Asia Tenggara menjadi bagian dari upaya perlucutan senjata nuklir dunia dengan mendirikan Zona Bebas Senjata Nuklir (SEANWFZ) tahun 1995, Tapi, kini, persaingan negara pemilik senjata merambah kawasan dan membuat gejolak
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·6 menit baca
Keputusan Amerika Serikat dan Inggris untuk berbagi teknologi kapal selam bertenaga nuklir dengan Australia (dengan cara membeli tentu saja), menjadi kejutan tersendiri di tengah dinamika situasi global yang terus meningkat. Melalui mekanisme pakta militer mini (minilateral) AUKUS, Australia yang berjarak hanya sepelemparan batu dari wilayah teritorial negara-negara ASEAN, akan menjadi negara yang akan mengoperasikan kapal selam nuklir, bersama dengan negara-negara pemilik senjata nuklir lain, yaitu AS, Rusia, China, Inggris, Perancis dan India.
Pemerintah Australia menyebut bahwa mereka tidak berniat untuk memiliki senjata nuklir. Memiliki kapal selam bertenaga nuklir itu sendiri adalah bagian dari cara Australia untuk menghadapi China yang semakin agresif ke timur, mendekati tidak hanya wilayah teritorial Benua Kanguru itu, tapi juga hingga ke Pasifik Selatan, yang secara tradisional adalah pekarangan belakangnya.
Akan tetapi, pernyataan itu tidak mudah untuk ditelan begitu saja. “Mengoperasikan kapal selam nuklir dan memperoleh senjata nuklir bukanlah hal yang sama. Tapi mereka pasti langkah ke arah yang sama,” kata Bilahari Kausikan, mantan diplomat SIngapura dan Ketua Institut Timur Tengah di Universitas Nasional Singapura dalam kolomnya di The Strait Times.
Indonesia sendiri memandang bahwa AUKUS itu sebagai keberlanjutan perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan. Untuk meminimalisir dampak atau bahkan menghalangi kemungkinan pengembangan senjata nuklir, termasuk di dalamnya adalah kepemilikan kapal selam bertenaga nuklir, Indonesia mengusulkan agar keberadaan kapal selam nuklir itu juga diatur dalam perjanjian pengendalian senjata nuklir atau Treaty on Non-Proliferation of Nuclear Weapon.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, di Konferensi Perlucutan Senjata, Februari lalu telah mengingatkan, upaya dunia selama 25 tahun terakhir untuk mendorong perlucutan senjata tidak menghasilkan kemajuan. Bahkan, upaya itu berhenti dan cenderung berbalik, negara-negara di dunia terus berupaya untuk bisa menguasai atau mendapatkan teknologi senjata nuklir.
Dalam pandangan Indonesia, keputusan Rusia menangguhkan partisipasi dalam traktat pengurangan senjata nuklir dengan Amerika Serikat membuktikan bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir bergeming dengan nuclear deterence dalam doktrin militer mereka. “Bencana nuklir hanya soal waktu dan risiko ini semakin besar seiring menajamnya rivalitas antar-kekuatan besar,” kata Retno.
Apakah Zona Bebas Nuklir Riil?
Indonesia dan negara-negara ASEAN pantas memiliki kekhawatiran soal keberadaan senjata nuklir di halaman depannya, terutama dalam beberapa waktu terakhir peristiwa yang melibatkan dua negara pemilik senjata nuklir, yaitu Amerika Serikat dan China, semakin sering terjadi. Pada saat yang sama, AS juga mendapatkan lampu hijau untuk menambah personel militer dan alusistanya di FIlipina. Tambahan akses ini tidak terlepas dari semakin agresifnya China di Laut China Selatan, termasuk saat berhadapan dengan Filipina, negara claimant dalam perebutan wilayah teritorial di perairan itu.
Pengalaman beberapa negara yang pernah mengalami kebocoran reaktor nuklir dan berdampak pada manusia serta lingkungannya menjadi salah satu dasar kekhwatiran itu. Efek radiasi akibat ledakan nuklir, mulai dari kerusakan pada krosom dan DNA orang yang terpapar langsung yang bisa menyebabkan mutasi bisa berdampak pada tumbuhnya sel kanker hingga kerusakan genetik yang bisa menurun pada generasi berikutnya. Selain berdampak pada kemunculan sel kanker dan mutasi genetik, perubahan atmosfer dan lingkungan sekitar, juga menjadi kekhawatiran tersendiri.
Beberapa kecelakaan kapal selam bertenaga nuklir juga memberi catatan tersendiri bagi semakin menguatnya dorongan untuk mempertegas keberadaan kawasan bebas senjata nuklir, khususnya di Asia Tenggara.
