China Pelajari Perang Ukraina untuk Antisipasi Konflik Taiwan
China intensif mempelajari konflik Rusia-Ukraina. Hal ini menjadi wawasan Beijing untuk mengantisipasi skenario konflik dengan Amerika Serikat di Asia, terutama menyangkut Taiwan.
China membutuhkan kemampuan untuk menembak jatuh satelit Starlink orbit rendah. China juga butuh kemampuan mempertahankan tank dan helikopter dari serangan rudal Javelin buatan Amerika Serikat yang ditembakkan dari bahu.
Demikian, antara lain, analisis para peneliti militer China yang mempelajari perang Ukraina. Kajian ini ditujukan sebagai salah satu materi untuk merencanakan strategi pertahanan keamanan apabila terjadi konflik di Asia melibatkan China melawan AS berikut sekutunya di Asia.
Baca juga: Taiwan Meminta China Hentikan Narasi Persatuan
Ada sedikitnya 100 artikel di 20 jurnal pertahanan dan keamanan China yang dikaji oleh kantor berita Reuters dan dipublikasikan, Rabu (8/3/2023). Hasil kajian itu mengungkapkan adanya upaya di seluruh industri militer China untuk meneliti dampak persenjataan dan teknologi AS yang dapat dikerahkan melawan pasukan China dalam skenario perang Taiwan.
Ada pula jurnal-jurnal berbahasa China yang meneliti operasi sabotase Ukraina. Disebutkan bahwa itu mencerminkan karya ratusan peneliti di seluruh jaringan perguruan tinggi yang memiliki hubungan dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), produsen senjata milik negara, dan lembaga intelijen militer.
Meskipun ada perbedaan dengan situasi di Taiwan, perang di Ukraina memberikan semacam wawasan pada China.
Kementerian Pertahanan China tidak menanggapi permintaan komentar tentang temuan para peneliti ini. Reuters juga tidak dapat menentukan seberapa dekat kesimpulan itu mencerminkan pemikiran di antara para pemimpin militer China. Dua atase militer dan seorang diplomat lain yang memahami studi pertahanan China mengatakan, Komisi Militer Pusat Partai Komunis China pimpinan Presiden Xi Jinping adalah yang menentukan dan mengarahkan penelitian-penelitian itu.
Sementara seorang pejabat pertahanan AS mengatakan, meskipun ada perbedaan dengan situasi di Taiwan, perang di Ukraina memberikan semacam wawasan pada China. Pelajaran terpenting yang harus diambil dunia dari perang Ukraina itu, katanya, adalah respons komunitas internasional yang cepat terhadap invasi Rusia ke Ukraina. ”Pelajarannya, semakin sengit agresi maka responsnya akan semakin kuat,” kata pejabat yang tak mau disebutkan namanya itu.
Dari 100 artikel itu, terdapat puluhan artikel yang menyoroti peran Starlink atau jaringan satelit yang dikembangkan perusahaan eksplorasi ruang angkasa SpaceX milik Elon Musk dalam mengamankan komunikasi militer Ukraina di tengah gencarnya serangan rudal Rusia.
Salah satu artikel yang terbit pada September lalu dan ditulis bersama oleh para peneliti di Universitas Teknik Angkatan Darat PLA menyebutkan kinerja luar biasa dari satelit Starlink dalam konflik Rusia-Ukraina pasti akan mendorong AS dan negara-negara Barat untuk memanfaatkan Starlink secara ekstensif jika terjadi konflik di kawasan.
Para peneliti merekomendasikan perlunya China segera mengembangkan jaringan satelitnya sendiri yang serupa dengan Starlink. Mereka juga mendorong militer China untuk menemukan cara menembak jatuh atau menonaktifkan Starlink.
Baca juga: AS Janji Melindungi Taiwan dari Serangan China
Para peneliti juga menyoroti perang pesawat tanpa awak yang membutuhkan investasi yang lebih besar. China sudah menguji pesawat tanpa awak di sekitar wilayah Taiwan. Dalam salah satu artikel di jurnal perang tank yang diterbitkan produsen senjata milik negara NORINCO, pemasok PLA, disebutkan bahwa pesawat tanpa awak akan berfungsi sebagai penentu perang di masa depan. Sebab, pesawat nirawak mampu menetralisasi pertahanan musuh.
Ada jurnal resmi pemerintah yang terbit Oktober lalu yang menyebutkan China harus meningkatkan kemampuannya untuk mempertahankan peralatan militer mengingat ”kerusakan serius pada tank, kendaraan lapis baja, dan kapal perang Rusia” akibat serangan rudal Stinger dan Javelin yang dioperasikan pesawat tempur Ukraina.
Collin Koh, peneliti isu keamanan di Sekolah Studi Internaisonal S Rajaratnam Singapura, mengatakan, perang Ukraina telah mendorong para ilmuwan militer China yang sejak lama mengembangkan model perang dunia maya untuk menemukan cara melindungi diri dari persenjataan Barat modern dengan lebih baik.
