Kapal selam China diketahui telah memiliki kemampuan untuk berpatroli terus menerus sekaligus membawa rudal berhulu ledak nuklir. Peningkatan ini diluar dugaan, sekaligus menambah dinamika situasi di Laut China Selatan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
WASHINGTON, SELASA - Militer China menempatkan setidaknya satu kapal selam yang mampu membawa rudal balistik berhulu ledak nuklir dan secara konstan berpatroli di perairan antara Pulau Hainan dan wilayah Laut China Selatan. Patroli baru ini memperlihatkan kemajuan Angkatan Laut China dalam berbagai bidang, termasuk logistik, komando, pengawasan, serta persenjataan.
Hal itu terungkap dalam isi laporan Pentagon pada November 2022 yang baru dibuka ke publik, awal April ini. Laporan setebal 174 halaman itu menyebutkan, China sekarang memiliki kemampuan untuk menggelar patroli kapal selam dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat, Rusia, Inggris, dan Perancis selama beberapa dekade terakhir.
Laporan itu juga menyebutkan bahwa kapal selam yang digunakan untuk operasi telah dilengkapi dengan rudal generasi ketiga, JL-3. Rudal ini memiliki daya jangkau lebih dari 10.000 kilometer.
Laporan ini juga mengonfirmasi pernyataan Komandan Komando Strategi AS Jenderal Anthony Cotton di hadapan Kongres AS pada Maret lalu. Laporan sebelumnya menyatakan bahwa rudal balistik JL-3 diperkirakan tidak akan digunakan di kapal selam milik AL China sebelum mereka meluncurkan kapal selam generasi baru, Type-096.
”Kami ingin kapal selam bertenaga nuklir AS membuntuti mereka, tugas tambahan bagi aset-aset kami. Namun, intinya adalah bahwa informasi patroli yang terus-menerus telah berubah dengan cepat sehingga kami tak tahu lagi apa yang berubah,” kata Christopher Twomey, pakar keamanan di Sekolah Pascasarjana AL AS di California. Dia berkomentar dalam kapasitas pribadi.
Beberapa atase militer dan analis keamanan menilai, selama bertahun-tahun AL China dianggap memiliki kemampuan yang terbatas dalam patroli pencegahan, terutama dalam jangka waktu lama. Permasalahan pada rantai komando, kontrol, dan komunikasi menjadi penghalang AL China selama ini.
Komunikasi yang kompleks untuk sebuah kapal selam dengan rudal balistik, menurut sejumlah analis, harus tetap menjadi bagian dari kerahasiaan yang harus dijaga dengan sangat ketat.
Kementerian Pertahanan China tidak menanggapi permintaan komentar atas laporan Pentagon dan penempatan kapal selam di Laut China Selatan itu. Militer China menekankan bahwa Komisi Militer Pusat, yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping, adalah satu-satunya otoritas komando nuklir.
Pentagon juga tidak mengomentari penilaiannya atas AL China dalam laporan itu atau apakah keberadaan kapal selam China menimbulkan tantangan operasional bagi mereka.
Hans Kristensen, Direktur Proyek Informasi Nuklir Federasi Ilmuwan Amerika, meyakini bahwa masalah komando dan komunikasi di AL China masih dalam proses perbaikan terus-menerus. ”Mungkin China telah membuat kemajuan dalam membangun komando dan kontrol yang aman serta signifikan secara operasional antara komite militer pusat dan kapal selam dengan rudal balistik,” katanya.
Semakin banyak penyebaran kapal selam China, Kristensen menambahkan, berarti militer China dan AS semakin ”bergesekan”. Situasi ini meningkatkan kemungkinan konflik yang tidak disengaja.
Dua peneliti di lembaga pelatihan AL China di Nanjing, dalam sebuah jurnal perang bawah laut yang terbit pada 2019, memperingatkan soal lemahnya rantai komando dan koordinasi yang buruk di antara awak kapal selam AL China. Makalah itu juga mendesak peningkatan kemampuan serangan nuklir yang diluncurkan kapal selam.
”AL China harus memperkuat kapal selam nuklir rudal balistik yang berpatroli di laut untuk memastikan bahwa mereka memiliki sarana dan kemampuan untuk melakukan operasi serangan balik nuklir sekunder apabila diperlukan,” tulis para peneliti.
Meski ada peningkatan kemampuan kapal selam AL China, jumlah kapal selam milik AL AS yang beredar wilayah Pasifik masih jauh lebih banyak. AL AS diketahui menyimpan sekitar dua lusin kapal selam serang bertenaga nuklir di Pasifik, termasuk di Guam dan Hawaii. AS juga memiliki sensor di dasar laut di jalur perairan utama untuk membantu mereka mendeteksi keberadaan kapal selam pihak lain.
AL China harus memperkuat kapal selam nuklir rudal balistik yang berpatroli di laut untuk memastikan bahwa mereka memiliki sarana dan kemampuan untuk melakukan operasi serangan balik nuklir sekunder apabila diperlukan.
Sementara itu, Pemerintah Filipina mengumumkan empat pangkalan milier baru yang akan menjadi basis pasukan dan peralatan tempur Amerika Serikat di negara tersebut. Kantor kepresidenan FIlipina, Selasa (4/4/2023) menyatakan, pangkalan AL FIlipina di Santa Ana dan bandara internasional di Lal-lo, Provinsi Cagayan Utara, akan menjadi pangkalan baru bagi militer AS.
Dua lokasi lainnya adalah sebuah lokasi di Provinsi Isabela dan kamp AL Filipina di Pulau Balabac, Provinsi Palawan.
Dalam sebuah pernyataan, Departemen Pertahanan AS mengatakan, lokasi baru tersebut akan memperkuat interoperabilitas pasukannya dan juga militer Filipina. Langkah itu juga memungkinkan kedua negara untuk merespons bersama secara lebih lancar guna mengatasi berbagai tantangan bersama di kawasan Indo-Pasifik.
China memiliki sengketa wilayah laut dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Lokasinya berada di Laut China Selatan yang merupakan jalur pelayaran yang sibuk. Laut China selatan juga mengandung sumber daya yang kaya.
Washington tidak mengklaim perairan strategis itu tetapi telah mengerahkan kapal perang dan pesawat tempur serta pesawat pengintai untuk patroli. Narasi yang dibangun Washington adalah kebebasan navigasi dan supremasi hukum.
Menanggapi pengumuman Pemerintah Filipina, Kementerian Luar Negeri China menyebut, tindakan itu hanya akan menyebabkan lebih banyak ketegangan dan berkurangnya perdamaian dan stabilitas di kawasan . Juru bicara Kemlu China Mao Ning menyebut tindakan itu didorong semata-mata oleh mentalitas menang-kalah. (AP/AFP/REUTERS)