Indonesia dan negara-negara pendiri ASEAN sejak jauh hari berpandangan bahwa campur tangan negara non-kawasan telah mengakibatkan gangguan di kawasan, yang bisa berdampak pada upaya perbaikan ekonomi. Setelah melalui berbagai tahapan, negara-negara ASEAN menandatangani Deklarasi Kuala Lumpur pada 27 November 1971 dengan substansi utama pembentukan wilayah Asia TEnggara sebagai Zona Damai, Kebebasan dan Netralitas (ZOPFAN). Ini sesuai dengan prinsip Dasa SIla Bandung yang menjadi dasar Gerakan Non-Blok.
ZOPFAN inilah yang salah satunya mendasari negara-negara ASEAN kemudian menandatangani Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara (SEANWFZ treaty), 15 Desember 1995. Ini adalah komitmen lanjutan negara-negara ASEAN untk menjaga kawasannya sebagai wilayah bebas nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya. Traktat ini juga dikenal sebagai Deklarasi Bangkok mulai berlaku pada Maret 1997.
Traktat Bangkok sendiri mewajibkan negara-ngara pihak untuk tidak mengembangkan, membuat, atau memperoleh, memiliki, atau memiliki kendali atas senjata nuklir, menempatkan atau mengangkut senjata nuklir, atau menguji atau menggunakan senjata nuklir. Negara Pihak juga berjanji untuk tidak membuang bahan radioaktif atau limbahnya ke laut, ke atmosfir atau ke darat di dalam Zona, dan tidak mengizinkan negara lain untuk melakukan tindakan tersebut. Traktat hanya memberikan lampu hijau pemanfaatan nuklir untuk tujuan damai di bawah pengawasan IAEA (badan energi atom internasional).
Muhadi Sugiono, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada mengatakan, keprihatinan Indonesia tidak sebatas pada perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan pascapembentukan AUKUS. Hal yang dikhawatirkan oleh Indonesia lebih jauh dari persoalan pembelian kapal selam bertenaga nuklir itu adalah bahwa bahan bakar nuklir yang akan digunakan adalah material yang bisa digunakan untuk pengembangan senjata nuklir itu sendiri (weapon grade uranium). Hal yang sama yang tengah dilakukan oleh Iran dan Korea Utara.
Muhadi, yang juga adalah pengampanye gerakan antisenjata nuklir dari ICAN (international campaign to abolish nuclear weapons) sepakat dengan Kausikan dalam bahasa yang berbeda soal kapal selam bertenaga nuklir dan teknologi persenjataan nuklir. “Penggunaan nuklir untuk perangkat perang (kapal selam) menjadikan keterkaitan teknologi nuklir dengan senjata menjadi lebih dekat,” katanya.
Yang menjadi masalah, dalam pandangan Muhadi, adalah traktat militer AUKUS telah menciptakan ruang interpretasi besar bagi negara-negara lain untuk mengembangkan hal yang sama dengan Australia, kapal selam berbahan bakar nuklir. Tindakan ini bisa dicontoh oleh, menurut Muhadi, Iran dan Korea Utara, yang telah memiliki pengetahuan mendalam soal teknologi nuklir.
Perubahan sikap China yang berkeinginan untuk menandatangani traktat SEANWFZ, menurut dia bisa menjadi angin segar keberadaan kawasan bebas nuklir yang disponsori ASEAN. Akan tetapi, dia tidak yakin bahwa tindakan China ini nantinya akan membuat AS dan sekutunya untuk mengubah sikap
“Tapi, setidaknya hal itu akan memberikan tambahan argumen atas urgensi Australia mengembangkan dan memiliki kapal selam bertenaga nuklir,” katanya.
Muhadi mengatakan, meski banyak negar pemilik senjata nuklir belum mau menanadatangani traktak SEANWFZ, negara-negara itu tidak bisa berlaku semena-mena, tidak bisa bertindak atas kemauan sendiri ketika melintas atau berlayar di wilayah ini membawa hulu ledak nuklir.
Walau demikian, dalam pandangannya, bukan berarti SEANWFZ sia-sia. “Ini adalah bagian dari pengembangan norma internasional menentang keberadaan senjata nuklir. Sinyalemen bahwa ada sebuah atau sekelompok negara tidak menyukai keberadaan senjata nuklir di kawasan. Kalau tidak ada (traktat SEANWFZ), negara-negara pemilik senjata nuklir akan semena melintasi wilayah ini,” katanya. (MHD)