Di Indonesia, tidak banyak diketahui dampak Brexit pada Republik Irlandia, apalagi masyarakatnya. Duta Besar Irlandia memberikan penjelasan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
AFP/DANIEL LEAL-OLIVAS
Dari kiri ke kanan: Ketua Partai Hijau Irlandia Utara Steven Agnew, Wakil Ketua Sinn Fein Michelle O'Neill, Ketua SDLP Colum Eastwood, Ketua Demokrat Liberal Vince Cable, dan politikus dari Aliansi Partai Politik Irlandia Utara Stephen Farry. Para pengunjuk rasa penentang Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa berdiri di belakang mereka ketika para politikus ini memberikan pernyataan di London, Inggris, 12 November 2018.
JAKARTA, KOMPAS — Tiga tahun setelah Inggris resmi mengeluarkan diri dari Uni Eropa dalam kejadian yang disebut sebagai Brexit, Irlandia berusaha untuk memperluas pasarnya. Irlandia ingin mencari negara-negara sebagai mitra dagang baru agar tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Inggris.
Hal itu dikemukakan Duta Besar Irlandia untuk Indonesia Padraig Francis dalam wawancara khusus dengan Kompas, Senin (27/3/2023), di Jakarta. Inggris telah menjadi anggota Uni Eropa (UE) sejak 1973. Akan tetapi, ada sejumlah pihak yang tidak yakin dengan keanggotaan tersebut. Di satu sisi, pasar tunggal UE memang menguntungkan, tetapi di sisi lain, mereka tidak menyukai keharusan Inggris tunduk pada hukum UE.
Narasi untuk keluar dari UE sempat bergaung beberapa kali. Referendum kemudian terwujud pada 2016. Ketika itu, 51,89 persen warga Inggris memilih untuk keluar dari UE. Persiapan keluar dimulai sejak 2017 hingga pada akhirnya Brexit resmi terjadi per 31 Januari 2021. ”Disrupsi ekonomi bagi Irlandia besar sekali karena selama ini Inggris mitra dagang nomor satu kami,” kata Francis.
Di samping itu, Inggris juga merupakan pusat distribusi barang dan jasa dari Irlandia ataupun komoditas dari Eropa yang hendak diserbarluaskan ke Irlandia. Francis menjelaskan, muncul tarif-tarif baru untuk ekspor dan impor dengan segala jenis birokrasi yang mengiringi. Orang-orang menjadi tidak bebas bergerak.
Para pengusaha sangat terpukul. Salah satu jalan keluar yang mereka ambil ialah mencari pasar-pasar baru. Selain semakin memperkuat pasar di daratan Eropa, Irlandia juga melirik negara-negara di Asia sebagai mitra potensial.
Menjaga persaudaraan
Hal penting lain yang harus dijaga setelah Brexit ialah pembukaan perbatasan darat antara Republik Irlandia dan Irlandia Utara. Republik Irlandia adalah negara merdeka yang beribukotakan Dublin, sementara Irlandia Utara merupakan bagian dari Inggris. Kedua negara ini memiliki perbatasan sepanjang 499 kilometer. Hingga kini masih berlangsung dialog Irlandia-Inggris mengenai kepastian perbatasan ini tetap dibuka pasca-Brexit.
Menurut Francis, penting memastikan bahwa di perbatasan darat tersebut tidak boleh ada posko pengecekan visa, apalagi penempatan aparat penegak hukum dan tentara. ”Masyarakat Irlandia dan Irlandia Utara trauma dengan berbagai konflik berdarah yang berlangsung selama 30 tahun. Kedua negara harus memastikan hal-hal yang membuka luka lama, seperti penempatan tentara di perbatasan, dihindari,” tuturnya.
Konflik berlangsung sejak 1960 hingga 1998 di Irlandia Utara antara kelompok yang ingin bergabung dengan Republik Irlandia dan kelompok yang ingin tetap menjadi bagian dari Inggris. Tidak jarang kekerasan juga tumpah hingga ke perbatasan Republik Irlandia.
AFP/PAUL FAITH
Para pengujuk rasa anti-Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa berdiri di perbatasan antara Londonderry (Irlandia Utara) dan County Donegal (Republik Irlandia) pada 18 April 2019. Mereka menentang penutupan perbatasan jika Inggris remis keluar dari UE.
Pada 10 April 1998 di Belfast, Irlandia Utara, Pemerintah Republik Irlandia dan Pemerintah Inggris menandatangani Perjanjian Jumat Agung. Isinya ialah penghentian segala jenis kekerasan di Inggris ataupun Irlandia terkait status Irlandia Utara. Berbagai organisasi rekonsiliasi juga didirikan. Irlandia Utara walau tetap menjadi bagian dari Inggris turut menjalin hubungan persaudaraan dengan Republik Irlandia. ”Perjanjian Jumat Agung harus dihormati karena ini soal menjaga moral bangsa dan mencegah risiko munculnya konflik baru akibat segregasi geografis,” tutur Francis.
Hambatan ekonomi
Beberapa hal yang mulai terasa bagi rakyat ialah risiko hilangnya mata pencarian, terutama di kalangan nelayan. Surat kabar Irish Examiner melaporkan, nelayan dari pesisir barat Republik Irlandia sekarang tidak bisa lagi melaut ke Laut Irlandia. Ini adalah perairan sepanjang 300 kilometer yang memisahkan Pulau Irlandia dari Pulau Inggris. Lebar Laut Irlandia adalah 75-200 kilometer.
Nelayan mengeluhkan mereka tidak bisa menangkap ikan lagi karena titik yang biasa mereka datangi sudah masuk wilayah perairan Inggris. UE memberikan dana 75 juta euro kepada Irlandia sebagai ganti rugi masyarakat yang terpukul oleh Brexit. Menteri Kelautan Irlandia Charlie McConalogue mengatakan, jumlah ini tidak seberapa dibandingkan dengan kerugian yang dialami nelayan sebagai kelompok paling rentan akibat Brexit sehingga pemerintah terus mengupayakan ganti rugi yang lebih besar.
Di Inggris, dampak Brexit juga merugikan. Kepala Badan Pertanggungjawaban Anggaran (OBR) Richard Hughes ketika diwawancara oleh BBC mengungkapkan, perekonomian Inggris terkontraksi 4 persen akibat Brexit. Ini sama parahnya dengan kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Gara-gara Brexit, harga pangan di Inggris naik hingga 6 persen sebagaimana hasil kajian Pusat Reformasi Eropa (CER) yang diterbitkan harian The Independent pada Desember 2022.
CER memperkirakan, negara menderita kerugian 40 miliar pound sterling dari kehilangan pajak dan 33 miliar pound sterling dari kehilangan investasi. Bahkan, investasi asing di Inggris stagnan sejak 2016. Dalam perhitungan ini, per Juni 2023, neraca perdagangan Inggris akan lebih rendah 5,5 persen dibandingkan dengan jika masih tetap di UE.
Hughes menjelaskan, rantai pasok terganggu sehingga investasi juga melambat. Apalagi, akibat Brexit, 500.000 tenaga kerja dari negara-negara lain di Eropa meninggalkan Inggris karena sukar mengurus visa kerja. ”Butuh waktu setidaknya lima tahun agar daya beli masyarakat Inggris kembali. Itu pun tidak meningkat seperti sebelum Brexit. Perkiraannya ialah kembali seperti di awal pandemi Covid-19 sebelum hantaman krisis ekonomi,” kata Hughes.