukkan postur kebijakan yang ”keras” terhadap AS, misalnya dalam isu Taiwan dan sengketa di Laut China Selatan. "Tahun 2023 saya perkirakan akan menjadi tahun yang diisi dengan 'gonjang-ganjing' dalam relasi kedua negara," ujarnya.
Hubungan AS-China kini berada pada fase terendah. Di bidang ekonomi, kedua negara saling menjatuhkan sanksi atas produk-produknya. Pemerintahan Presiden AS Joe Biden mendesak agar para pengusaha AS di China memindahkan bisnisnya dari negara itu menyusul tensi geopolitik yang semakin tinggi di antara dua negara. Akan tetapi, untuk membawa keluar para pebisnis AS dari China tidak semudah membalikkan telapak tangan. Rantai pasok yang sedemikian terikat membuat proses itu sulit. Meski demikian, Apple menjadi salah satu perusahaan AS pertama yang memindahkan sebagian produksinya dari China. Tahun 2022, Apple memindahkan 5 persen kapasitas produksinya dari Negeri Tirai Bambu itu. Manajemen Apple memproyeksi, pada 2025 seperempat produksi mereka akan pindah ke India.
Kekuatan menengah
Dinamika persaingan AS-China menempatkan Indonesia sebagai kekuatan menengah di kawasan bak pelanduk di antara dua gajah yang berseteru. Di satu sisi, Indonesia memiliki sejarah hubungan diplomasi yang baik dengan Amerika Serikat. Bahkan, AS menjadi salah satu negara dengan nilai penanaman modal asing terbesar kelima di Indonesia. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada kuartal I-2022 saja, investasi AS sebesar 1,4 miliar dollar AS atau setara 6,5 persen dari total penanaman modal asing.
Di sisi lain, Indonesia memiliki hubungan diplomatik dan ekonomi yang baik dengan China. Dalam catatan BKPM, China saat ini menempati urutan ke-2 investor terbesar dengan nilai 3,6 miliar dollar AS atau 16,8 persen total penanaman modal asing di Indonesia.
Bahkan, apabila digabung dengan Hong Kong—yang saat ini kembali bergabung dengan China setelah menjadi wilayah administrasi Inggris—total Investasinya mencapai 7,5 miliar dollar AS. Ini lebih besar dari investasi Singapura yang mencapai 6,7 miliar dollar AS.
Akan tetapi, pendekatan AS selama beberapa tahun terakhir yang lebih memilih segi keamanan tidak disambut antusias oleh banyak pemimpin di kawasan. Ekonomi, yang diyakini memiliki dampak lebih jelas bagi rakyat, lebih disukai dibanding kerja sama militer.
Sebaliknya, China datang ke kawasan dan Indonesia membawa pendekatan ”kesejahteraan”. Dengan kehadiran one belt one road (OBOR) yang berganti nama menjadi Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), negara-negara di kawasan mendapatkan keuntungan. Kesulitan pendanaan yang pernah dialami, berkurang dengan ”uluran tangan” China.
Pemerhati politik luar negeri BRIN, Emilia Yustiningrum, mengatakan, untuk memutuskan akan melakukan apa dalam situasi itu, pemerintah harus mendefinisikan terlebih dahulu yang dimaksud kepentingan nasional, apakah lebih cenderung pada kepentingan ekonomi atau kepentingan pertahanan dan keamanan.
Menurut Jongkie, Indonesia harus bisa memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan ekonomi domestik. ”Kita tidak perlu terlalu memusingkan persaingan AS-China. Yang perlu dipikirkan adalah menarik investasi dari keduanya untuk kepentingan masyarakat banyak,” katanya.
Laporan dari Laboratorium Indonesia 2045 ”Makna Kongres Nasional Ke-20 Partai Komunis Tiongkok bagi Indonesia” yang ditulis Ardhitya Eduard Yeremia dan Klaus Heinrich Raditio menyebutkan, kebijakan luar negeri China pada periode ketiga kepemimpinan Xi akan menghadirkan situasi rumit bagi Indonesia.
Di satu sisi, Indonesia perlu mengantisipasi situasi lingkungan internasional yang semakin tidak menentu. Di sisi lain, dalam konteks persaingan dengan AS, China akan terus berusaha memperluas pengaruh geopolitik dengan menawarkan berbagai inisiatif kerja sama, termasuk dalam bidang ekonomi.
Ini dapat dimanfaatkan untuk melayani kepentingan nasional Indonesia. Selain dilandasi pragmatisme ekonomi, usaha Indonesia melibatkan China dapat pula diarahkan untuk mendorong China agar lebih patuh pada hukum dan norma internasional, salah satu bagian penting dari ekspresi kebijakan luar negeri Indonesia.