25 Tahun Perjanjian Jumat Agung, ”Konflik” Masih Mengintai
Setelah susah payah mencapai perdamaian, Irlandia Utara kini digoyang masalah baru akibat Brexit.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
LONDON, SENIN — Memperingati 25 tahun Perjanjian Jumat Agung yang menghentikan pertikaian berdarah di Irlandia Utara, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan datang ke Belfast untuk merayakannya. Mereka juga akan membahas lebih lanjut mengenai penetapan peraturan perekonomian baru sejak Inggris resmi keluar dari Uni Eropa.
Perjanjian Jumat Agung ditandatangani pada 10 April 1998 oleh Inggris dan Republik Irlandia. AS ketika itu bertindak sebagai penengah yang mengupayakan adanya gencatan senjata serta kesepakatan damai guna menghentikan pertumpahan darah di Irlandia Utara.
Irlandia Utara merupakan salah satu provinsi Kerajaan Inggris Raya yang beribukotakan Belfast. Di sebelah selatan, mereka berbatasan dengan negara merdeka Republik Irlandia yang beribukotakan Dublin. Selama 30 tahun sebelum Perjanjian Jumat Agung, Irlandia Utara dilanda konflik yang secara keseluruhan memakan korban jiwa sebanyak 3.500 orang.
Konflik ini adalah isu politik yang kemudian merambat menjadi konflik antarumat beragama. Warga Irlandia Utara yang menganut agama Protestan menginginkan agar wilayah itu tetap menjadi bagian dari Inggris. Sebaliknya, warga yang beragama Katolik menginginkan Irlandia Utara bergabung dengan Republik Irlandia. Kedua kelompok saling menyerang dengan berbagai kekerasan yang oleh Eropa dikategorikan sebagai aksi terorisme.
Dalam Perjanjian Jumat Agung, disepakati bahwa Republik Irlandia bersedia mengamendemen Undang-Undang Dasar mereka agar tidak lagi mengklaim Irlandia Utara sebagai wilayahnya. Dari sisi Inggris, mereka berjanji menghilangkan posko-posko pemeriksaan di perbatasan kedua negara dan menarik pasukan.
”Kita memperingati kesuksesan mencapai perdamaian, tetapi kita juga harus merencanakan penguatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Irlandia Utara,” kata Sunak.
Ia dan Biden dijadwalkan tiba di Irlandia Utara pada Selasa (11/4/2023). Biden akan membahas mengenai komitmen AS untuk membantu perekonomian AS. Selain mereka, juga ada mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton yang akan memimpin konferensi mengenai perkembangan Irlandia Utara yang berlangsung selama tiga hari sejak 17 April.
”AS akan duduk bersama semua pihak untuk mendengar kira-kira apa saja yang bisa kami bantu untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Irlandia Utara,” kata Juru Bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre. Ia juga mengabarkan, Biden yang keturunan Irlandia akan menyempatkan diri singgah ke Republik Irlandia untuk mengunjungi kampung halaman leluhurnya.
Situasi di Irlandia Utara kembali rawan. Penyebabnya, Inggris mengumumkan keluar dari Uni Eropa dalam peristiwa yang disebut Brexit. Keputusan ini menghantam tidak hanya perekonomian Irlandia Utara, tetapi juga mental masyarakatnya.
”Sejak Perjanjian Jumat Agung, konstitusi Republik Irlandia menyatakan, meskipun Irlandia Utara bagian dari Inggris, persaudaraan sebangsa Irlandia tetap ada dan tidak boleh hilang,” kata dosen sejarah Universitas College Dublin, Diarmaid Ferriter, kepada BBC.
Persoalan perbatasan menjadi isu serius. Masyarakat trauma dengan posko pengecekan dan aparat keamanan karena mengingatkan mereka akan 30 tahun konflik berdarah. Inggris dan Republik Irlandia telah berjanji tidak akan menutup perbatasan dan menempatkan posko, tetapi petunjuk teknisnya masih dibahas.
Selain itu, juga ada persoalan ekonomi. Kamar Dagang dan Industri Republik Irlandia (Ibec) mencatat, perusahaan-perusahaan di Irlandia Utara tidak hanya melayani konsumen di Inggris, tetapi juga konsumen di Republik Irlandia. Ketiadaan posko perbatasan memudahkan distribusi barang dan jasa. Warga di kedua sisi perbatasan setiap hari juga banyak yang menjadi pelaju untuk belajar dan bekerja di sisi lain.
”Sekarang, gara-gara Brexit, ada birokrasi tambahan. Distribusi barang dan jasa menjadi terhambat karena Republik Irlandia adalah bagian dari UE dan kami memiliki standar yang tinggi untuk mengimpor komoditas dari negara lain. Inggris karena keluar dari UE diperlakukan sama dengan negara lain,” kata Direktur Utama Ibec Danny McCoy.
Perdana Menteri Inggris 2019-2022, Boris Johnson, mengeluarkan Protokol Irlandia Utara. Guna memastikan perbatasan tetap stabil, seluruh komoditas dari Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara yang hendak diekspor ke Republik Irlandia tidak dicek di perbatasan. Pengecekan dilakukan di pelabuhan-pelabuhan Irlandia Utara.
Kebijakan ini menuai kritik di Irlandia Utara. Kelompok Protestan yang pro-Inggris justru menganggap Johnson mengisolasi Irlandia Utara, seolah-olah wilayah itu bukan bagian dari Inggris. Persoalan ini menjalar ke politik sehingga parlemen Irlandia Utara mandek hingga kini.
Muncul isu keamanan baru. Kelompok pro-Inggris marah kepada London karena aturan pengecekan di pelabuhan dan ada pula orang-orang yang kecewa dengan Brexit sehingga memikirkan untuk memisahkan diri dan bergabung dengan Republik Irlandia. Kepolisian Irlandia Utara mengatakan, belum ada eskalasi konflik seperti tahun 1990-an, tetapi muncul aksi protes secara sporadis.
Masyarakat secara umum menginginkan situasi kembali stabil. Kubu Protestan dan Katolik, kubu pro-Inggris, dan kubu pro-Republik Irlandia harus berhasil membuat skema berbagi kekuasaan. Sejak Mei 2022, semua kubu di parlemen Irlandia Utara tidak menemukan titik temu. Perdana Menteri Republik Irlandia Leo Varadkar menargetkan jalan keluar harus bisa dicapai maksimal Mei 2023.
”Juni sudah memasuki musim kampanye legislatif. Kalau tidak ada ketetapan berbagi kekuasaan, nanti kampanye bisa berujung konflik sektarian,” ujarnya. (AFP/REUTERS)