Pengalaman Sunak sebagai menteri ekonomi diharapkan bisa menakhodai Inggris keluar dari krisis. Ia ditantang untuk berani mengakui bahwa Brexit telah gagal.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
LONDON, SELASA — Rishi Sunak resmi dilantik menjadi Perdana Menteri Inggris oleh Raja Charles III di Istana Buckingham, Selasa (25/10/2022). Meskipun ia dirayakan sebagai etnis minoritas pertama yang menjabat sebagai kepala pemerintahan, masyarakat menanti terobosan yang akan dilakukan oleh menteri keuangan periode 2020-2022 ini. Ia berjanji memperbaiki kesalahan pendahulunya, Liz Truss, yang hanya memerintah selama 44 hari.
Setelah diambil sumpah oleh Raja Charles, Sunak melakukan jumpa pers di depan Downing Street Nomor 10 yang merupakan kediaman resmi untuk setiap perdana menteri di kerajaan tersebut. Ia berterima kasih kepada Truss yang mengalahkan dia dalam pemilihan Ketua Partai Konservatif atau yang akrab disebut Tory oleh rakyat Inggris, pada Juli lalu. Akan tetapi, Sunak juga cepat mengkritisi pemerintahan Truss.
”Saya memahami niat mulia Liz untuk memulihkan ekonomi ketika dunia sedang dilanda krisis akibat pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina. Akan tetapi, kita harus mengakui ada kesalahan yang telah dilakukan,” ujarnya.
Sunak mengacu kepada kebijakan ekonomi Truss yang memotong pajak hingga 45 persen. Keputusan ini selain hanya menguntungkan kalangan pengusaha besar, juga membuat ekonomi Inggris kian terpuruk. Pemerintahan Truss dikabarkan tidak memiliki rencana mengenai cara mengganti pendapatan negara yang hilang akibat pemotongan pajak itu. Akibatnya, hanya dalam kurang dari dua bulan, Inggris kehilangan 65 miliar pound sterling.
Dalam debat memperebutkan kepemimpinan Tory yang disiarkan salah satunya oleh Sky News, Sunak telah mengutarakan bahwa pemotongan pajak adalah rencana yang tidak masuk akal. ”Inflasi membuat harga semua komoditas melonjak. Kita tidak bisa memotong pajak untuk menyelesaikan persoalan karena teori menyuruh rakyat semakin banyak berbelanja, sementara pajak dikurangi selama inflasi itu dongeng belaka,” tuturnya.
Ia menambahkan dalam debat tersebut, jika akan memotong pajak, angka yang masuk akal adalah 5 persen. Itu pun ketika inflasi sudah bisa dikendalikan.
Sunak mengingatkan dalam sambutan pertamanya sebagai perdana menteri bahwa pemulihan ekonomi tetap menjadi agenda utama pemerintah. Ini berarti rakyat harus siap pemerintah mengambil keputusan-keputusan yang sulit. Meskipun demikian, ia mengingatkan, masyarakat telah menyaksikan kiprahnya sebagai menteri keuangan selama pandemi Covid-19 dengan berbagai skema bantuan untuk rakyat, mulai dari tenaga kerja lepas hingga pelaku usaha.
”Saya tidak akan meninggalkan utang yang harus ditanggung generasi mendatang, yaitu anak dan cucu kita. Saya akan bekerja keras demi kepercayaan Anda. Kita akan memperbaiki mutu sekolah, membuat jalanan yang aman, melestarikan lingkungan, dan meningkatkan layanan kesehatan,” janjinya.
Bagi rakyat Inggris, Sunak dipandang relatif moderat dibandingkan Truss dan mantan PM Boris Johnson. Akan tetapi, mereka tetap mengingat bahwa ia salah satu pendukung Brexit pada 2016, yaitu keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa. Ketika itu, pemerintahan Johnson berargumen, keluar dari UE akan memperbaiki perekonomian Inggris karena tidak terikat peraturan satu pasar Eropa dengan segala batasannya.
Namun, yang terjadi justru kesulitan karena warga Inggris tidak bisa lagi bebas tinggal, bekerja, dan berjalan-jalan di Eropa. Salah satu contohnya, pada 2021 terjadi krisis kado Natal dan barang-barang kebutuhan pokok. Penyebabnya, sopir-sopir truk yang umumnya berasal dari Eropa Timur memilih pulang kampung gara-gara kesulitan mengurus visa kerja akibat Brexit. Muncul juga kenaikan tarif ekspor dan impor.
”Sunak harus punya keberanian untuk mengakui Brexit telah gagal. Sebagai ekonom dan bankir, ia memiliki pendekatan pragmatis. Akan tetapi, pertanyaannya apakah ia memiliki keberanian mengakui Brexit layu sebelum berkembang sebagai kepala pemerintahan?” kata Guy Hands, pemimpin Terra Firma Capital kepada iNews. Miliarder ini adalah salah satu penyumbang dana terbesar Tory.
Hands menjelaskan, situasi dunia berubah sejak tahun 2016. Berbagai kendala akibat pandemi, perang, krisis energi, dan krisis pangan memerlukan pendekatan baru. Skema Brexit sesuai tahun 2016 sudah tidak relevan. Cita-cita pemerintah ketika itu menjadikan Inggris seperti Singapura yang merupakan pusat ekonomi dan teknologi di kawasan. Kenyataannya, akibat Brexit, investasi asing tidak masuk ke London.
Menurut dia, jalan yang masuk akal ialah Inggris membuat perjanjian dengan UE untuk memperlakukan mereka sama dengan Swiss dan Norwegia. Artinya, walaupun tidak menjadi bagian dari UE, Swiss dan Norwegia tetap masuk ke dalam satu pasar Eropa. Berkat perjanjian itu, warga mereka bebas tinggal dan bekerja di Eropa.
Konsekuensinya warga dari Eropa juga bisa datang ke negara tersebut untuk bekerja dan mereka semua harus tunduk pada peraturan pasar Eropa. Perbedaan dengan bergabung dengan UE, negara penanda tangan perjanjian satu pasar Eropa hanya terikat kebijakan soal pasar. Mereka tidak perlu membayar uang kontribusi anggota ataupun kebijakan-kebijakan di luar ekonomi.
Sementara itu, dari sisi politik, naiknya Sunak menjadi perdana menteri tidak akan membantu persepsi rakyat terhadap Tory secara signifikan. Jajak pendapat YouGov pekan lalu menunjukkan, oposisi Partai Buruh unggul 37 poin dari Tory di segi kepopuleran.
Pakar jajak pendapat, Sir John Curtice, ketika diwawancara Talk TV menjelaskan, pola pemerintahan Inggris yang dipilih ketika negara mengalami krisis ekonomi selalu sama. Ia memberi contoh krisis ekonomi 1967 ketika negara dipimpin perdana menteri dari Partai Buruh, tahun 1976 di bawah Partai Buruh, 1992 di bawah Tory, dan 2008 di bawah Partai Buruh. “Mereka selalu kalah di pemilihan umum berikutnya,” kata Curtice.