”Starlink benar-benar sesuatu yang baru dan membuat mereka khawatir karena aplikasi militer dari teknologi sipil canggih tidak bisa mereka tiru dengan mudah,” ujarnya.
Baca juga: Semikonduktor, Penangkal Taiwan dari Ancaman Serbuan China
Koh mengaku tidak heran China mempelajari operasi pasukan khusus Ukraina di Rusia, khususnya dalam memindahkan pasukan dan persenjataan dengan kereta api yang membuat mereka rentan terhadap sabotase. Terlepas dari modernisasi yang cepat, PLA tidak memiliki pengalaman tempur baru-baru ini. Invasi China ke Vietnam pada 1979 adalah pertempuran besar terakhirnya dan berakhir pada 1980-an.
Banyak artikel dalam jurnal yang memfokuskan perhatian pada relevansi perang Ukraina pada konteks China. Hal ini mengingat risiko konflik regional antara China dan AS serta sekutunya besar, terutama menyangkut isu Taiwan.
Direktur Badan Pusat Intelijen AS William Burns pernah mengatakan Xi sudah memerintahkan militernya untuk siap menyerang Taiwan pada 2027.
Dalam kepentingannya membendung China, AS memiliki pilihan untuk intervensi militer atau memberikan sarana pertahanan diri kepada Taiwan. Ini adalah pilihan untuk skenario jika China menyerang Taiwan. Direktur Badan Pusat Intelijen AS William Burns pernah mengatakan, Xi sudah memerintahkan militernya untuk siap menyerang Taiwan pada 2027.
Dalam artikel yang ditulis dua peneliti di Universitas Pertahanan Nasional PLA menganalisis efek pengiriman sistem roket artileri mobilitas tinggi (HIMARS) AS ke Ukraina. Artikel itu mencatat bahwa keberhasilan Ukraina dengan HIMARS bergantung pada pasokan informasi dan target intelijen melalui Starlink.
Empat diplomat, termasuk di antaranya dua atase militer, mengatakan, PLA sudah lama khawatir akan kekuatan militer AS yang superior. Perang Ukraina semakin membuat mereka khawatir. Sebab, Ukraina yang negara kecil bisa bertahan melawan Rusia. Itu semua berkat dukungan dan bantuan dari Barat.
Bantuan untuk Ukraina dari negara-negara Barat mudah masuk Ukraina melalui jalan darat yang menghubungkan Ukraina dengan negara-negara pendukung AS di Eropa. Kasus ini berbeda dengan Taiwan yang posisinya betul-betul terisolasi sendiri dan akan lebih mudah diblokade China jika terjadi konfrontasi.
Baca juga: China-Amerika Serikat Berebut Kekuasaan
Menteri Pertahanan Taiwan Chiu Kuo-cheng, Februari lalu, pernah mengatakan, militer China mempelajari invasi Rusia ke Ukraina dan menyimpulkan bahwa serangan terhadap Taiwan harus bisa dilakukan dalam waktu cepat dan harus dipastikan berhasil.
Seperti halnya China, Taiwan juga mempelajari konflik Rusia-Ukraina demi memperbarui strategi pertempuran mereka sendiri. Beberapa artikel menganalisis kekuatan perlawanan Ukraina, termasuk operasi sabotase pasukan khusus di dalam Rusia, penggunaan aplikasi Telegram untuk memanfaatkan intelijen sipil, dan pertahanan pabrik baja Azovstal di kota Mariupol.
Keberhasilan Rusia juga dicatat, seperti serangan taktis menggunakan rudal balistik Iskander. Jurnal Teknologi Rudal Taktis yang diterbitkan produsen senjata milik negara China Aerospace Science and Industry Corporation menghasilkan analisis terperinci tentang Iskander, tetapi hanya merilis versi tak utuhnya ke publik.
Sementara sejumlah artikel lain berfokus pada kesalahan pasukan penyerang Rusia. Ada satu artikel di jurnal perang tank yang mengidentifikasi taktik usang dan kurangnya komando terpadu, gangguan komunikasi Rusia yang tidak cukup andal untuk mengimbangi aliran informasi intelijen Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke Ukraina. Akibatnya, operasi penyergapan menjadi berbiaya mahal dan tidak efektif.
China harus memperketat kontrol media sosial untuk mencegah kampanye informasi Barat dalam memengaruhi rakyatnya selama konflik.
Urusan informasi intelijen ini penting. Para peneliti China berpendapat, Ukraina dan sekutunya lebih unggul ketimbang Rusia. Tidak hanya informasi intelijen, tetapi juga informasi untuk publik. Artikel dari Universitas Teknik Informasi PLA menyerukan agar China mempersiapkan strategi menghadapi reaksi opini global terlebih dahulu.
”China harus memperketat kontrol media sosial untuk mencegah kampanye informasi Barat dalam memengaruhi rakyatnya selama konflik,” kata artikel itu. (REUTERS)